Share

Part 5a Bidadariku yang Terluka

POV Ilham 

Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya.

Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan.

Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri.

Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. 

Namanya, Vi Ananda.

Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya masih berserak di sudut hati.

"Kenapa belum pulang?" tanyaku sore itu, saat masih melihatnya duduk di bangku depan kantor.

"Saya nunggu jemputan, Pak," jawabnya sopan.

"Pacar?"

Dia tersenyum. "Bukan."

"Mau bareng?" tawarku.

"Enggak, terima kasih. Yang jemput sudah perjalanan ke sini, kok."

Aku masih mematung, menunggunya sampai yang menjemput datang. Entah kenapa aku tidak rela kalau dia digoda oleh beberapa karyawan pria di kantor kami. Terutama Alex, kepala divisi Perencanaan yang terkenal playboy itu.

Waktu mengenal Vi, aku masih menjadi kepala divisi Perijinan dan Legalitas. Dia magang dibawah naungan Divisi Perencanaan, di dalam Divisi Alex.

Tidak lama menunggu, mobil panther warna putih dengan tulisan "Toko Roti dan Kue Ananda" datang. Pak Nardi yang menjemputnya.

Setelah itu, setiap ada kesempatan aku keliling untuk mencari keberadaan toko roti milik keluarganya. Ternyata berada jauh dipinggiran kota, aku menemukannya.

Kami mulai akrab setelah aku sering menemaninya menunggu jemputan. Persaingan mulai kentara antara aku dan Alex. Namun aku sadar, saat itu aku dan Vi telah sama-sama jatuh cinta.

"Besok hari terakhir kamu magang, 'kan?" tanyaku sore itu.

"Iya. Sekalian saya mau minta maaf, jika punya kesalahan sama Bapak selama saya magang di sini."

Kusambut uluran tangannya. Telapak tangan itu tenggelam dalam genggamanku. Dia tersenyum.

"Sama-sama," jawabku singkat.

Setelah Vi tidak lagi kutemui di kantor, aku kehilangan. Aku merasakan mabuk asmara sekali lagi dan ini benar-benar berbeda.

Aku mulai stalking akun media sosialnya. Rupanya dia bukan tipe gadis yang suka update hal-hal yang tidak penting, hanya untuk ajang pamer. 

Di sana aku tidak menemukan apapun selain beberapa kegiatan di kampusnya. Bahkan tidak ada foto yang diunggah sendirian. Semua fotonya rame-rame dengan teman-temannya.

Vi Ananda memikatku kala itu. 

Hingga suatu siang aku datang ke toko kue milik ibunya. Membelikan kue kesukaan Mama.

"Pak Ilham," sapanya tampak terkejut. Mungkin tidak menyangka aku bisa berada di sana. Padahal itu bukan kebetulan, karena aku sedang mencarinya.

Kami berbincang sejenak. Ketika itu juga aku mengenal ibunya. Seorang wanita anggun yang sangat baik dan ramah. Setelahnya aku sering datang ke sana. Bahkan beberapa kali mengajak Mama. Beliau langsung jatuh cinta dengan sosok Vi Ananda yang sopan dan periang.

Satu bulan usai Vi wisuda, kami semakin dekat. Kuberanikan diri mengajaknya berkencan di hari Minggu yang cerah. Ibunya mengizinkan dengan satu syarat, Vi tidak boleh sendirian. Akhirnya temannya yang bernama Miya menemani. 

Miya juga yang menyaksikan saat aku menyatakan cinta sambil memberikan sekuntum mawar merah yang terselip cincin di sana.

Hanya dua bulan setelah kami berkencan yang pertama, aku melamarnya dan menikah dua bulan kemudian.

Pesta pernikahan berlangsung meriah di dua keluarga, karena dia putri satu-satunya dan aku juga anak bungsu.

Namun pertemuanku kembali dengan Nuraini telah merubah segalanya. Aku mulai terlena dengan kenyamanan yang tercipta di antara kami. Aku mulai abai dengan Vi yang ketika itu mengandung Syifa.

"Aku baru lihat, ada mantan pacar yang masih bisa berhubungan sebaik ini dengan Mas dan keluarga, Mas?" tanya Vi suatu malam. Setelah siangnya bertemu Nura di rumah Mama.

"Kami berpisah karena keadaan, bukan tidak adanya ketidakcocokan."

Jawaban itu tanpa sadar telah menunjukkan kalau aku menyesali apa yang telah terjadi antara aku dan Nura.

Vi diam, ia mencerna apa yang aku katakan. Bodohnya aku egois, tidak berusaha meralat agar Vi tidak salah paham.

Keadaan Nura yang terpuruk membuatku bersimpati. Tanpa sadar ia menjadikanku sandaran untuk berbagi beban hidupnya. Ayahnya meninggal bersamaan dengan ibunya yang jatuh sakit. Kemudian rumah tangganya bermasalah hingga berujung perceraian. Dan sialnya semua itu terjadi ketika pernikahanku dengan Vi baru setahun.

Tuntutan pekerjaan yang membuat kami sering bertemu, menciptakan kembali keakraban dan rasa yang pernah terputus. Aku dan Nura sama-sama abai tentang hati Vi yang tersakiti. Perhatikan Nura masih sama seperti dulu, saat kami hampir empat tahun menjalin asmara. 

Kami sering menyempatkan diri jalan bersama ketika ada pekerjaan ke luar kota atau sebentar setelah kebetulan pulang kerja. Kami sama-sama terlena.

Vi Ananda masih muda saat kami menikah, usianya selisih tujuh tahun denganku. Tapi ia sangat dewasa menyikapi kegilaan suaminya. Tidak serta merta meledak penuh nafsu untuk menunjukkan kemarahan seperti wanita muda yang merasa terkhianati. Begitu tenangnya ia menghadapiku bertahun ini. Ibu berhasil mendidiknya menjadi wanita yang penuh harga diri. Meski beliau seorang single parent.

Namun hati manusia punya batasan menerima kesakitan. Hingga kesabaran itu telah sampai pada ujungnya.

Aku terlena selama itu dan membuatku harus membayar mahal dengan kepergian Vi dan Syifa. Begini rasanya kehilangan. Lebih menyakitkan lagi daripada saat aku dan Nura sepakat putus karena terhalang restu ayahnya.

Ponsel kuambil dari saku celana. Kucari aplikasi pesan yang biasa kami gunakan untuk berkomunikasi. Foto profil Vi sudah berganti, tidak ada lagi gambar kami bertiga, melainkan foto senja yang merona di ufuk barat.

Dua kali panggilan tidak dijawab. Kucoba sekali lagi, juga tidak dijawab. Aku mendesah sambil melemparkan begitu saja ponsel di ranjang.

Next ....

Komen (93)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
kamu JAHAT sebagai suami tidak tahu menempatkan diri seakan akan tidak punya harga
goodnovel comment avatar
Dwi
bagus ceritanya..
goodnovel comment avatar
Seberta Nova Manik
bagus sekali ceritanyaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status