Pagi yang basah, setelah semalaman hujan mengguyur bumi. Cuaca sekarang tidak bisa diprediksi. Kemarau hanya sebentar lantas musim hujan akan berkepanjangan.
Kami duduk berdua menikmati sarapan nasi goreng.
"Kamu ingin makan apa, biar nanti Mas belikan?" tanya Mas Ilham sambil menyuap makanannya.
Aku menggeleng. Sedang tidak ingin apapun.
"Mas ingin membersamaimu dengan kehamilan ini. Kenapa tidak pernah meminta Mas untuk membelikan sesuatu?" Dia mengungkapkan rasa penasarannya. Kurasa itu pertanyaan yang mungkin sudah di simpan lama.
"Bayi ini enggak rewel kok, Mas," jawabku singkat. Padahal sebenarnya, sejak awal banyak yang diinginkan. Namun aku berusaha untuk mendapatkannya sendiri.
Demi bayi ini aku harus bahagia. Apapun kemelut dalam hati. Aku masih ingat apa yang dikatakan Ibu Aisyah dipertemuan kedua kami.
"Seperti y
Gerimis kembali turun malam itu. Aku rebahan di kasur lantai depan TV. Mas Ilham duduk di sebelahku sambil fokus ke layar laptop.Semenjak aku hamil, dia mengerjakan pekerjaan kantor tidak di ruang kerjanya. Namun di dekatku seperti sekarang ini. Kadang juga di kamar saat aku tiduran di sana.Dia menoleh sebentar saat aku mengusap perut yang kian membulat."Sudah belajar menendang dia," ucapnya sambil tersenyum saat merasakan sundulan kecil pada telapak tangannya."Sakit tak?"Aku menggeleng. Bukan sakit, tapi seru dan membanggakan. Meski kadang tiba-tiba membuat kaget ketika aku terlelap.Begitulah hari-hariku selanjutnya. Kujalani dengan fokus pada Syifa dan adiknya yang masih dalam kandungan.Mas Ilham makin protektif meski banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikirannya. Dia makin sibuk dengan beberapa pro
"Ma, adeknya boleh dicium, enggak?" tanya Syifa sambil memperhatikan adeknya yang tidur di box bayi. Dia baru dijemput papanya habis Maghrib ini dari rumah Ibu."Boleh," jawabku sambil tersenyum.Aku hendak berdiri dari dudukku, tapi Mas Ilham menahan. "Biar Mas saja yang gendong."Mas Ilham mengendong putranya untuk di dekatkan dengan sang kakak. Mereka bertiga duduk di sofa depan brankar. Syifa mencium adeknya berkali-kali. Mengelus pipi kemerahan itu dengan gemas. Membuat bayi yang masih merah dalam bedong itu terusik. Kepalanya bergerak-gerak tapi tidak terbangun."Adek namanya siapa, Pa?""Abian.""Abian?""Iya, bagus, 'kan?" jawab Mas Ilham sambil memandang putrinya.Abian Aarav Bagaskara, nama yang kami berikan untuk pangeran kecil kami.Syifa mengangguk senang. Aku melihat ke
Acara aqiqah Abian baru saja selesai. Mama dan para saudara sudah pamitan pulang. Aku masuk kamar dengan rasa lelah. Ingin segera berbaring dan istirahat. Namun, Abian mulai rewel, bahkan setelah minum ASI."Mungkin dia masih lapar, Vi. Coba kasih ASI lagi," kata Ibu yang masuk ke kamar kami.Ibu menungguku yang sedang menyusui. Namun Abian tidak mau minum ASI lagi. Mungkin sudah kenyang karena hampir dua puluh menit dia minum tadi. Aku sampai bingung, hingga Mas Ilham masuk kamar setelah selesai Salat Isya."Kenapa rewel? Sini Papa gendong." Tanpa berganti baju dulu, Mas Ilham mengambil Abian dari pangkuanku. Baru diayun sebentar putra kecil kami diam dan terlelap.Sejak dia lahir, seperti memiliki ikatan batin dengan papanya. Padahal waktu proses kelahirannya tidak ditunggui.Ibu berdiri dan mendekati cucunya. "Manja sama papanya dia, nih," ucap Ibu sambil m
Part 58[Hari ini, Mas pulang telat, enggak?]Aku mengirim pesan untuk Mas Ilham di jam istirahatnya siang itu.[Insya Allah, tidak Sayang. Ada apa? Mau dibelikan sesuatu?]Balas Mas Ilham beberapa menit kemudian.[Enggak ada. Aku cuman tanya aja.]Tidak lama setelah balasan pesanku terkirim, Mas Ilham menelepon."Ada apa?" tanya Mas Ilham buru-buru. Ada nada cemas dalam suaranya. Mungkin karena aku tidak biasa menanyakan hal itu."Enggak apa-apa. Aku tunggu di rumah."Agak lama baru terdengar jawaban, "Ya."Telepon kututup. Aku ke belakang, menyiapkan botol ASI untuk menampung air susu yang akan ku pompa nanti. Harus menyediakan cukup untuk semalam.Aku sudah bilang ke Ibu kalau aku dan Mas Ilham akan keluar malam ini. Ibu akan ditemani Budhe untuk
