Share

Part 2 Jangan Pergi

Jam dua belas siang kami pulang ke rumah. Syifa langsung tidur kelelahan. Sementara aku langsung ke belakang membereskan jemuran yang sudah kering dan mencuci baju renangnya Shifa.

Ketika sedang sibuk menyetrika di kamar belakang, Mas Ilham menghampiri dan duduk di kursi sebelahku.

"Mama barusan nelfon. Malam ini kita di undang makan malam di rumah Mama."

Aku mengangguk tanpa memandangnya. Setiap kami di undang ke sana, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh mertuaku. Mungkin soal perceraian itu.

"Bawa baju ganti, nanti kita menginap di sana," ucap Mas Ilham sebelum beranjak pergi.

Baju yang sudah kulipat, kuletakkan di keranjang yang nantinya kususun di lemari masing-masing. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mulai mengemas baju-baju besok setelah memasak, mumpung hari Minggu. Jika Pak Nardi datang, tinggal mengangkut saja.

Selesai setrika aku kembali ke dapur. Menyusun perabot di rak, membersihkan dinding dekat kompor yang sebenarnya sudah bersih.

Inilah kegiatanku jika Mas Ilham di rumah hari Sabtu-Minggu. Seharian menyibukkan diri dengan kerjaan rumah. Mungkin tetangga yang melihat berpikir aku seperti orang gila, benda-benda yang tidak perlu pun aku bersihkan. Seperti menyemprot pagar belakang, atau pintu pagar besi depan. Membersihkan satu per satu pot bunga yang terkena cipratan air saat aku menyiram tanaman. Ini caraku untuk menjaga hati tetap sehat daripada melihatnya sibuk dengan ponselnya.

Mungkin ada yang menyarankan, bukankah lebih baik aku mendekatinya, mengajak ngobrol, atau bercanda. Daripada melakukan hal yang tidak penting. 

Sudah, selama ini aku telah melakukan itu. Berusaha mendekati dan menciptakan perbincangan seputar pekerjaan dan hobinya. Namun hanya sejenak ditanggapi, setelah itu dia akan sibuk sendiri. Menjawab pesan atau mendengar curhatan perempuan di seberang sana. Seolah deritanya saja yang tidak bertepi dan hanya Mas Ilham yang bisa memahami.

"Berhentilah, Vi. Apa kamu tidak capek, dari tadi tidak istirahat," tegur Mas Ilham yang berdiri di pintu samping.

Aku tersenyum tanpa memandangnya. Kemudian mengangkat satu pot berisi bunga mawar, untuk kupindahkan ke teras depan. 

Bunga mawar putih itu kubawa dari rumah mertua setelah beberapa hari aku merawat beliau yang sedang sakit. 

Setiap beliau sakit, akulah menantu yang dipanggilnya untuk menemani, bukan dua menantunya yang lain. Kurawat beliau seperti ibuku sendiri. Kubersihan rumahnya dan menyusun barang yang berantakan di sana.

Semua kulakukan demi bakti seorang istri dan menantu di keluarga itu. Namun, tidak juga bisa membuka hati Mas Ilham sedikit saja. Padahal sudah bertahun aku melakukannya.

Kadang aku heran, kenapa dia menikahiku kalau tidak mencintaiku? Kenapa dia juga menyentuhku. Apakah hanya untuk melampiasan kebutuhan biologisnya? Ah, siapa tahu saat bersamaku dia membayangkan bersama wanita itu.

Kuhentikan sejenak kegiatanku, saat ujung jari telunjuk tertusuk duri mawar. Hanya setetes saja darah yang keluar, tapi nyerinya sangat terasa.

"Kenapa?" 

Aku menoleh ke belakang, rupanya Mas Ilham masih duduk di kursi teras samping. Ia berdiri dan mendekat.

"Enggak apa-apa," jawabku melanjutkan lagi memotong cabang-cabang kering di pohon mawar.

"Tanganmu berdarah."

"Ya, luka sedikit."

"Diobati dulu."

"Biar saja, nanti juga sembuh."

Pot terakhir, berisi bunga kamboja warna kuning, kuletakkan di dekat pagar depan. Setelah itu aku mencuci tangan di kran, masuk rumah, lalu menyapu. 

Pembantu rumah depan sana saja tidak sesibuk diriku, dia bekerja santai. Sambil nyanyi-nyanyi dan sang majikan tidak pernah peduli, yang penting pekerjaan beres.

🌺🌺🌺

Sehabis Salat Maghrib kami berangkat ke rumah Mama. Untuk ke sana hanya perlu menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Wanita umur enam puluh lima tahun yang anggun itu menyambut kami dengan gembira. 

Syifa dipeluk erat kemudian digendong ke ruang makan.

"Sudah lapar apa belum?"

