"Hari ini mau di masakin apa?" tanyaku pada Mas Ilham dan Syifa. Tanpa memandang mereka.
"Ayam goreng saja, Ma," jawab Syifa yang masih nemplok di pelukan papanya.
"Kok, ayam goreng terus, sih. Tadi malam kita habis makan KFC, loh! Ikan goreng aja, ya?"
"Iya."
"Kalau Mas, terserah, Vi, mau masak apa."
"Kita bikin sup aja, ya?" tawarku.
"Oke. Mas mau nyuci mobil dulu."
Mas Ilham pergi ke depan sambil menggendong Syifa. Setelah urusan cucian beres, aku mulai persiapan masak.
Tidak lama kemudian terdengar tawa Syifa dan Mas Ilham. Aku melangkah ke depan, dari balik jendela aku melihat keceriaan mereka yang sedang bermain air di selang.
Suami yang kuduga menghamili perempuan lain itu tampak santai tanpa beban. Dalam hati berkecamuk andaian-andaian yang mengganggu. Mungkin memang bu
Kami melewati akhir pekan dalam kebersamaan. Aku tidak lagi membahas kehamilan perempuan itu. Biar kutunggu saja, sampai ada bukti kebenarannya.Kami menikmati akhir pekan layaknya keluarga bahagia tanpa cela."Kapan, sih, Syifa punya adek, Pa?" tanya Syifa siang itu saat kami rebahan di depan TV."Tanya sama Mama?" jawab Mas Ilham sambil memandang ke arahku."Kapan, Ma? Kalau kita belanja di mall, enggak ada yang jual adek, ya?"Mas Ilham tersenyum. "Tidak ada, Sayang.""Kata temanku, adeknya masih di perut bundanya yang membesar. Tapi perut Mama, kok, enggak besar?" Syifa meraba perutku yang rata."Karena enggak ada adeknya, makanya perut Mama enggak besar," jawabku."Makanya Mama makan yang banyak, ya. Biar perut Mama cepat besar dan ada adeknya."Aku tersenyum gemas sambil mengangguk. Mas Ilha
Setelah Lima TahunPart 22 Usai Badai MeredaHari ini terasa begitu lambat, jarum jam seolah bergerak di tempat. Begini rasanya menunggu, penuh debar tak menentu.Aku ingin tahu keputusan apa yang akan diambil Mas Ilham sore ini. Pulang ke rumah untukku atau pergi menemui perempuan itu.Jarum jam menunjukkan pukul dua siang, aku makin gelisah. Mas Ilham belum juga memberi kabar. Sepiring nasi berlaukkan ayam masak kecap hanya ku obrak-abrik di piring, sebagai pelampiasan rasa gelisah.Aku berjingkat cepat menggapai ponsel yang berdering di meja ruang keluarga. Nada deringnya berbeda dari panggilan masuk lainnya."Halo, Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Sudah makan siang apa belum?""Iya, baru saja. Mas, sudah makan?""Ini baru sempat keluar makan. Oh ya, nanti Mas pulang agak telat, ya. Masih ada urusan
Beberapa menit kemudian, taksi online yang kami pesan berhenti tepat di depan pintu pagar.Jarak dari kafe ke rumah Miya hanya lima belas menit. Aku buru-buru berganti pakaian di sana. Ibunya Miya sampai keheranan melihat tingkah kami. Apalagi aku yang belingsatan karena bergerak cepat."Udah taruh situ saja bajunya, besok biar aku cuci," kata Miya saat kami ganti baju di kamarnya."Terima kasih, aku ngrepotin kamu terus," jawabku sambil memakai jilbab di depan cermin rias."Lipstik yang kamu kasih hari itu, merah merona. Sampai aku di tegur sama Mas Ilham waktu aku pakai ngantar berkas ke kantornya. Lihat ini, bekasnya juga masih ada." Aku memperlihatkan bibirku."Lipstik itu emang tahan lama dan transferproof. Coba pakai malam hari sambil dipadukan dengan lingerie-mu merah menyala, yang kita beli bareng-bareng waktu itu. Kujamin suamimu akan lupa diri karena mabok."&nbs
Sudah empat hari ini kalau siang aku di rumah Ibu. Pulang sore di antar Pak Nardi kadang juga naik taksi online. Sebelum Mas Ilham pulang aku sudah di rumah.Sejak ada big bos-nya, Mas Ilham pulang menjelang Salat Isya. Daripada bengong di rumah, aku memilih ke rumah Ibu. Bisa bantu-bantu sambil mengawasi Syifa."Vi, apa kabar, Nduk?"Aku yang sibuk di meja kasir langsung mendongak. Ada Umi Salamah di hadapanku. Segera kusalami dan kucium tangan wanita berwajah teduh itu."Baik, Umi. Mari silakan duduk. Umi mau nyari roti atau kue.""Mau kue talam sepuluh biji, roti abon sepuluh, sama kue putu sepuluh. Nanti mau Umi bawa ke rumahnya Zul," jawab wanita itu. Zul adalah putra sulung Umi Salamah yang tinggal di desa lain."Alhamdulillah, Umi dengar dari Ibumu. Kalian sudah berbaikan lagi," kata Umi Salamah sambil duduk di kursi depan etalase.