Part 59Mas Ilham membuang pandangan pada hujan di luar. Napasnya tersengal sebentar saat menahan emosi. Untuk beberapa saat kami terdiam.Rasa sesak juga menghimpit dadaku sendiri. Tidak kupungkiri aku masih mencintainya, rasa sakit dan kecewa tidak merubah segalanya."Kenapa kita harus berpisah? Mas mencintaimu dan anak-anak. Berikan Mas kesempatan, Vi," ucapnya sendu."Aku hanya enggak ingin terluka lagi, Mas. Masalah kita yang kemarin sudah kumaafkan meski mungkin aku enggak akan bisa melupakan. Tapi aku takut, kelak akan ada Nura-Nura yang lain. Mas pria yang mapan. Karier Mas cemerlang, Mas juga tampan, berada di lingkaran pergaulan kelas atas. Jujur aku takut dikecewakan lagi. Aku takut Mas mengkhianati pernikahan kita lagi. Perempuan seperti Nura akan mengincar pria seperti, Mas. Tidak peduli beristri atau belum."Mas Ilham menatapku lekat sambil mendekat. Dia
"Antarkan Mama ke toilet, Vi," pinta Mama padaku."Biar saya saja yang ngantar, Tante," sahut Nura cepat sambil berdiri."Enggak usah, terima kasih. Biar Vi saja," tolak Mama halus.Aku segera berdiri dan memapah beliau. Sedangkan tangan kiriku membawakan infusnya.Mama sudah jauh lebih baik. Tubuhnya cukup kuat untuk berjalan, tidak gemetar seperti kemarin."Sini saya bantuin, Ma," ucapku setelah meletakkan infus di capstok. Biar aku dapat membantu Mama membuka celananya.Wanita itu menahan tanganku sambil menggeleng."Mama enggak pengen kencing," bisiknya pelan. Kemudian beliau memutar keran air."Jangan hiraukan semua ucapan dia. Kamu harus kuat dan hati-hati. Bertahanlah dengan Ilham, jaga rumah tangga kalian. Kasihan anak-anak." Mama bicara sangat lirih di dekat telingaku. Tatapan netranya pen
Suasana makin gelap. Hujan juga belum berhenti."Mas, apa ada yang ingin kamu bicarakan lagi? Ini sudah mau Maghrib" tanyaku memandang Mas Ilham."Tidak ada, kita pulang sekarang. Kasihan anak-anak menunggu di rumah.""Pulanglah kalian. Nggak perlu mengantarku. Aku bisa pulang sendiri." Nura berkata pelan tanpa memandang kami."Aku hanya ingin minta maaf padamu, Vi. Aku telah menyakitimu selama ini. Aku juga ingin minta maaf pada Mas Ilham. Maaf, karena aku pernah memanfaatkan keadaan." Perempuan itu bicara dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan isak. Aku sebenarnya terkejut saat dia bicara tentang maaf.Hatiku tersentuh, entah kenapa aku melihat luka yang menganga di netranya. Jemarinya menyentuh mata dan melepas soft lens yang dipakainya, lantas membuangnya begitu saja. Melihat ambisinya yang selama ini menggebu-gebu, apakah penyesalannya ini su
Part 62Bunyi ponsel berdering tanpa henti. Sementara aku masih sibuk mengganti diaper Abian. Apalagi anaknya bakalan rewel kalau buang air besar tapi tidak segera diganti popoknya.Akhirnya kuambil ponsel dan menjepitnya antara bahu dan telinga. Misalnya ku loud speaker juga percuma, pasti suaranya tidak begitu jelas."Halo, Mas.""Kenapa tidak lekas di angkat teleponnya, mumpung Mas dapat signal bagus ini," omelnya."Maaf, aku lagi ganti popoknya Abian. Tahu sendiri kan dia bakalan rewel kalau popoknya enggak segera di ganti. Mas sudah makan siang apa belum?"Aku melangkah ke dekat jendela kamar setelah selesai mengganti popok. Abian sendirian di atas kasur."Sudah baru saja. Syifa sudah pulang sekolah? Mana dia, Mas mau bicara.""Lagi main di toko. Nanti saja kalau Mas telepon lagi baru ngomong sama Syifa. Enggak t