"Hu um, Nek. Syifa lapar banget, nih."

Ibu mertuaku tersenyum sambil menciumi pipi gembil Syifa.

Di meja makan sudah ada beberapa menu yang dihidangkan. Ada kare ayam dan tumis pare kesukaan Mas Ilham. Kentucky kegemaran Syifa dan tumis brokoli, ayam suwir plus wortel untukku.

"Ayo, makan!" 

"Dinar ke mana, Ma? Kok, enggak ada," tanyaku tentang cucu sulung mama mertua. Dia putri dari Kakak Mas Ilham yang nomer satu. Remaja kecil umur dua belas tahun itu yang menemani neneknya.

"Masih ngaji di masjid. Nanti habis Isya baru pulang. Sudah dua hari ini dia ikut ngaji malam. Biasanya cuma sore saja."

Saat makan kami berbincang ringan. Mas Ilham membahas pekerjaannya yang sering ke luar kota. Aku hanya jadi pendengar saat dia bercerita dengan sang mama.

Seperti yang kulakukan di rumah, usai makan kubereskan semuanya.

Habis Salat Isya Mama mengajak kami berbincang di ruang tamu. Dinar yang menemani Syifa nonton kartun sambil tiduran di kasur lantai.

"Mama tadi siang ke toko kue ibumu, Vi. Hampir setengah hari Mama berbincang. Intinya kami membahas masalah kalian." Mama membuka percakapan.

"Kami masih ingin kalian mempertahankan pernikahan. Pertimbangkan lagi rencana perceraian itu. Kasihan Syifa, dia butuh orang tua yang lengkap."

Aku dan Mas Ilham diam mendengarkan. 

Apa Mama tidak tahu kalau hubungan papa dan anak itu tak seperti kakak-kakaknya Mas Ilham dengan putra putri mereka?

Bagiku perceraian ini tidak akan berpengaruh sama sekali bagi Syifa. 

"Ham, apa kamu sudah lupa dengan hinaan orang tua Nura ketika kamu masih belum sesukses sekarang ini? Bagaimana mereka menentangmu saat dekat dengan anaknya dulu? Ayahnya Nura memang sudah meninggal, tapi bukan berarti kalian bisa seenaknya untuk bersama. Kamu sudah punya Vi dan Syifa. Sekarang ganti Mama yang tidak suka dengan cara kalian berteman."

Aku menarik napas dalam-dalam mendengar mertuaku bicara. Mama memang tegas dengan berkata tidak menyukai kedekatan mereka berdua, meski dengan alasan sebagai teman. 

"Malam ini biar Syifa tidur dengan Mama dan Dinar. Kalian perlu bicara berdua dari hati ke hati. Kami sebagai orang tua, enggak ingin rumah tangga kalian kandas."

Mama mertuaku berdiri dan meninggalkan kami. 

🌺🌺🌺

Di kamar ini, kami seperti dua orang asing yang baru bertemu pertama kali. Di kamar ini juga, Mas Ilham menyempurnakan aku sebagai istrinya, setelah pesta pernikahan yang melelahkan.

Waktu itu aku merasa telah menjadi ratu dihatinya. Namun, seiring berjalannya waktu menyadarkan bahwa kehadiranku hanya sebatas bayangan sebagai pelipur lara dari segenap luka-lukanya.

Wanita itu masih tetap kokoh bertahta. 

Dalam posisi miring, aku diam dan memejam. Bertanya pada hati, apa aku harus bertahan demi mertua atau melepaskan untuk kesehatan jiwa.

"Vi." Sentuhan di pundak membuatku terhenyak. Aku membuka mata meski tidak memandangnya. Kurasakan ada gerakan yang mendekat.

"Bisa kita bicara?"

Aku bangun kemudian bersandar pada kepala ranjang. Menahan selimut agar tetap menutupi dada.

Setelah mengatur suasana hati, kupandang pria yang bergelar suami dalam jarak yang begitu dekat. Sorot netranya sulit kupahami. Tajam dan misterius. Rahangnya mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. Dia yang selalu rajin merapikan cambang, akhir-akhir ini tampak abai.

"Mas, aku sudah sampai pada batasku. Sudah waktunya aku berhenti pada titik ini. Maaf, sudah cukup aku mengemis perhatian agar dianggap ada." 

Entah dapat kekuatan darimana, aku bisa mengucapkan kalimat dramatis itu. Luka-luka ini membuatku lebih pandai berpuisi.

"Maaf, jika Mas terlena selama ini. Terbelenggu dengan masa lalu hingga mengabaikan hadirmu."

Aku menggigit bibir bawah, agar getarnya tidak tampak.

"Beri Mas kesempatan untuk menebus semuanya."

