Enjoy reading...
POV PARALIO Hari ini, dokter memberi kabar jika putriku sudah diperbolehkan pulang. Sudah tiga hari dua malam ia berada di ruang khusus bayi ditemani para suster dan aku hanya diperbolehkan menjenguk sesekali untuk melihat perkembangannya. "Kasihan cucuku, nggak bisa ketemu Audrey. Nggak dapat asi pertama, juga nggak dapat sentuhan Audrey." Itu suara ibu mertuaku. Air matanya berlinang kembali mengingat keadaan Sasha yang belum pulih. Dia masih senantiasa tidur begitu lelap sedang aku dan yang lain sudah sangat menanti ia pulih kembali. "Jangan sedih, Ma. Audrey pasti sembuh. Sekarang, kita pulang dulu ke rumah Mamanya Kian." Itu suara ayah tiri Sasha yang berusaha menenangkan istrinya. "Kian, kamu jaga di rumah sakit ya? Mama sama mertua dan anakmu balik dulu." Putriku sudah berada di dekapan ibu mertua. Bayi mungil cantik yang masih berusia tiga hari itu belum memiliki nama karena aku ingin Sasha sendiri yang memberinya nama. "Ya, Ma. Hati-hati." Kamar tamu telah disiap
POV PARALIO Suami mana yang bisa menerimakan istri yang baru saja dinikahi, dianggap seperti adik sendiri oleh mantan kekasih sekaligus mantan calon suaminya? Tidak ada yang bisa menerima hal itu kecuali suaminya tidak merasakan cinta sedikitpun untuk istrinya. Tapi aku berbeda. Aku suami yang mencintai istriku, Sasha. Aku bisa menerima segala masa lalunya tapi tidak dengan ucapan Pak Affar yang seolah-olah masih berharap bisa mengambil Sasha dariku. "Saya serius nganggep Audrey kayak adik saya sendiri. Pak Lio nggak perlu berpikir sejauh itu." "Untuk semua alasan anda, saya nggak ngijinin anda nganggep Audrey kayak adik sendiri. Dia punya saya yang bisa dia jadiin kakak, sahabat, sekaligus teman hidupnya sampai kapanpun." Pak Affar menghela nafas panjang sembari menyandarkan punggungnya di kursi panjang depan ICU."Sebenarnya ada kekecewaan dalam hati saya begitu tahu Pak Lio nggak bisa jaga Audrey dengan baik sampai dia kayak gini." Hatiku tercubit seketika, sedang Rado langsu
POV RADOSudah lima hari ini, tugasku tidak hanya belajar melulu. Ada satu tugas yang kini berubah menjadi satu kewajiban penuhku. Dan itu terjadi karena ulahku yang terlalu egois dan tidak mau tahu. Merawat bayi mungil nan ayu. Darah daging Mas Kian dan Mbak Sasha yang terlahir ke dunia tanpa belaian sang ibu. Sebagai permintaan maafku karena membuat ia kehilangan dekapan penuh kasih sayang Mbak Sasha, aku menganggapnya seperti putri pertamaku. "Eh, anak cantik lagi mandi ya?" Itu suara Mas Kian. Aku yang tengah belajar menaburkan bedak ke tubuh bayi mungilku bersama wanita paruh baya yang bertugas memandikan bayi baru lahir, tersenyum sembari mengangguk ke arah Mas Kian. "Mas, udah siap?" Tanyaku begitu melihat Mas Kian sudah rapi dengan kemejanya. "Udah. Tinggal nungguin anak cantik ini selesai mandi." Jemari Mas Kian terulur membelai lembut pipi putrinya yang putih seperti warna kulitnya. Mas Kian, kakak kandungku yang memiliki kadar ketampanan yang lebih dengan didukung ota
POV RADO "Rado! Kamu mau kemana? Bilang sama Mama!" Mama bertanya setengah berteriak karena aku tidak memperdulikan pertanyaannya. Aku justru berjalan cepat menuju garasi rumah lalu menaiki motor sport hitam milikku dengan begitu gagahnya. Ditambah helm full face yang kupakai makin menambah kadar ketampananku. "Rado! Kembali!" Aku tidak memperdulikan teriakan Mama dan tetap melajukan motor sportku menuju rumah sakit. Tujuan utamaku adalah menemui Mbak Sasha. Ya, perasaan penuh rasa bersalah ini makin kuat bersarang setelah menemukan buku diarynya yang tidak pernah menyinggung rasa tidak sukanya padaku. Padahal aku sangat melukai dirinya hingga sedalam ini bahkan aku telah membuatnya terpisah dari darah dagingnya yang jelas-jelas sangat membutuhkan dirinya di setiap detik hembusan nafasnya. Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu kemudian memperbaiki sikap jahatku padanya. Membiarkan dia hidup bahagia menjadi bagian baru dari keluargaku. Setelah memarkir motor, aku berlari cepat m
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa