Sehabis Salat Subuh Mas Ilham tidur di kamar Syifa. Merengkuh tubuh kecil itu dalam pelukannya. Sementara aku mulai sibuk di dapur, membuat sarapan.
Syifa minta di buatkan nasi goreng yang atasnya di taruh telur mata ayam. Sedangkan Mas Ilham ingin sarapan ayam geprek pagi ini.
Aku tidak akan membangunkan mereka, biarlah mereka menikmati hari libur ini dengan bangun siang.
Semua makanan sudah siap di atas meja. Aku bergegas ke kamar Syifa, kulihat papa dan anak masih tidur pulas. Lantas aku melangkah ke kamarku sendiri. Membuka jendela dan merapikan tempat tidur.
Pada saat yang bersamaan ponsel di nakas berpendar. Ada pesan masuk dari Miya.
[Telepon aku sewaktu-waktu kalau kamu longgar.]
Segera kuhubungi Miya karena hatiku diliputi penasaran. Biasanya Miya langsung saja menulis apa yang ingin dikatakannya. Tapi kali ini seperti menyimpan rahasia.
 
"Mas berangkat dulu, ya. Jum'at Mas sudah pulang. Hati-hati di rumah," pamit Mas Ilham Rabu pagi. "Mas, juga hati-hati di jalan." Mas Ilham tersenyum lantas mengecup kening sebentar sebelum melangkah keluar rumah. Aku mengantarnya hingga teras depan. Dia tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk ke mobil. Aku kembali menutup pintu setelah dia pergi. Hari ini aku akan belanja beberapa kebutuhan dapur dan membeli beberapa pot bunga. Nanti sore bisa membenahi taman yang sudah lama tidak terawat. Besok baru ke rumah Ibu. Setelah selesai membersihkan rumah. Aku memakai jaket, mengambil kunci motor, dan segera bergegas pergi. Aku memilih belanja di supermarket yang tidak jauh dari rumah, karena tempat itu yang bukanya lebih pagi dari tempat lain. Mengambil segala kebutuhan dapur, kamar mandi, dan me
Baru saja aku merebahkan tubuh di ranjang, ponsel kembali bergetar. Mas Ilham menelepon."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas telepon dari tadi tidak di angkat. Mas khawatir ada apa-apa dengan kalian. Sekarang sudah pulang apa belum?" Mas Ilham membordir dengan pertanyaan."Iya, kami sudah di rumah," jawabku singkat."Udah dapat sepatunya tadi?""Dapat.""Besok sekitar jam sembilan Mas sudah sampai rumah. Mas akan berangkat pagi-pagi.""Hu um.""Kok, singkat-singkat ngomongnya? Mas baru selesai meeting terakhir ini. Sekarang baru mau makan."Terdengar keramaian di latar belakang. Mungkin dia sedang berada di rumah makan."Iya.""Vi, kenapa, sih? Syifa rewel ya tadi?""Enggak.""Habis tu, ad
"Hari ini mau di masakin apa?" tanyaku pada Mas Ilham dan Syifa. Tanpa memandang mereka."Ayam goreng saja, Ma," jawab Syifa yang masih nemplok di pelukan papanya."Kok, ayam goreng terus, sih. Tadi malam kita habis makan KFC, loh! Ikan goreng aja, ya?""Iya.""Kalau Mas, terserah, Vi, mau masak apa.""Kita bikin sup aja, ya?" tawarku."Oke. Mas mau nyuci mobil dulu."Mas Ilham pergi ke depan sambil menggendong Syifa. Setelah urusan cucian beres, aku mulai persiapan masak.Tidak lama kemudian terdengar tawa Syifa dan Mas Ilham. Aku melangkah ke depan, dari balik jendela aku melihat keceriaan mereka yang sedang bermain air di selang.Suami yang kuduga menghamili perempuan lain itu tampak santai tanpa beban. Dalam hati berkecamuk andaian-andaian yang mengganggu. Mungkin memang bu
Kami melewati akhir pekan dalam kebersamaan. Aku tidak lagi membahas kehamilan perempuan itu. Biar kutunggu saja, sampai ada bukti kebenarannya.Kami menikmati akhir pekan layaknya keluarga bahagia tanpa cela."Kapan, sih, Syifa punya adek, Pa?" tanya Syifa siang itu saat kami rebahan di depan TV."Tanya sama Mama?" jawab Mas Ilham sambil memandang ke arahku."Kapan, Ma? Kalau kita belanja di mall, enggak ada yang jual adek, ya?"Mas Ilham tersenyum. "Tidak ada, Sayang.""Kata temanku, adeknya masih di perut bundanya yang membesar. Tapi perut Mama, kok, enggak besar?" Syifa meraba perutku yang rata."Karena enggak ada adeknya, makanya perut Mama enggak besar," jawabku."Makanya Mama makan yang banyak, ya. Biar perut Mama cepat besar dan ada adeknya."Aku tersenyum gemas sambil mengangguk. Mas Ilha