"Lima tahun ini sudah membuatku lelah. Saat, Mas, mengabaikanku, aku masih bisa terima. Tapi saat, Mas, enggak memperhatikan Syifa, itu yang melukaiku sangat dalam. Apa aku salah telah melahirkannya?" Mengatakan kalimat ini membuat napasku seolah tercekik. 

Mas Ilham memandang tajam, lantas menggeleng pelan. "Mas tidak sekejam itu, Vi. Tidak ada yang bisa mengeluarkan darahku yang mengalir ditubuhnya."

Air mata mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi.

"Mas, ingat saat kita liburan bareng bersama Nura dan anaknya. Saat kedua bocah itu terpeleset di kolam renang yang dalam. Tangan siapa yang Mas tahan? Bukan tangan Syifa, tapi lengan Dini. Dia yang Mas selamatkan."

Mata Mas Ilham memerah dan rahangnya mengeras.

"Aku diam dan menahan semuanya, karena apa? Karena aku bodoh. Apa pun kuterima dengan lapang dada. Tapi sekarang ... aku sudah lelah. Setelah satu per satu kedekatan kalian membuka mataku. Maaf, aku menyerah."

Kutarik napas dalam-dalam, menahannya di dada agar tangisku tidak pecah lagi.

"Waktu itu Mas menyelamatkan dua-duanya. Hanya saja tangan Syifa yang terlepas. Mas panik."

"Ya, enggak perlu dibahas lagi, Mas. Karena waktu itu aku juga percaya dengan apa yang Mas katakan. Meski Syifa trauma berbulan-bulan. Dan baru sekarang mau berenang lagi."

Hening beberapa saat menjadi jeda percakapan kami. Hanya bunyi jam dinding yang detak jarumnya terdengar jelas di kamar ini.

"Setelah pulang dari rumah Mama, aku akan mulai berkemas-kemas."

"Apa kamu tidak ingin memberikan Mas kesempatan sekali lagi?"

"Tadi sudah kubilang, kalau aku menyerah. Mas bersamaku tapi hati untuk yang lain, buat apa? Kita akan sama-sama tersiksa nantinya. Kita merasakan kebahagiaan sebagai suami istri hanya setahun saja di awal pernikahan. Setelah itu, Mas kembali sibuk dengan cinta Mas yang tidak pernah selesai."

Kutarik napas sejenak. "Carilah kebahagiaan itu. Aku juga akan mencari kebahagiaanku."

Malam ini menjadi malam panjang bagi kami. Kegelisahan membuatku dan Mas Ilham tidak bisa terlelap hingga jam dua pagi. 

Rasanya baru saja memejam, saat kudengar azan subuh berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah mertua. 

Saat mataku terbuka, aku baru sadar kalau dia memelukku. Lengannya melingkar di pinggang dan kaki Mas Ilham membelit di kakiku. 

Perlahan kupindahkan lengannya dan dia terbangun. "Sudah subuh," kataku pelan.

Dalam remang lampu kamar kami berpandangan sesaat. Sebelum semuanya melenakan, aku segera duduk. Diam sebentar, kemudian menyibak selimut dan turun untuk ke kamar mandi.

Cukup lama aku berdiri di depan wastafel. Menatap bayangan diri dalam cermin. Mensugesti diri sendiri untuk tetap yakin, bahwa semua akan membaik setelah ini. Usiaku baru dua puluh sembilan tahun. Masih banyak kesempatan untuk mengeksplore kemampuan diri. Aku harus bekerja setelah kami berpisah, untuk masa depanku dan Syifa.

Sehabis Salat Subuh kubuka jendela, angin pagi sejuk menyapa. Samping kamar ada pekarangan yang masih luas dan penuh pepohonan. Rumah mertua memang berada di pinggir kota, jadi udaranya masih segar tanpa polusi.

Mas Ilham baru saja berdiri dari sajadah kemudian mendekatiku. Kami sama-sama diam memandang keluar. Menatap dedaunan penuh embun yang diembus angin pagi.

"Pikirkan lagi, Vi. Kita pasti bisa mempertahankan rumah tangga ini. Beri Mas kesempatan."

Kesempatan seperti apa yang dia inginkan. Bagaimana jika cinta masa lalunya tetap menjadi duri dan waktuku akan sia-sia menunggu pria yang gagal pergi dari kisah silamnya?

Aku mencintainya dan dia mencintai wanita lain. Mungkin, aku hanya memiliki tempat di sebagian kecil hatinya, hanya sebagai istri yang selalu melayani dan berbakti selama ini. Istri yang selalu ada saat mertua butuh bantuan. Ini menyedihkan, Mas. Detik ini aku akan berhenti mengemis.

"Aku akan lihat Syifa dulu, sudah bangun apa belum." Aku gegas keluar kamar.

