Enjoy Reading....
"Sha, mau makan apa?" Kian bertanya ketika kami perjalanan pulang ke rumah setelah USG. "Kian, boleh aku tanya?" "Apa?" Kali ini dia tidak lagi menggenggam tanganku seperti yang dia lakukan ketika berangkat ke klinik kandungan. Sungguh aku seperti hanya ditarik ulur olehnya. "Kenapa tadi kamu lebih banyak diem? Ada yang salah sama USG-nya?" Kian segera menepikan mobilnya ketika aku bertanya demikian. Rupanya ini adalah pembahasan yang cukup menyentil perasaannya. "Kamu perhatiin aku?" Aku mengangguk pelan tanpa melihat wajahnya. "Kamu mikir apa kalau boleh tahu?" "Aku seneng kamu akhirnya perhatian sama aku." Aku menoleh lalu mendapatinya sedang menatapku dengan senyum bahagianya. "Maksudnya?" "Aku sengaja pura-pura sedih biar aku tahu kamu perhatiin aku apa nggak." Siapa yang tidak kesal mendapati jawaban seperti itu? Reflek tanganku memukuli lengannya berulang kali hingga Kian tertawa terbahak-bahak sedang aku terus meluapkan amarah dan kekesalanku karena dikerjai oleh
Tidak ada perubahan. Hubunganku dengan Rado justru makin memanas. Bahkan dengan terang-terangan di suatu sarapan, dia memakiku dengan kesal karena bersikap sok manis padanya. Padahal aku hanya menyiapkan susu coklat kesukaannya. "Jangan buatin aku susu coklat sama tangan burikmu itu!" Setelah menyiramkan susu coklat itu ke wajahku, dia membanting gelas kaca itu tepat di sisi kiri kakiku. Betapa tidak bergetar tubuhku karena diperlakukan dengan tidak baik oleh Rado. "Cukup Rado!" "Kenapa?! Mama mau ngaduin ini ke Mas Kian? Aduin aja! Atau aku bakal buat dia nangis darah!" Lalu pada suatu hari, ia mengunci pintu rumah ketika aku sedang menyiram tanaman di pagi hari. Kebetulan Tante sedang keluar dan jadilah aku menunggu di teras rumah hingga Tante datang siang hari. Padahal aku sangat lapar dan belum meminum vitamin dari dokter. Dan ujungnya dua hari yang lalu, ketika Rado mengambil semua pakaianku di jemuran lalu memasukkannya ke keranjang sampah. Kemudian mengikat ujung wadah
Saat berjalan dengan membawa tas jinjing berisi pakaian saja, tiba-tiba kandunganku yang sudah mendekati hari perkiraan lahir bereaksi lain. Aku masih ingat jika perkiraan lahirnya masih minggu depan. Pikirku ini hanya kram biasa karena stres yang sedang kualami. Sedikit tertatih, aku memaksa terus berjalan pelan menuju sebuah pos penjagaan kompleks perumahan yang kosong. Syukurlah aku bisa mendudukkan diri disana sambil mengatur nafas dan hati yang carut marut. "Ya Tuhan, kuatkan aku. Aku mohon. Beri aku kekuatan menjalani ini bersama anakku." Ingin rasanya aku menangis tapi itu percuma karena aku tidak mau menoleh ke belakang meski Kian, Tante, bahkan kedua orang tuaku meneriakiku untuk kembali. Semua luka itu, aku lelah merasakannya. "Apa gue minta tolong Alfonso ya?" Gumamku dengan ringisan di bibir. Astaga, perutku mulai terasa sangat aneh dan jujur saja aku takut melahirkan saat perjalanan menuju kos Amelia. "Sakitnya kok begini ya? Aduh..." Kekhawatiranku makin menjad
"Sus, tolong jangan diangkat." Ucapku lirih. Untuk bersuara saja, aku sangat irit. Tenaga yang tersisa di tubuh, serta kesadaran yang harus kujaga penuh, harus kukerahkan demi buah hatiku. Walau sakit di perut tiada terkira, bahkan seperti dikuliti sungguhan, setidaknyan aku harus kuat. Aku ingin melahirkan anakku dengan selamat bahkan ketika dia lahir aku berharap masih memiliki tenaga untuk menimangnya. "Maaf, Bu Audrey. Saya pernah melahirkan, jadi saya tahu bagaimana susahnya jika harus mandiri setelahnya. Tidak mungkin suster yang berjaga akan terus fokus pada Ibu Audrey, karena kami juga memiliki tugas yang lain." Akhirnya panggilan itu dihubungkan suster lalu meloudspeaker dan mengarahkannya tepat dihadapanku. "Halo, Drey?" "Ha... halo, Mel." "Ada apa tadi nelfon? Sorry gue baru kelar rapat." Suster kembali mengangguk meyakinkan jika aku harus mengatakan kondisiku pada Amelia. "Mel, sorry kalau gue ganggu." Ucapku masih lirih karena berbarengan dengan perih yang ter
