Share

Part 4a Ibu, Izinkan Aku Pulang

Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam.

"Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang.

"W*'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?"

"Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?"

"Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah."

"Kamu ada masalah lagi sama Ilham."

"Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput."

"Iya, Nduk."

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wanita idaman lain suaminya.

Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku dengan sadis karena kalah bersaing.

Pria yang baik tidak akan mengkhianati pernikahannya dan wanita yang baik tidak akan menukar air mata wanita lain demi kebahagiaannya.

Saat sibuk menenangkan diri, bunyi klakson di sebelah membuatku menoleh. Pria itu lagi. 

"Mas, ketemu lagi kita," kataku sambil tersenyum. Di balik helm teropongnya ia pun tersenyum.

"Aku ngikutin kamu dari belakang tadi. Kenapa selalu berhenti?"

"Anginnya kencang banget, sampai mataku berair," jawabku sambil mengerjapkan mata berkali-kali. Ini drama tentunya. Aku tidak ingin dia tahu kalau ini benar-benar air mata ratapan.

"Bukan karena menangis?" tanyanya penuh selidik.

Aku tersenyum. "Mas, ini mengada-ada. Untuk apa aku nangis. Oh, ya, Mas ini darimana? Setiap jam sekolah ada di luar."

"Aku masih ngurus tim yang mau tanding. Terpaksa bolak-balik antara sekolah sama GOR."

"Tanding lagi? Yang kemarin apa enggak jadi?"

"Jadi, Alhamdulilah dapat juara dua. Ini yang mau maju tim taekwondo."

"Ish, hebat Pak Guru ini. Sukses terus, ya, Pak. Capek yang penting happy, ada hiburannya juga, 'kan? Murid perempuan SMA cantik-cantik, lho!"

"Lebih menggoda lagi ibu anak satu ini," ucapnya sambil nyengir.

"Bisa aja. Udah panas-panas digombalin pula. Meleleh aku nanti."

"Lelehannya yang kunanti."

Tawa pecah di antara kami. Kulihat jam dipergelangan tangan.

"Maaf, Mas. Aku pergi dulu ya, ini Syifa pasti udah nungguin."

"Oke, hati-hati. Kalau naik motor usahakan pakai masker, musim begini debu jalanan sangat mengganggu pernapasan."

"Terima kasih udah diingetin. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

Motor kustater lagi dan melaju. Bre mengikuti di belakang, kemudian membunyikan klakson ketika hendak mengambil arah berbeda saat kami di persimpangan.

🌺🌺🌺

Syifa sangat bersemangat sekali saat memasukkan mainannya di kotak yang kusediakan. Mungkin karena di rumah ibu dia akan memiliki banyak teman.

"Apa nanti kita enggak akan kembali ke rumah ini, Ma?" tanyanya polos sambil terus memindahkan mainannya.

"Sesekali boleh saja kalau Syifa mau main ke sini. Tapi sama Papa, ya!"

"Enggak mau kalau enggak sama Mama."

Aku diam sejenak.

"Mama mau ngambil baju di kamar depan. Syifa beresin dulu mainannya."

"Iya."

Aku melangkah ke kamar yang biasa ku tempati bersama Mas Ilham. Namun langkahku terhenti saat melihat pria itu sudah berdiri di ruang keluarga sambil memandang koper besar yang mepet ke dinding dekat pintu kamar. 

Padahal baru jam dua, Mas Ilham sudah pulang.

"Apa maksudnya ini, Vi?" tanyanya sambil memandang ke arahku.

"Aku menunggu Pak Nardi menjemput, Mas. Aku akan pulang ke rumah ibu," jawabku setenang mungkin. Kemudian langsung masuk kamar. Mas Ilham mengikuti dan menutup pintu. 

"Dengerin dulu penjelasan Mas."

Aku diam saat terperangkap antara lemari dan tubuh jangkungnya. Tatapan matanya yang sendu seolah ingin menelanku seketika itu.

"Tadi kami tidak melakukan apa-apa. Mas hanya mendengarkan keluh kesahnya. Maaf, jika kedekatan Mas dengan Nura memperburuk hubungan kita.

Curhat? Apakah tidak ada tempat lain untuk bercerita, kenapa harus suami orang?

"Mas, aku sedang tidak main-main membuat keputusan. Aku enggak sengaja pergi biar Mas kejar, karena berjuang tidak sebercanda ini. Aku pergi karena sudah lelah."

Aku duduk di kursi meja rias. Menyusut air mata dengan ujung jemari. Mas Ilham masih berdiri memandangku.

"Dulu, saat kita bertemu untuk kali pertama. Setelah kita berteman, ketika Mas mengungkapkan perasaan dan sangat perhatian, kukira tulus berkelanjutan. Rupanya aku salah, itu hanya sebuah pelarian."

Mata Mas Ilham memerah meski tidak meneteskan air mata.

"Kita juga bukan pasangan karena sebuah perjodohan, bukan?"

Mas Ilham mendongak, untuk menahan sesak yang terlihat begitu menyayat.