🌺🌺🌺

Hari Minggu pagi setelah belanja di tetangga sebelah, aku dan Mama sibuk memasak di dapur. Seperti biasanya kami bercerita sambil masak. Mama membahas tentang drama yang tiap hari tayang di salah satu stasiun televisi. Aku tertawa ringan saat beliau mengungkapkan kekecewaannya pada salah satu tokoh di sana. Meski aku tidak pernah melihat cerita itu, aku tetap jadi pendengar dan sesekali menanggapi.

Di ruang keluarga, anak-anak sedang menonton kartun di temani Mas Ilham. Terdengar canda mereka di sana.

Jika Mama mertuaku bilang, akulah menantu yang selalu ada untuknya. Maka aku juga mengakui, beliau mertua yang layak jadi teladan. Beliau wanita yang bijaksana. Entah nanti, aku dapat mertua yang seperti ini lagi apa tidak.

"Mama enggak ingin kehilanganmu, Vi. Mama sayang semua anak, menantu, dan cucu. Mama ingin kalian semua menjadi pasangan yang hanya bisa di pisahkan oleh maut."

Aku diam mendengarkan sambil mengupas bawang.

"Bertahanlah sekali lagi. Mama yakin, Ilham enggak ada hubungan apa-apa dengan Nura. Mereka hanya perlu menjaga jarak dalam berteman."

Ya, tapi hubungan mereka rumit. Terjebak oleh rasa yang tidak tuntas dan terhalang oleh keberadaanku.

Keceriaan kami siang itu seolah mengikis jarak yang terbentang antara aku dan Mas Ilham. Keadaan yang sempat menggodaku untuk bertahan sekali lagi.

Hingga suara salam perempuan di luar, kembali menyurutkan niatku.

Nura dan Dini datang sambil menenteng brownis kukus. Nama merk brownis itu tercetak di goodie bag yang dibawanya.

Kegagalan asmara Mas Ilham dan Nura tidak serta merta membuat hubungan kekeluargaan mereka ikut berantakan. Nura masih sering mengunjungi mama mertuaku. Anaknya juga kerasan di sana.

"Kabar ibumu bagaimana?" tanya Mama pada Nura setelah duduk bergabung bersama kami.

"Alhamdulillah, baik, Bu. Dua Minggu yang lalu sempat drop. Saya di kabari pas pulang meeting sama Mas Ilham. Akhirnya saya minta tolong Mas Ilham mengantar ibu ke rumah sakit."

Napasku tersekat sesaat. Aku baru mendengar cerita itu, karena Mas Ilham tidak memberitahu. Ku pandang suami yang saat itu juga menatapku. Ada permintaan maaf yang ditunjukkan oleh sorot matanya.

"Kenapa harus Ilham. Apa enggak ada kerabat yang dimintai tolong untuk segera membawa ke rumah sakit?"

"Kebetulan saya dan Mas Ilham pas pulang dari meeting sore itu, Bu."

Aku tidak menimpali percakapan mereka. Kusibukan diri dengan mengupas buah apel untuk anak-anak yang sedang menonton kartun.

Jam tiga sore Nura mengajak Dini pamitan pulang. Sebenarnya dia ingin sekalian ikut mobil kami, tapi Mama mencegah dengan mengatakan bahwa kami akan pulang malam nanti.

Dini sempat mogok tidak mau pulang naik taksi online, bocah umur tujuh tahun itu ingin pulang bersama Om Ilham. Dia pun sudah merasa nyaman dengan Mas Ilham. Mereka ternyata sedekat itu.

🌺🌺🌺

"Mas minta maaf karena tidak cerita saat mengantar ibunya Nura waktu itu," ucap Mas Ilham saat kami selesai jamaah Salat Isya. Syifa sudah tidur setelah makan habis Maghrib. Ia kelelahan bermain dan tidak tidur tadi siang.

"Enggak apa-apa, memang enggak penting untuk kuketahui," jawabku tak acuh sambil melepaskan mukena.

Mas Ilham sedikit memaksa menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Memeluk erat sambil mengucap maaf berulang kali.

Sudah lama dia tidak memelukku seperti ini. Saat melayaninya mengarungi nirwana pun, kami akan kembali ke tempat masing-masing setelah keinginannya tuntas.

"Jangan pergi," ucapnya.

Next ....

Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman. 

Selamat Membaca 😍

Komen (45)
goodnovel comment avatar
Cicih Sophiana
si Ilham bikin emosi kesel aja...
goodnovel comment avatar
Rema Melani
walaupun perceraian itu dibenci Allah,.. tapi kalau kebohongan demi kebohongan yg ada,. buat apa dipertahankan? yg sabar ya vi,.
goodnovel comment avatar
Henny Dewanti
sedih kali thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status