Enjoy reading...
POV PARALIO Aku mengeluarkan satu benda yang kusimpan baik-baik di satu bilik lemari panjang kamarku. Sebuah buku nikah yang sengaja telah kupersiapkan secara diam-diam dengan bantuan seseorang. Satu buku milikku dan satu lagi untuk Sasha. Kupikir Sasha menemukannya karena bersebelahan dengan bilik lemari yang dipakai Sasha menata semua bajunya. Ternyata dia tidak menemukan buku nikah ini. Karena keduanya masih berada di tempat yang sama tanpa berubah posisinya. Dihadapan Rado dan Mama, aku menunjukkan kedua buku itu dengan perasaan hancur. Terserah jika Rado tidak menyukai ideku ini. Karena aku jauh lebih tidak bisa hidup tanpa Sasha dari pada tanpa Rado. "Sasha itu tulang rusukku yang sebenarnya, Ma. Dia itu sebagian dari jiwaku. Tanpa dia, mungkin aku nggak akan nikah lagi." "Kian, Sasha pasti sehat lagi, nak." Mama berucap dengan lelehan air matanya. "Aku harap Sasha kembali sehat, Ma. Aku pengen berbagi senang dan susah sama dia. Aku pengen kami besarin anak-anak kami, Ma."
POV PARALIO "Saya ingin meminta ijin sama Ayah kandung Audrey untuk menikahinya, Om.""Iya, akan aku sampaikan sama Mamanya Audrey.""Tidak, Om. Maksudnya saya minta nomer beliau sekarang.""Lho, mau kamu telfon langsung?""Iya, Om.""Kok ndadak banget, Kian? Bukannya kalian nikahnya setelah Audrey lahiran?"Dengan hati yang masih remuk redam karena kembali teringat kondisi Sasha yang tidak baik-baik saja di rumah sakit pasca melahirkan, aku menguatkan hati untuk menjawab pertanyaan Ayah tiri Audrey."Audrey, sudah melahirkan, Om."Mama dan Ayah tirinya berhak sekali tahu kondisi Sasha karena mereka adalah orang tuanya, keluarganya. "Benarkah? Kok kamu nggak ngasih kabar sih, Kian?!" Tanyanya kesal."Maaf, Om. Tadi... masih repot. Karena Audrey jadwal lahirannya maju dua minggu.""Terus gimana kabarnya sekarang? Bayinya laki-laki apa perempuan?"Sejak awal USG, Sasha tidak pernah meminta dokter kandungan mengatakan jenis kelamin calon bayinya. Wajar jika kami semua tidak tahu pasti j
POV PARALIO Akad nikah sedang berlangsung. Tapi tanpa mempelai wanita yang biasanya akan duduk di samping calon imamnya. Tidak! Acara akad nikahku kali ini begitu unik dan mengharukan. Saat aku sudah bersiap dengan batik parang yang tersetrika rapi, berikut dengan mahar seperangkat alat ibadah dan perhiasan, juga saksi yang bukan berasal dari orang spesial karena mereka hanya petugas KUA. Tidak ada dekorasi yang indah sebagai perlambang kebahagiaan kami mengikat janji suci lalu bersama-sama mengarungi bahterah rumah tangga. Semuanya serba sederhana. Karena yang terpenting adalah kata 'sah' yang diucapkan para saksi atas akad nikah yang kulafalkan. Ada Mama, calon ibu dan ayah mertuaku, wali hakim yang akan menggantikan peran ayah kandung Sasha, dan adikku Rado. Kehadiran Rado di acara akad nikahku tanpa drama seperti biasanya. Mungkin ia tahu jika aku benar-benar terluka dan hancur karena keadaan Sasha yang masih kritis di ruang ICU. Ada raut ketakutan di wajahnya ketika tempo h
POV PARALIO Masa bodoh dengan panggilan dari Pak Affar. Dia tidak lebih penting dari istriku yang tengah berjuang di ruang ICU. Masih setia aku menemani Sasha disisinya hingga seorang perawat menyuruhku untuk keluar dari ruangan. Jam besuk untuk para pasien di ruang ICU hanya beberapa menit saja dan itu sangat berarti untukku. Baru keluar dari ruang ICU, dering ponselku kembali terdengar dan Pak Affar masih setia menghubungiku. Lalu jemariku menggeser tombol hijau dan mendekatkannya di telinga. "Selamat siang, Pak Lio." "Siang, Pak Affar." Jawabku sekenanya dengan nada tidak bersemangat. "Gimana keadaan Audrey sama bayinya?" Aku cemburu karena baru saja aku menikahi Sasha, sang pemuja rahasianya sudah mengkhawatirkan keadaannya. "Saya minta doanya saja." "Bayinya?" "Sehat." "Audrey? Apa saya bisa bicara sama dia? Kebetulan ponselnya nggak aktif." Suami mana yang tidak berang ketika istrinya dikhawatirkan lelaki lain? Dan aku rasa jika merasa cemburu adalah hal yang san
