POV PARALIO "Makan kuenya. Masih fresh from oven. Enak loh." Aku membuka kotak itu dan mengambilkan satu untuk Sasha. Tapi ia melengos tidak mau menerima.Matanya melirik ingin tapi gengsinya terlalu tinggi. Syukurlah jika ia menyukai kue pembelianku meski ia malu mengakuinya. "Kuenya enak loh Sha. Bagus buat ibu hamil, banyak gizinya. Sengaja aku beliin kamu kue-kue lezat sama cemilan bergizi lainnya." "Gue nggak nafsu! Mending lo kasih ke mantan istri lo sana!" Yeah, ini masih jam 9 pagi tapi ibu dari anakku ini merajuknya sudah membuatku kalang kabut. Sasha hendak berdiri meninggalkanku tapi aku segera mencekal lengannya dan mendekatkan wajahku ke wajahnya yang cubby itu. "Aku udah nggak ada hubungan sama Amanda." "Peduli apa gue sama kehidupan lo?" "Aku tadi lihat Amanda sama laki-laki lain. Kayaknya itu pacarnya." Saat aku tengah membeli kue dan cemilan bergizi untuk Sasha, aku melihat Amanda bersama dengan lelaki lain. Agar semuanya jelas, aku mendatangi mereka dan men
POV PARALIO "Haduuuh, kok gue gugup ya?" Ini bukan pertama kalinya aku datang melamar anak perempuan orang lain. Sebelumnya aku pernah melamar Amanda ditemani Mama dan saudaranya. Tapi kini, aku datang melamar anak orang hanya seorang diri. Yeah, seorang diri. Mama menolak ajakanku datang ke rumah orang tua Sasha dengan alasan itu adalah bagian dari hukuman yang harus kujalani. Well!! Belum mengetuk pagar pintu rumah bercat krem itu saja jantungku tidak karuan berdetaknya. Bayangan mendapat amukan bahkan paling parah tonjokan di wajah pun tidak bisa kuelakkan. Keluarga Sasha pernah memintaku bertanggung jawab atas kehamilannya tetapi dengan lantang dan sombong aku menolak mengakuinya lalu pergi ke Jepang. Dan kini seolah menjilat ludah sendiri aku datang 'mengemis' harapan dan cinta dari keluarga Sasha untuk mempersunting dirinya sebagai istriku. Mengabaikan kegugupanku yang sudah ada sejak satu jam yang lalu, akhirnya kuputuskan keluar mobil lalu bertandang. Kekhawatiranku ha
Segala pesan dari Kian selalu kuabaikan, bahkan sengaja tidak kubaca dan langsung kuhapus. Alasannya sederhana, aku tidak mau perasaanku kembali terkoyak lebih dalam. Bagaimana dengan Affar?Aku tidak berani menghubunginya barang sekalipun. Dia pasti telah melihat video dan fotoku setelah kembali ditiduri Kian. Pria itu memang sepenuhnya brengsek, aku tidak mengerti apa tujuannya terus mengusik kehidupanku yang jelas-jelas telah ia campakkan. Tidak tahukah dia betapa lelahnya aku menanggung dosa dan kesalahan ini seorang diri?Aku : Kian, gue udah biasa hidup tanpa lo atau Affar. Gue bisa hidup sama anak gue. Dia penyemangat gue. Setelah ini, tolong jangan cari kami lagi. Biarin kami hidup dengan cara kami sendiri. Gue yakin kami bisa bahagia. Selamat tinggal.Setelah satu pesanku terkirim, aku memblokir nomer Kian.Akhirnya aku memutuskan tidak memilih siapapun. Lalu kuusap perutku lembut dan berbisik."Adek mau makan apa? Bunda pengen senang-senang.""Bunda udah selesai sama masa
"M ... menikah?"Ayah mengangguk dengan seulas senyum. "Dia akhirnya datang ngakuin semua kebrengsekannya. Ayah dan Mamamu nggak berhenti bersyukur, Drey. Akhirnya, Tuhan ngabulin doa Mamamu secepat ini. Ayah senang, Nak."Bukannya bahagia karena Kian berhasil menemui kedua orang tuaku, justru aku merasa akan dipermainkan kembali olehnya. Berkali-kali ditipu oleh ucapan manis dan kesungguhan wajahnya tidak menjamin apa yang ia ikrarkan berbanding lurus dengan yang ia lakukan.Bagiku, Kian adalah bunglon bermuka seribu!Bajingan!Brengsek!Pecundang!Aku menggeleng pelan sebagai jawaban atas kebahagiaan Ayah karena kedatangan Kian. Mungkin bagi Ayah, itu adalah oase di tengah gurun Sahara, tetapi bagiku hanyalah fatamorgana. Penuh dengan tipuan. Dan selamanya akan begitu.Aku sudah berikrar jika tidak akan memilih Kian atau Affar. Bagiku mereka berdua sama-sama brengseknya. "Gimana dia bisa tahu rumah kita, Yah?!""Dia cari tahu semuanya lewat data kepegawaianmu yang ada di kantor pus