"Aku bertahan karena masih yakin kalau Mas dan aku akan jatuh cinta sekali lagi dan lagi, meski masa lalu membayangi. Tapi lagi-lagi aku salah. Sekarang, marilah kita berdamai dengan perpisahan ini. Kita cari kebahagiaan masing-masing." 

Mas Ilham mendekat, meraihku dalam dekapan. Tubuhnya terguncang menahan tangis. Untuk beberapa saat kami larut dalam tangis dan luka-luka yang sedang mengucurkan darahnya.

"Vi, maafkan Mas."

"Aku lelah, Mas. Sumpah, sangat lelah. Biarlah aku pergi bersama Syifa. Kejarlah apa yang ingin Mas dapatkan, masa lalu yang luput Mas genggam. Aku ikhlas."

Setelah melepaskan pelukan, aku berdiri dan melangkah dengan kaki gemetar. Di depan pintu sudah berdiri Syifa yang membuatku kaget. Semoga dia belum bisa memahami masalah kami.

Buru-buru aku tersenyum dan berjongkok di depannya.

"Mama, nangis?" tanyanya sambil menatap ke wajahku.

"Enggak, Sayang. Mama enggak nangis. Habis cuci muka tadi."

"Oh."

Kugendong putri kecilku dan membawanya melangkah ke belakang. Setelah mendudukkan Syifa di kursi meja makan, aku membuka kulkas.

"Mama bikin puding cokelat tadi. Ayo, kita makan sama-sama." Kuletakkan mangkuk puding di depannya.

Mas Ilham yang belum berganti baju datang bergabung, duduk di sebelah Syifa.

"Papa boleh minta tak?"

"Iya, boleh."

Syifa menggeser mangkuk ke depan papanya. Kuambilkan satu sendok lagi untuk Mas Ilham. Gadis kecilku tersenyum senang. Rasa heran saat melihatku tadi terkikis hilang.

"Nanti kita beli mainan, ya?"

"Bener, Pa? Papa enggak sibuk?" Pertanyaan jujur dari Syifa. Sebab selama ini hanya bersamaku dia membeli mainan, meski perginya kadang di antar Mas Ilham yang menunggu dalam mobil. Yang Syifa tahu, papanya sibuk bekerja.

"Iya. Dihabisin dulu pudingnya. Syifa mau mainan apa?"

"Kuda poni, Pa. Mama beliinnya cuma satu."

"Oke, habis ini kita beli."

Syifa terlihat girang. Mereka menghabiskan satu mangkuk puding di meja.

🌺🌺🌺

Sore itu aku terpaksa akur dengan kemauan Syifa. Dia ingin aku ikut membeli mainan bersama mereka. Akhirnya kami mandi lebih dulu sebelum berangkat.

"Kata Mama, kami mau tinggal di rumah Nenek, Pa. Papa, enggak mau ikut?" Syifa bertanya pada papanya yang sedang mengemudi.

"Papa boleh ikut?" 

"Boleh enggak, Ma?" tanya Syifa sambil menoleh padaku.

"Papa 'kan kerja. Lagian siapa yang akan menunggu rumah kalau kita semua tinggal di rumah Nenek."

Mata bening Syifa masih memandangku. Pun begitu dengan Mas Ilham. 

'Maaf, Mas, keputusanku sudah muktamad.'

Setelah membeli mainannya Syifa, kami keliling kota malam itu. Mampir Salat Maghrib di Masjid Jami' dekat kantor walikota, lantas bermain di kid zone, makan malam di restoran ayam bakar pemuda, dan terakhir duduk-duduk sebentar di taman kota.

Melihat kegembiraan beberapa keluarga yang ada di sana, membuatku iri. Mereka tampak bahagia dan harmonis.

Sementara langkah rumah tanggaku yang terseok-seok ini tidak lama lagi akan berakhir.

Jam sembilan malam kami baru sampai di rumah. Syifa sudah tertidur di mobil sejak baru keluar dari taman kota.

Mas Ilham menggendongnya masuk rumah dan menidurkan di kamarnya. Biasanya setelah pulang dari bepergian kubiasakan Syifa ganti baju, cuci tangan, dan kaki. Tapi kasihan kalau sekarang harus ku bangunkan.

Aku masuk kamar untuk mengambil baju tidur di lemari. Mas Ilham yang semula duduk di sofa depan TV menyusul.

Kesempatan itu ku manfaatkan untuk mengembalikan cincin pernikahan. Kulepas cincin yang longgar dari jari manisku.

Kudekati pria yang duduk di tepi pembaringan. Mas Ilham menatap tajam saat kuletakkan cincin di telapak tangannya.

"Kenapa dilepas?"

"Karena kita akan berpisah, Mas."

Dia meraih jemariku dan memakaikan lagi cincin itu. "Kita hanya butuh waktu untuk menyendiri sejenak. Bukan bercerai."

Next ....

Selamat membaca 😍

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Cicih Sophiana
udah begitu baru menyesal Ilham...
goodnovel comment avatar
for you
kalau blm cerai jangan biasakan hadir nya laki laki lain dong selalu begitu ceritanya
goodnovel comment avatar
Eka Handayani
......... nangisssss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status