POV PARALIO Hati lelaki mana yang tidak bergetar melihat perempuan yang dulu kerap bersamanya kini justru terbaring nyenyak di atas tumpukan selimut yang digelar di atas lantai? Padahal ia tengah hamil besar. Sasha rela memberikan ranjangnya untukku tanpa mau banyak berdebat lalu ia sendiri menidurkan dirinya yang tengah berbadan dua di atas alas yang kuyakini tidak empuk sama sekali. Dia sudah banyak berkorban untukku tapi ... aku tidak pernah melihatnya. Derai air mata yang ia tumpahkan tanpa kuketahui cukup menyimpulkan jika aku teramat dalam melukai hatinya hingga ia rela membawa keturunanku pergi menjauh dari kehidupanku. Memilih tidak mau berdebat terlalu panjang dengan lelaki 'kurang' bertanggung jawab sepertiku. Aku mengusap air mata yang membasahi pipi. Ini kali pertama aku menangisinya yang begitu lelap tertidur. Hingga tidak terganggu dengan belaian tanganku di rambutnya. Perlahan aku menggendong tubuhnya yang berisi itu menuju ranjang lalu membaringkannya perlahan. T
POV PARALIO "Sha? Jawab pertanyaanku."Sasha memilih bungkam lalu kembali melepaskan tangkupan tanganku di kedua pipinya. "Sorry, Kian."Dia bangkit dari ranjang lalu pergi meninggalkanku yang masih termenung di kamarnya seorang diri.Yeah, meski aku berucap cinta padanya, tetapi Sasha tetap tidak mau menerimaku kembali. Hatinya telah kaku dan dingin untuk kusentuh. "Aku nggak nyangka kalau kamu bakal sesulit ini dideketin lagi, Sha. Lalu aku harus apa biar kamu luluh?" Gumamku seorang diri. Sadar hari ini aku harus menuju rumah orang tuanya, akhirnya aku menyudahi kesedihanku sendiri karena penolakan Sasha. Dia terlihat sudah segar dengan memakai baby dol warna kuning. Lalu giliranku membersihkan diri dan setelahnya menawarkan sarapan bersama tapi jawabannya lagi-lagi membuat hatiku ngilu."Sarapan di luar yuk, Sha?""Gue bisa beli sarapan sendiri. Lo nggak usah sok perhatian."Langkah kakinya terhenti setelah siap dengan sweater yang melekat di tubuhnya sambil membawa helm. "Gu
POV PARALIO "Kalau firasat gue sih lo bakal diperdaya seenaknya sama bokapnya Sasha. Bisa aja ntar lo disuruh naik genteng. Jadi ya lo minim persiapkan mental deh.""Naik genteng? Mending gue disuruh nyapu kebon, Al."Alfonso terkekeh begitu senang melihatku diperdaya. "Keren banget loh bokap tirinya Sasha. Ngasih lo hukuman fisik sama mental.""Gue udah prediksi. Soalnya dia nggak minta duit atau materi apapun.""Ya udah buruan bersihin, keburu datang orangnya."Akhirnya setelah berjibaku dengan debu dan kotoran yang menempel di mobil keluarga Sasha, aku duduk santai di teras rumah. Rasa haus mulai menyambangi dan betapa teganya mereka tidak menyajikan minuman apapun untukku. "Gue diperlakukan kayak babu sungguhan, padahal gue punya jabatan di kantor. Luar biasa!" Gerutuku.Ingin keluar membeli air minum tapi mereka membawa pergi mobilku. Juga, aku khawatir mereka akan menambah daftar hukuman jika tidak menemukanku saat datang.Yeah, akhirnya aku menyerah dengan keadaan. Duduk leseh
POV PARALIO"Tadi juragan bilang, Mas Kian harus tidur sini. Nggak boleh kemana-mana. Besoknya baru bantuin saya ngurus kerjaan yang lain."Mataku masih berselancar memandangi apa saja yang ada di dalam bangunan konveksi ini. Lebih tepatnya mencari secuil kenyamanan yang kebutuhkan untuk terlelap nanti malam. "Pak, nggak ada bantal gitu?!"Pak Mul menggeleng sambil tersenyum. "Saya biasanya tidur selimutan sarung sama ambil kain yang udah dipotongi buat dijadiin bantal, Mas."Aku kembali menghela nafas sambil merasakan pergolakan dalam batin. Mau bagaimana lagi, ini adalah titah dari ayah tiri Sasha bila aku ingin mendapat restu untuk menikahi putrinya."Pak, saya mau keluar dulu beli bantal sama alas tidur yang lebih nyaman.""Oh silahkan, Mas."Baru saja aku akan memasuki mobil, panggilan dari ayah tiri Sasha membuatku gugup. Kali ini, apa lagi yang mau beliau ucapkan?!Aku harap itu bukan sesuatu hal yang makin menambah daftar kerunyaman soreku kali ini."Udah sampai?""Sudah, Pak
