Melinda's POV
Pagi yang sangat dingin. Kami melangkah melewati lorong berdinding kaca untuk menuju ke wahana permainan outdoor seusai sarapan. Rekan-rekan yang lain sudah menyebar menuju tempat-tempat yang dikehendaki. Ada yang ingin naik cable car, rumah hantu, dan seluncuran. Mereka seperti muda lagi.
Datang ke sini memang lebih baik untuk liburan bersama anak-anak. Karena wahana permainannya sangat banyak dan cukup seru. Aku sedih, saat begini ingat Syifa yang tidak bisa kami ajak.
Mas Ilham antri untuk membeli tiket. Untuk permainan outdoor kita harus beli tiket lagi. Yang gratis kemarin adalah untuk permainan indoor. Antrian tidak begitu panjang, karena memang masih pagi. Akhirnya kami diberikan gelang plastik (wristband) yang digunakan sebagai kartu pass, dan kami bebas naik setiap wahana tanpa membayar lagi, dan juga dapat keluar masuk pintu gerbang dengan menunjukkan gelang tersebut.
Melinda's POVKami duduk di bangku beton dekat air mancur, depan sebuah seluncuran. Menghadap ke area permainan outdoor yang sepi. Lampu-lampu malam berkelipan di hadapan.Jaket tebal membalut tubuh kami. Kabut nampak menyelimuti di antara pekatnya malam. Dinginnya malam ini semoga bisa meredam hati kami yang bergejolak.Di bawah langit tanah melayu, kami ingin membicarakan permasalahan yang terpendam tanpa penyelesaian."Bang, selama ini kondisi kita mengalir begini saja, tanpa pernah ada pembahasan yang serius. Aku diam, Abang pun diam. Seperti kita sedang baik-baik saja menjalani semua ini. Tapi, kenyataannya nggak seperti itu." Aku membuka percakapan setelah cukup lama diam.Bang Petra menarik napas panjang, menghembuskan perlahan. Di raihnya jemariku dan di genggam."Maafkan Abang. Telah menempatkanmu dalam posisi berbagi dengan wanita lain. Abang sayang kamu dan anak-anak.""Sekarang hati, Abang, nggak sepenuhnya m
Melinda's POVLagi dan lagi, tidak ada keputusan yang pasti dalam rumitnya masalah kami. Jika di luar sana, beberapa orang menjalani poligami dengan damai, tapi tidak bisa bagi kami. Wanita itu seolah ingin menguasai Bang Petra sendiri.Ancaman bunuh diri, biar kami jadi tersangka, dan berbagai ulah lainnya yang amat meresahkan telah dia gaungkan sejak dua tahun ini.Bang Petra sangat menyayangi anak-anaknya. Bahkan pada Rama yang bukan darah dagingnya. Dan dia selalu khawatir jika Exel ditelantarkan Winda.Ibu macam apa dia.Bang Petra bangkit dari duduk saat gerimis mulai turun. Tanganku di raihnya dan kami kembali ke hotel.Kesimpulanku kali ini, aku harus memberinya waktu lagi. Entah untuk berapa lama.Hening.Aku tidur menyamping dan Bang Petra telentang menatap langit-langit kamar. Di s
Ilham's POVFirst World Cafe, tempat aku dan Pak Petra menikmati secangkir kopi juga beberapa keping roti bakar, tapi benda itu tetap teronggok hingga dingin tak tersentuh. Kami menatap pekat malam dari balik jendela kaca. Gerimis turun bersama kabut.Dua lelaki yang pernah merasakan bagaimana terdampar dalam nikmat semu perselingkuhan. Aku yang telah berada di tepian, bisa melihat susahnya Pak Petra berenang untuk menang.Masalahku tidak serumit masalah yang dihadapi Pak Petra kali ini. Andai saja, hubungan pertamaku dengan Nura kala itu membuatnya hamil, tentu masalahku akan serumit Pak Petra ini. Mungkin sekarang aku telah kehilangan Vi dan Syifa, bahkan Abian tidak akan pernah lahir ke dunia.Aku harus bersyukur di selamatkan dari malapetaka ini. Namun temanku ini, masih kebingungan untuk mencari jalan pulang.Malam ini Pak Petra menceritakan semuanya. Ten
