POV PARALIO Awal menjadi 'babu' di tempat konveksi keluarga Sasha perlahan-lahan membuatku tahu jika aku hanya keren dan pintar diluar tapi bodoh soal mengurus rumah tangga. Buktinya, urusan memperbaiki salah satu kerusakan bangunan ini saja aku tidak sanggup."Pak Mul aja lah yang naik. Aku nggak berani."Sekarang kami sedang diperintah ayah tiri Sasha untuk membersihkan genteng yang dipenuhi sampah daun nangka hingga talang airnya bocor. "Kan Mas Kian yang disuruh juragan. Kok malah saya yang disuruh naik?""Pak Mul, saya itu takut ketinggian. Apa lagi saya pakai kacamata, kan beribet jadinya."Itu bukan alasan, melainkan kenyataan jika aku takut ketinggian."Kalau ketahuan juragan gimana?""Nanti aku yang nego deh.""Mas, emangnya Mas Kian tuh nakalin anaknya juragan model apaan sih? Kok sampai disuruh kerja kasar gini?"Mana mungkin aku mengatakan kenakalanku pada Pak Mul hingga membuat Sasha hamil diluar nikah. "Udah lah, Pak. Nggak usah dibahas. Keburu siang.""Tapi nanti Mas
POV PARALIO "Itu obat apa, Sus?" "Ini untuk pereda mual dan penurun panas. Agar pasien nanti bisa makan." Tit... Suara alat cek suhu badan yang ditembak ke dalam lubang telinga menampilkan suhu badanku. "Berapa suhunya, Sus?" "38,5. Nanti setelah obatnya merasuk pasti demamnya akan turun." Setelah membereskan dua suntikan yang dipakai memasukkan obat ke dalam selang infusku, perawat itu pergi lalu aku membuka mata perlahan karena masih teramat pusing dan lemas. "Kian? Mana yang sakit?" Aku sedikit kesusahan berbicara karena terlalu haus. "Minum." Dengan telaten, kepalaku ditahan dengan sebelah tangannya lalu menegukkan segelas air putih melalui tangan satunya. Hanya tiga teguk saja dan perutku rasanya nyeri sekali. Ah... ini kali pertama aku menderita tipes. "Kata dokter, kamu tipes berat. Kamu nggak makan waktu dikasih hukuman?" "Makan." Ucapku lirih. "Tapi kenapa bisa sebanyak itu jumlah bakteri di dalam ususmu?" Tidak mungkin aku berkata jika dipaksa tidur di gedung ko
POV PARALIO"Iya, Tante. Aku masih dengerin kok."Mama melirikku lalu kembali berucap. "Kian mau bicara sama kamu. Tolong ya, Sha.""Aku rasa kami nggak ada hubungan apa-apa lagi, Tante. Kecuali Kian sendiri yang merasa kami masih ada hubungan. Maaf, sejak dia mutusin aku dan nggak ngakui ini darah dagingnya, aku udah mati rasa sama dia."Astaga, andai waktu bisa kuputar kembali."Tante tahu kamu sakit hati banget. Dasarnya Kian yang begonya minta ampun padahal Tante udah ingetin. Tapi sekarang seenggaknya dengerin permohonannya, Sha. Dia tulus.""Baiklah, sebentar aja Tante." Mama mengangsurkan telfon itu dan aku menerimanya dengan tangan bergetar. Efek dari seorang Sasha bisa membuatku segila ini karena sejujurnya aku telah lama mencintainya tapi berlagak tidak mencintainya. Begitu naifnya aku.Kini aku hanya bisa menelan pil penyesalan karena terlalu menuruti gengsi. "Sha, maafin aku.""Iya.""Sha, kamu nggak mau jenguk aku? Aku sakit demi kamu dan anak kita." "Gue sibuk cari ua
POV PARALIO Sebelum aku kembali ke kota karena sudah sehat dan jatah liburku telah usai, aku sengaja ingin menemui Rado di kamarnya. Begitu pintu kamar terbuka, ia tidak berada disana. Saat aku hendak menutup kembali pintu kamarnya, ceceran kertas yang berada di atas meja belajarnya menarik perhatianku. Dia pernah berkata ingin menjadi seorang arsitek sepertiku, kupikir semalam dia membuat rancangan idenya secara sembarang dan aku ingin melihatnya. Bukan sebuah ide bangunan yang membuatku tercengang melainkan sebuah nama yang diukir indah dengan warna merah darah. "Mas?" Aku segera menyembunyikan keterkejutanku lalu berbalik menatapnya dengan seulas senyum lalu bergerak mendekatinya. "Mas mau pamit kamu. Jaga diri baik-baik ya? Jaga Mama. Jangan bandel dan sekolah yang pinter." "Iya. Mas kapan pulang lagi?" "Secepatnya." Aku memeluknya erat lalu mengusap rambutnya yang masih setengah basah. Lalu pergi berpamitan pada mama dan melenggang pergi dengan perasaan carut marut.