Syifa sangat gembira sore ini. Sepanjang perjalanan dia menyanyikan lagu Tik Tik Bunyi Hujan yang baru diajarkan di sekolah.Dia sangat bersemangat, setelah beberapa lama tidak kami ajak jalan-jalan.Sampai di mall, kami langsung menuju butik langganan. Seorang pelayan yang mengenal kami langsung menghampiri.Mas Ilham yang lebih dulu mendapatkan pilihannya. Sementara kami berdua masih melihat-lihat, muter dulu hingga beberapa kali. Mencoba baju yang satu ke baju lainnya. Hingga menemukan yang benar-benar cocok ditambah rayuan manis pramuniaganya. Ah, mungkin dia sudah capek mengikuti keliling dan memilih beberapa baju.Harusnya dia sudah paham dengan posturku yang seperti ini, pasti kesulitan cari baju yang pas. Kalau enggak kebesaran pasti kepanjangan. Jengkelnya kalau ketemu baju yang kusukai modelnya, tapi ukurannya yang kebesaran. Mau dibawa ke penjahit untuk di ubah suai, ujung-ujungnya tidak semenarik model asalnya."Ini bagus, k
"Sekarang ngamarnya sama istri, ya! Dulu sama yang lain," sindir Pak Alex yang ternyata berdiri di belakang kami.Mas Ilham spontan membalikan badan. Menatap nanar Pak Alex yang tersenyum santai. Kupeluk erat lengan suami. Takut terjadi kegaduhan di acara penting ini yang akan jadi pusat perhatian banyak orang. Apa yang terjadi jika gosip tentang pergaduhan mereka akan merebak mulai malam ini.Mereka sekarang berhadapan dan saling mengintimidasi. Dadaku berdetak kencang dan mulai gemetar."Mas," panggilku lirih pada Mas Ilham. Dia memegang tanganku yang mulai dingin, tangan yang memeluk lengannya.Pak Alex beralih memandangku, tapi tatapannya meredup."Dapat istri sesempurna ini masih juga dikhianati," ucap Pak Alex lirih."Aku belum memilikinya. Hanya sebatas jatuh cinta saja sudah bisa membuatku menghentikan kegilaanku selama ini."
Aku membiarkan anak dan papanya bercanda di depan TV. Sementara aku pergi ke toko menemui Ibu."Beberapa hari ini Bre nanyain kamu, Vi," kata Ibu setelah aku duduk di sebelahnya."Oh, ya?"Ibu mengangguk."Sejak kalian sama-sama masih sekolah dulu, Ibu sudah mengira kalau dia suka sama kamu."Aku tersenyum."Sudah, jangan dipikirkan. Ibu hanya kasihan saja, karena sampai sekarang masih melajang.""Ibu ini yang berlebihan. Bre melajang bukan karena aku, Bu. Bisa jadi ada trauma lain.""Iya, ya." Ibu terkekeh."Kalian pulang jam berapa tadi malam?" tanya Ibu."Sudah malam, Bu. Entah jam berapa aku lupa," jawabku bohong.Ibu tidak bertanya lagi. Kami sibuk membungkus roti dan memasukkan ke dalam kotak. Ini pesanan untuk acara nikahan.&nb
Ilham's POVAku melihatnya memandang hujan dari balik jendela kaca. Ada gundah yang jelas terlihat meski dia diam. Walaupun selalu tersenyum, tapi aku tahu hati Vi tidak setenang itu. Aku tahu dia masih belum baik-baik saja. Apalagi setelah mendengar ucapan Alex tadi.Ketakutan jika kehilangan dia makin merajam di hati. Itulah kekhawatiranku terbesar saat ini. Entah apa yang terjadi jika aku harus berpisah dengan Vi. Aku tahu seberat apa kesalahanku, tapi salahkah kalau aku masih tetap ingin mempertahankannya?Jangankan disentuh, dipandangi pria macam Alex tadi saja sudah membuat dadaku bergemuruh. Tentu ini yang dirasakan Vi dulu, ketika menghadapi kegilaanku.Mas," panggilnya setelah aku menyelimuti tubuhnya, sesaat setelah percintaan kami sepagi ini."Ya," jawabku sambil menatap beningnya mata wanitaku."Jika suatu hari nanti, aku enggak sanggup lagi menghapus jejak perselingkuhan kemarin. Bisakah kita pi