POV PARALIO Awal menjadi 'babu' di tempat konveksi keluarga Sasha perlahan-lahan membuatku tahu jika aku hanya keren dan pintar diluar tapi bodoh soal mengurus rumah tangga. Buktinya, urusan memperbaiki salah satu kerusakan bangunan ini saja aku tidak sanggup."Pak Mul aja lah yang naik. Aku nggak berani."Sekarang kami sedang diperintah ayah tiri Sasha untuk membersihkan genteng yang dipenuhi sampah daun nangka hingga talang airnya bocor. "Kan Mas Kian yang disuruh juragan. Kok malah saya yang disuruh naik?""Pak Mul, saya itu takut ketinggian. Apa lagi saya pakai kacamata, kan beribet jadinya."Itu bukan alasan, melainkan kenyataan jika aku takut ketinggian."Kalau ketahuan juragan gimana?""Nanti aku yang nego deh.""Mas, emangnya Mas Kian tuh nakalin anaknya juragan model apaan sih? Kok sampai disuruh kerja kasar gini?"Mana mungkin aku mengatakan kenakalanku pada Pak Mul hingga membuat Sasha hamil diluar nikah. "Udah lah, Pak. Nggak usah dibahas. Keburu siang.""Tapi nanti Mas
POV PARALIO "Itu obat apa, Sus?" "Ini untuk pereda mual dan penurun panas. Agar pasien nanti bisa makan." Tit... Suara alat cek suhu badan yang ditembak ke dalam lubang telinga menampilkan suhu badanku. "Berapa suhunya, Sus?" "38,5. Nanti setelah obatnya merasuk pasti demamnya akan turun." Setelah membereskan dua suntikan yang dipakai memasukkan obat ke dalam selang infusku, perawat itu pergi lalu aku membuka mata perlahan karena masih teramat pusing dan lemas. "Kian? Mana yang sakit?" Aku sedikit kesusahan berbicara karena terlalu haus. "Minum." Dengan telaten, kepalaku ditahan dengan sebelah tangannya lalu menegukkan segelas air putih melalui tangan satunya. Hanya tiga teguk saja dan perutku rasanya nyeri sekali. Ah... ini kali pertama aku menderita tipes. "Kata dokter, kamu tipes berat. Kamu nggak makan waktu dikasih hukuman?" "Makan." Ucapku lirih. "Tapi kenapa bisa sebanyak itu jumlah bakteri di dalam ususmu?" Tidak mungkin aku berkata jika dipaksa tidur di gedung ko
POV PARALIO"Iya, Tante. Aku masih dengerin kok."Mama melirikku lalu kembali berucap. "Kian mau bicara sama kamu. Tolong ya, Sha.""Aku rasa kami nggak ada hubungan apa-apa lagi, Tante. Kecuali Kian sendiri yang merasa kami masih ada hubungan. Maaf, sejak dia mutusin aku dan nggak ngakui ini darah dagingnya, aku udah mati rasa sama dia."Astaga, andai waktu bisa kuputar kembali."Tante tahu kamu sakit hati banget. Dasarnya Kian yang begonya minta ampun padahal Tante udah ingetin. Tapi sekarang seenggaknya dengerin permohonannya, Sha. Dia tulus.""Baiklah, sebentar aja Tante." Mama mengangsurkan telfon itu dan aku menerimanya dengan tangan bergetar. Efek dari seorang Sasha bisa membuatku segila ini karena sejujurnya aku telah lama mencintainya tapi berlagak tidak mencintainya. Begitu naifnya aku.Kini aku hanya bisa menelan pil penyesalan karena terlalu menuruti gengsi. "Sha, maafin aku.""Iya.""Sha, kamu nggak mau jenguk aku? Aku sakit demi kamu dan anak kita." "Gue sibuk cari ua
POV PARALIO Sebelum aku kembali ke kota karena sudah sehat dan jatah liburku telah usai, aku sengaja ingin menemui Rado di kamarnya. Begitu pintu kamar terbuka, ia tidak berada disana. Saat aku hendak menutup kembali pintu kamarnya, ceceran kertas yang berada di atas meja belajarnya menarik perhatianku. Dia pernah berkata ingin menjadi seorang arsitek sepertiku, kupikir semalam dia membuat rancangan idenya secara sembarang dan aku ingin melihatnya. Bukan sebuah ide bangunan yang membuatku tercengang melainkan sebuah nama yang diukir indah dengan warna merah darah. "Mas?" Aku segera menyembunyikan keterkejutanku lalu berbalik menatapnya dengan seulas senyum lalu bergerak mendekatinya. "Mas mau pamit kamu. Jaga diri baik-baik ya? Jaga Mama. Jangan bandel dan sekolah yang pinter." "Iya. Mas kapan pulang lagi?" "Secepatnya." Aku memeluknya erat lalu mengusap rambutnya yang masih setengah basah. Lalu pergi berpamitan pada mama dan melenggang pergi dengan perasaan carut marut.