Percaya Kian akan menjadi 'pria yang baik'?Aku tidak sependapat!Dia sudah membuatku benar-benar cinta mati saat itu tetapi kini cintaku untuknya sudah MATI. Andai aku diberi pilihan oleh Tuhan untuk kembali memilih, lebih baik aku tidak perlu diterima bekerja di Antara Karya dari pada harus bertemu dengan Affar lalu Kian. Semalam, setelah mendengar segala bujukan Ayah, dengan tegas aku berkata bila ..."Aku minta maaf, Yah. Aku nggak bisa terima Kian lagi. Keputusanku udah final.""Drey, lalu gimana sama Mamamu? Dia cuma nggak mau kamu hidup sendirian besarin anak. Sumpah Nak, jadi orang tua tunggal itu nggak mudah. Ayah dan Mamamu udah pernah ngalamin, jadi kamu jangan ikuti jejak kami.""Bukannya Ayah bilang bisa bantu aku kalau ada masalah? Masalahku cuma satu, aku butuh Mama bantu jaga anakku selama aku kerja. Semua rasaku ke Kian udah usai, Yah. Andai Ayah bisa ngerasain gimana keringnya hatiku sekarang.""Aku masih ingat semua kenangan kami. Gimana pertama kalinya aku jatuh h
POV PARALIO"Woi ... Kian!!! Bangun nggak lo?!"Aku hanya merasa kaki kiriku mendapat tendangan lalu kesadaranku sedikit terjaga. Hanya mengerjapkan mata dengan lemah."Bangun woi!!! Clubnya mau tutup, dodol!!" Aku mendengar seseorang memanggil namaku dan berkata club akan tutup tapi aku tidak kuat membawa diriku sendiri. Membuka mata saja sangat berat sekali."Payah lo, Kian!! Udah desperate bikin gue kerepotan! Anjir lo emang. Lembek jadi laki.""Heran gue, selain cakep sama mapan apa sih yang dilihat Sasha dari lo sih, Kian?!"Aku bisa mendengar geruruan Alfonso tapi ragaku enggan berkutik atau menanggapi ucapannya. Lalu tidak berapa lama aku merasakan saku celanaku dirogoh Alfonso. "Rick, tolong lo bawa mobilnya, Kian. Anterin ke rumah gue. Biar dia jadi urusan gue.""Kenapa si duda karatan itu?" "Broken heart. Urusan cewek.""Sama siapa?""Sasha."Terdengar suara kekehan Erick. "Kirain masih mabok mantan istri.""No anymore. Sekarang ganti mabok gadis."Detik kemudian aku mera
POV PARALIO "Bajingan!" "Terserah kamu mau bilang apa, Sha! Aku capek kamu cuekin terus! Aku mau kamu hargai perjuanganku!" "Setelah luka yang lo kasih ke gue?! Demi Tuhan Kian, gue nggak sudi hidup sama pria pemaksa kayak lo!!" "Terserah! Aku bakal kasih kamu hukuman lebih dari yang kamu bayangin kalau berani nggak nurut atau nggak hargai perjuanganku! Aku bisa bikin Pak RT langsung nikahin kita di rumahmu kalau kamu nggak nurut!!" Ucapku tegas dan tajam, biar saja Sasha terluka karena ucapanku. "Lo sakit jiwa, Kian!" Detik kemudian sambungan terputus. Baik aku dan Sasha sama-sama diliputi kemarahan. Aku menginginkannya saat ini juga tanpa mengindahkan perasaannya, tapi Sasha yang enggan bersamaku. "Selamat berjuang! Kayaknya naklukin Sasha bakal nggak mudah, Kian." "Oh ya, semalam waktu video call, wajah Sasha kok rada pucat ya?! Apa Sasha nggak enak badan ya?" Mendengar itu kekesalanku menguap berganti kekhawatiran. Namun malangnya, aku tidak bisa menghubungi nomer Sasha m
POV PARALIO Hati lelaki mana yang tidak bergetar melihat perempuan yang dulu kerap bersamanya kini justru terbaring nyenyak di atas tumpukan selimut yang digelar di atas lantai? Padahal ia tengah hamil besar. Sasha rela memberikan ranjangnya untukku tanpa mau banyak berdebat lalu ia sendiri menidurkan dirinya yang tengah berbadan dua di atas alas yang kuyakini tidak empuk sama sekali. Dia sudah banyak berkorban untukku tapi ... aku tidak pernah melihatnya. Derai air mata yang ia tumpahkan tanpa kuketahui cukup menyimpulkan jika aku teramat dalam melukai hatinya hingga ia rela membawa keturunanku pergi menjauh dari kehidupanku. Memilih tidak mau berdebat terlalu panjang dengan lelaki 'kurang' bertanggung jawab sepertiku. Aku mengusap air mata yang membasahi pipi. Ini kali pertama aku menangisinya yang begitu lelap tertidur. Hingga tidak terganggu dengan belaian tanganku di rambutnya. Perlahan aku menggendong tubuhnya yang berisi itu menuju ranjang lalu membaringkannya perlahan. T