Setelah Lima TahunPart 22 Usai Badai MeredaHari ini terasa begitu lambat, jarum jam seolah bergerak di tempat. Begini rasanya menunggu, penuh debar tak menentu.Aku ingin tahu keputusan apa yang akan diambil Mas Ilham sore ini. Pulang ke rumah untukku atau pergi menemui perempuan itu.Jarum jam menunjukkan pukul dua siang, aku makin gelisah. Mas Ilham belum juga memberi kabar. Sepiring nasi berlaukkan ayam masak kecap hanya ku obrak-abrik di piring, sebagai pelampiasan rasa gelisah.Aku berjingkat cepat menggapai ponsel yang berdering di meja ruang keluarga. Nada deringnya berbeda dari panggilan masuk lainnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Sudah makan siang apa belum?""Iya, baru saja. Mas, sudah makan?""Ini baru sempat keluar makan. Oh ya, nanti Mas pulang agak telat, ya. Masih ada urusan
Beberapa menit kemudian, taksi online yang kami pesan berhenti tepat di depan pintu pagar.Jarak dari kafe ke rumah Miya hanya lima belas menit. Aku buru-buru berganti pakaian di sana. Ibunya Miya sampai keheranan melihat tingkah kami. Apalagi aku yang belingsatan karena bergerak cepat."Udah taruh situ saja bajunya, besok biar aku cuci," kata Miya saat kami ganti baju di kamarnya."Terima kasih, aku ngrepotin kamu terus," jawabku sambil memakai jilbab di depan cermin rias."Lipstik yang kamu kasih hari itu, merah merona. Sampai aku di tegur sama Mas Ilham waktu aku pakai ngantar berkas ke kantornya. Lihat ini, bekasnya juga masih ada." Aku memperlihatkan bibirku."Lipstik itu emang tahan lama dan transferproof. Coba pakai malam hari sambil dipadukan dengan lingerie-mu merah menyala, yang kita beli bareng-bareng waktu itu. Kujamin suamimu akan lupa diri karena mabok."&nbs
Sudah empat hari ini kalau siang aku di rumah Ibu. Pulang sore di antar Pak Nardi kadang juga naik taksi online. Sebelum Mas Ilham pulang aku sudah di rumah.Sejak ada big bos-nya, Mas Ilham pulang menjelang Salat Isya. Daripada bengong di rumah, aku memilih ke rumah Ibu. Bisa bantu-bantu sambil mengawasi Syifa."Vi, apa kabar, Nduk?"Aku yang sibuk di meja kasir langsung mendongak. Ada Umi Salamah di hadapanku. Segera kusalami dan kucium tangan wanita berwajah teduh itu."Baik, Umi. Mari silakan duduk. Umi mau nyari roti atau kue.""Mau kue talam sepuluh biji, roti abon sepuluh, sama kue putu sepuluh. Nanti mau Umi bawa ke rumahnya Zul," jawab wanita itu. Zul adalah putra sulung Umi Salamah yang tinggal di desa lain."Alhamdulillah, Umi dengar dari Ibumu. Kalian sudah berbaikan lagi," kata Umi Salamah sambil duduk di kursi depan etalase.
Syifa sangat gembira sore ini. Sepanjang perjalanan dia menyanyikan lagu Tik Tik Bunyi Hujan yang baru diajarkan di sekolah.Dia sangat bersemangat, setelah beberapa lama tidak kami ajak jalan-jalan.Sampai di mall, kami langsung menuju butik langganan. Seorang pelayan yang mengenal kami langsung menghampiri.Mas Ilham yang lebih dulu mendapatkan pilihannya. Sementara kami berdua masih melihat-lihat, muter dulu hingga beberapa kali. Mencoba baju yang satu ke baju lainnya. Hingga menemukan yang benar-benar cocok ditambah rayuan manis pramuniaganya. Ah, mungkin dia sudah capek mengikuti keliling dan memilih beberapa baju.Harusnya dia sudah paham dengan posturku yang seperti ini, pasti kesulitan cari baju yang pas. Kalau enggak kebesaran pasti kepanjangan. Jengkelnya kalau ketemu baju yang kusukai modelnya, tapi ukurannya yang kebesaran. Mau dibawa ke penjahit untuk di ubah suai, ujung-ujungnya tidak semenarik model asalnya."Ini bagus, k