"Tante, aku cuma mau minta maaf biar dilancarkan. Apalagi, aku mau lahiran." Tante masih setia mengusap punggung dan pinggangku bergantian. "Lebih baik, kita terus berdoa semoga kamu diberi kelancaran melahirkan. Nggak usah mikir yang lain-lain, Sha."Gelombang nyeri itu kembali menggilas perutku dan rasanya makin lama makin sakit saja. Sampai aku mendesis lalu menggigit bibir bawah. "Tante, apa Rado masih nggak suka sama aku?" "Sha, udah. Jangan bahas yang lain. Tante mau cucu Tante lahir dengan selamat." Dan tidak berapa lama, perawat yang tadi sempat membantuku mengurus surat tes DNA kembali membuka suara sambil menyodorkan kertas yang harus kutandatangani. "Tes DNA calon bayinya akan dicocokkan dengan sampel milik siapa, Bu Audrey?" Tante memandangku tidak percaya begitu aku memutuskan tes DNA. "Dengan putra ibu ini, Sus. Tapi orangnya tidak ada." Jawabku sekenanya sambil meringis menahan sakit. "Bisa diwakilkan dari ibunya karena pertalian DNA masih dekat." Aku menatap w
"Maaf, Bu. Silahkan tunggu di luar. Pasien memerlukan tindakan gawat darurat!"Itu suara suster yang ikut membantu Sasha saat persalinan. "Menantu saya kenapa, Sus?" "Maaf, Bu. Nanti bisa ditanyakan kembali."Tubuh Ibu Kian hampir luruh di lantai jika tidak segera berpegangan pada kursi panjang di sebelahnya usai pintu ditutup rapat. Membayangkan Sasha berurai darah akibat pendarahan selepas melahirkan, membuat mentalnya turun seketika."Baru aja kita senang karena bayimu lahir sehat dan selamat. Tapi kenapa kamu jadi pendarahan kayak gini, Sha?"Bayangan Sasha tidak bisa di tolong lagi, justru memperunyam jalan pikirannya. "Tante harus bilang apa sama kedua orang tuamu, Sha? Tante kayak orang tua yang nggak becus! Yang nggak bisa jagain kamu." Sebagai seorang ibu dan nenek, Ibu Kian merasa begitu terpukul melihat Sasha yang masih muda harus mengalami banyak kesedihan sejak berkenalan dengan Kian, putranya itu. Hamil lalu ditinggalkan, bahkan rencana pernikahannya dengan Affar pun
Siapa yang tidak bergetar hatinya ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir ke dunia tapi tidak didekap oleh ibunya?Bukan karena bayi itu sakit, tapi ibu si bayi yang tengah kritis. Berjuang bertahan diantara hidup dan mati.Sebenci apapun Sasha pada keluarga Kian, ia ingin pergi bersama anaknya tanpa permusuhan. Sekalipun cintanya pada Kian seluas samudra, ia ingin menjauh diam-diam tanpa harus ada drama yang membuatnya kembali luluh. "Cepat hubungi Masmu. Dia berhak tahu kondisi Sasha dan anaknya."Rado masih mematung menatap bayi imut yang menggemaskan itu. Memorinya berputar ke masa lalu saat ia dan ibunya kerap mengunjungi panti asuhan."Kenapa kamu diam aja, Do? Cepat hubungi Masmu."Rado tidak mendengarkan karena otaknya masih tertuju pada hal lain. Hingga dia menemukan satu benang merah yang baru disadari sekarang."Apa dulu Mama sengaja ngajak aku ke panti asuhan karena bayi ini?"Ibunya menoleh dengan menggendong bayi yang baru saja dilahirkan Sasha."Iya. Apa kamu ma
Rado tidak seberani itu untuk mengakui kesalahan apalagi mempertanggungjawabkannya. Terlebih dihadapan Kian. Lebih baik dia menyimpan rahasia itu sendiri atau menutupinya dengan mencari kambing hitam daripada Kian murka padanya. Rado sangat menyayangi kakaknya itu melebihi apapun. "Mbak Sasha kayak gini itu bukan salahku, Ma! Dia pergi dari rumah juga bukan salahku. Itu pilihan dia sendiri! Dan aku nggak mau Mama nyuruh aku hubungin Mas Kian lagi." "Mama cuma minta kamu hubungi Masmu aja. Nggak ada maksud lain. Kecuali ada sesuatu yang kamu sembunyiin kenapa Sasha sampai keluar dari rumah bawa tas dan baju ganti." "Mama pikir aku ngusir Mbak Sasha?" "Mama nggak mikir gitu. Kecuali kamu sendiri yang bersedia bilang jujur kenapa Sasha bisa pergi dari rumah." "Aku pulang." "Rado! Mama belum selesai bicara!" Tanpa menunggu persetujuan Ibunya, Rado bergegas keluar dari gedung rumah sakit. Ia tidak siap terus menerus berdebat karena itu semakin membuatnya terpojok. Baru saja sampai