POV PARALIO "Jawab, Rado! Kamu kan yang bikin Sasha keluar dari rumah?" Aku setengah berteriak pada Rado. Satu hal yang selama ini hampir jarang kulakukan karena aku tidak mau membuat traumanya kembali, juga karena kasih sayangku untuknya yang teramat besar. Hingga aku sadar bahwa kemanjaan yang selama ini kuberikan padanya adalah bom waktu yang membuat Rado menjadi tidak mandiri dan berubah seenaknya. Dan kali ini Sasha dan anakku menjadi korbannya. Aku terlambat menyelamatkan mereka. Lebih tepatnya Sasha hampir terlepas dari genggamanku meski hidupnya masih bisa diselamatkan dengan bergantung pada alat-alat medis di ruang ICU. "Kalau kamu masih nggak mau ngaku, mending Mas nggak usah ketemu kamu selamanya! Sekalian kamu akan Mas kirim ke rumah konseling!" Ancamku tidak main-main. Wajahnya berubah pias lalu bergegas menggenggam tanganku. "Jangan, Mas! Jangan bawa aku ke rumah konseling." "Mas nggak punya cara lain, Do! Kamu berubah egois dan mulai nyakitin orang lain! Kalau
POV PARALIO Hari ini, dokter memberi kabar jika putriku sudah diperbolehkan pulang. Sudah tiga hari dua malam ia berada di ruang khusus bayi ditemani para suster dan aku hanya diperbolehkan menjenguk sesekali untuk melihat perkembangannya. "Kasihan cucuku, nggak bisa ketemu Audrey. Nggak dapat asi pertama, juga nggak dapat sentuhan Audrey." Itu suara ibu mertuaku. Air matanya berlinang kembali mengingat keadaan Sasha yang belum pulih. Dia masih senantiasa tidur begitu lelap sedang aku dan yang lain sudah sangat menanti ia pulih kembali. "Jangan sedih, Ma. Audrey pasti sembuh. Sekarang, kita pulang dulu ke rumah Mamanya Kian." Itu suara ayah tiri Sasha yang berusaha menenangkan istrinya. "Kian, kamu jaga di rumah sakit ya? Mama sama mertua dan anakmu balik dulu." Putriku sudah berada di dekapan ibu mertua. Bayi mungil cantik yang masih berusia tiga hari itu belum memiliki nama karena aku ingin Sasha sendiri yang memberinya nama. "Ya, Ma. Hati-hati." Kamar tamu telah disiap
POV PARALIO Suami mana yang bisa menerimakan istri yang baru saja dinikahi, dianggap seperti adik sendiri oleh mantan kekasih sekaligus mantan calon suaminya? Tidak ada yang bisa menerima hal itu kecuali suaminya tidak merasakan cinta sedikitpun untuk istrinya. Tapi aku berbeda. Aku suami yang mencintai istriku, Sasha. Aku bisa menerima segala masa lalunya tapi tidak dengan ucapan Pak Affar yang seolah-olah masih berharap bisa mengambil Sasha dariku. "Saya serius nganggep Audrey kayak adik saya sendiri. Pak Lio nggak perlu berpikir sejauh itu." "Untuk semua alasan anda, saya nggak ngijinin anda nganggep Audrey kayak adik sendiri. Dia punya saya yang bisa dia jadiin kakak, sahabat, sekaligus teman hidupnya sampai kapanpun." Pak Affar menghela nafas panjang sembari menyandarkan punggungnya di kursi panjang depan ICU."Sebenarnya ada kekecewaan dalam hati saya begitu tahu Pak Lio nggak bisa jaga Audrey dengan baik sampai dia kayak gini." Hatiku tercubit seketika, sedang Rado langsu
POV RADOSudah lima hari ini, tugasku tidak hanya belajar melulu. Ada satu tugas yang kini berubah menjadi satu kewajiban penuhku. Dan itu terjadi karena ulahku yang terlalu egois dan tidak mau tahu. Merawat bayi mungil nan ayu. Darah daging Mas Kian dan Mbak Sasha yang terlahir ke dunia tanpa belaian sang ibu. Sebagai permintaan maafku karena membuat ia kehilangan dekapan penuh kasih sayang Mbak Sasha, aku menganggapnya seperti putri pertamaku. "Eh, anak cantik lagi mandi ya?" Itu suara Mas Kian. Aku yang tengah belajar menaburkan bedak ke tubuh bayi mungilku bersama wanita paruh baya yang bertugas memandikan bayi baru lahir, tersenyum sembari mengangguk ke arah Mas Kian. "Mas, udah siap?" Tanyaku begitu melihat Mas Kian sudah rapi dengan kemejanya. "Udah. Tinggal nungguin anak cantik ini selesai mandi." Jemari Mas Kian terulur membelai lembut pipi putrinya yang putih seperti warna kulitnya. Mas Kian, kakak kandungku yang memiliki kadar ketampanan yang lebih dengan didukung ota