"Audrey, bisa ke ruangan saya sebentar?" Aku yang tengah mengerjakan laporan keuangan proyek pembangunan jalan usaha tani pun terhenti. "Iya, Pak.""Sekarang. Penting."Sejak Affar membelaku terang-terangan di kantor ini, tidak ada satu pun rekan kerja yang berani berkata jelek padaku. Bahkan Pak Teguh sendiri selalu bermulut manis dan berwajah ramah padaku yang hanya seorang staff keuangan biasa. Begitu aku mendudukkan diri di kursi yang berseberangan dengan Pak Teguh, beliau membuka sebuah map tepat dihadapanku. "Ini surat untukmu. Dari pusat."Mendengar kalimat itu hatiku bergejolak. Kali ini, apa yang akan terjadi pada nasibku?Apakah Affar sebegitu marahnya padaku hingga membuat keputusan yang bisa menghancurkan aku sekali lagi? Tapi, ini bukan salahku. Kian yang datang tanpa diundang lalu mengacaukan segalanya. "Pe...pemberhentian kerja? Apa maksudnya, Pak?" "Surat pengunduran dirimu telah disetujui kantor pusat, Drey." Aku menatap surat dan wajah Pak Teguh bergantian. "S
Sudah jelas tertulis jika aku hanya diberi waktu satu minggu untuk mengalihkan laporan keuangan proyek yang kutangani pada rekanku yang lain. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang staf keuangan biasa sepertiku jika yang mempermainkan jalannya karirku adalah manusia-manusia tidak punya hati seperti Kian?Aku hanya pion, dan dialah rajanya. Sekeras apapun mengadu pada pusat, mungkin Kian hanya mendapat teguran karena memanipulasi dataku. Perusahaan terlalu sayang memberhentikannya untuk seorang kacung sepertiku. Semalam, Mama untuk pertama kalinya menelfonku dan memaksa untuk menerima lamaran Kian akhir bulan ini. Sepicik itu kah pria itu hingga berhasil mencuci otak Mama dan Ayah? Kata-kata manis apa yang dia pakai?Rencananya, setelah cuti melahirkan aku akan kembali mencari pekerjaan untuk menghidupi anakku. Mama sempat protes dan melayangkan amarahnya. Bagaimana mungkin aku dan bayiku bergantung pada orang tuaku? Tidak mungkin aku selalu meminta uang pada mereka untuk membeli popok
Jari telunjukku masih menempel di depan bibir Kian yang masih setia berada di atasku. Pria ini selalu saja tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya ketika berada di dekatku. "Please beri aku waktu buat ngomong, Kian."Kian meraih tanganku lalu menciumnya penuh kesungguhan hingga kedua matanya memejam. Perlakuan Kian selalu saja memabukkan untukku. Terlebih wajah tampannya yang berjarak begitu dekat denganku. "Kamu mau bilang apa? Aku dengerin sayang.""Stop perhatian sama gue." Ucapku lirih.Lalu raut wajahnya berubah sedih tanpa melepas tanganku yang berada dalam genggamannya. "Jangan minta hal-hal yang nggak mungkin bisa aku turuti, Sha. Aku nggak mungkin bisa jauhi kamu dan anak kita.""Tapi lo nyakitin gue, Kian. Kepercayaan gue udah hilang. Sekeras apapun lo berusaha, gue nggak bisa percaya.""Nggak, Sha. Kali ini aku janji aku nggak bakal ninggalin kalian. Aku janji, Sha. Janji!"Aku menggeleng tidak mau. "Beri aku kesempatan, Sha. Aku nggak bisa hidup bahagia kalau bukan sama
"Syarat yang gue minta bukan sesuatu yang besar untuk lo, Kian. Tapi ini besar buat gue.""Katakan. Apa yang kamu minta?" Ucapnya tanpa melepas tangan kiriku yang ia genggam dengan kedua tangannya. "Gue minta satu dari cabang toko aquascape lo jadi milik gue sepenuhnya. Lo nggak bakalan miskin cuma karena kehilangan satu toko itu buat gue. Calon istri lo."Kian, dia memiliki banyak toko cabang aquascape dan distro yang dijalankan bersama si tajir Alfonso. Aku tahu bagaimana uletnya seorang Alfonso mengatur keuangan dan menjalanlan bisnis agar tidak macet di tengah jalan. Dia putra seorang pebisnis dan darah itu mengalir dalam tubuhnya. Aku tidak heran jika Kian bisa semapan ini karena ia pandai menginvestasikan hartanya bersama Alfonso yang ulet."Gue nggak mau nggak punya uang kalau lo ninggalin gue sama anak gue. Karena lo udah ambil karir gue. Sampai sekarang gue masih belum percaya lo baik-baik ke gue, Kian. Gue masih takut, suatu saat ketika gue lemah lo buang gue.""Dan soal ja