Petra's POVHingga di malam ulang tahun Melinda, sikapnya mulai melunak. Mau tidak mau menerima keadaan ini. Kami menghabiskan satu malam di sebuah hotel. Sejak itu, kehidupan kami normal lagi seperti sebelumnya. Meski sesungguhnya tidak ada yang baik-baik saja setelah terjadinya pengkhianatan."Pak Ilham, kita kembali ke kamar!" ajakku pada pria yang setia menemani gundahku."Pak Petra sudah lega sekarang?" tanyanya sebelum kami berdiri."Butuh waktu untuk lega dalam masalah saya, Pak Ilham. Tapi istri Anda sedang menunggu. Jaga kebahagiaan itu."Aku menepuk punggung pria yang posturnya di atasku itu. Dia tersenyum. Kami melangkah beriringan. Pria gagah, tampan, dan mapan seperti dia, pasti banyak di incar wanita. Seperti yang dibilang Winda. "Aku suka pria matang seperti, Pak Petra."Pak Ilham jauh lebih beruntung dariku. Dia tidak terjerumus
Vi Ananda's POVDari jendela kaca lantai tujuh Nova Highlands Hotel ini yang kulihat hanya pekatnya malam. Siang tadi kami sampai di Cameron Highlands, tempat liburan yang menampilkan keindahan panorama alam. Kebun teh, sayur, dan buah-buahan. Vila dan penginapan yang menjulang tinggi untuk peristirahatan para wisatawan.Sehabis makan malam dan Salat Isya, aku lelah dan membiarkan tubuhku terlentang di ranjang. Abian juga telah terlelap di box-nya. Sementara Mas Ilham baru keluar dari kamar mandi."Capek, Sayang?" Dia menutup gorden kamar, melepaskan kaos dan berbaring di sebelahku."Apa Mas enggak kedinginan melepaskan kaos begitu?" tegurku menahan geram. Pikiranku sudah melayang ke mana-mana.Dia tersenyum sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang menggoda itu. Benar-benar tidak mau rugi Mas Ilham ini. Jangan sampai membuatku istirahat di sepanjang libur
Melinda's POVJam sembilan pagi kami sudah menunggu penerbangan pulang ke Indonesia. Dalam boarding pass tertera jadwal penerbangan kami tiga puluh menit lagi. Wajah-wajah lelah tapi sumringah duduk di bangku-bangku besi boarding lounge, ruang tunggu keberangkatan. Mereka bukan rekan-rekan kami. Karena tujuan berbeda maka penerbangan pulang dengan tim liburan pun tidak sama.Om Broto dan Tante Ros sudah terbang duluan jam tujuh pagi tadi. Pak Alex dan beberapa rekan ikut penerbangan jam sepuluh nanti.Ilham yang mondar-mandir sambil menggendong putranya. Sementara Vi duduk di sebelahku."Semoga ada kabar gembira setelah liburan kali ini. Kakak tunggu berita kehamilanmu," kataku pada wanita cantik ini.Vi tersenyum sambil memandangku. "Abian masih kecil, Kak. Lagian saya memakai alat kontrasepsi. Enggak mungkin hamil.""Enggak ingin nambah
Petra's POVExel sangat bahagia saat melihat isi paper bag yang kubawa. Beberapa kaus yang dibelikan Melinda diperhatikan sambil tersenyum. Tadi dalam perjalanan aku juga sempat membelikannya mainan.Dia yang duduk di pangkuanku berdiri lalu berbalik dan memelukku. "Aku kangen, Papa," ucapnya sambil melingkarkan lengan kecilnya di leherku.Kupeluk tubuh kecil itu erat. Bau minyak telon memenuhi penciuman. Wangi dan khas sekali. Winda masih sering membalurkan minyak itu di tubuh Exel sehabis mandi."Di minum dulu kopinya, Bang." Winda meletakkan secangkir kopi di meja sebelahku. Kebetulan kami duduk di karpet depat TV.Wanita itu berbinar bahagia sejak melihat kedatanganku tadi, meskipun wajahnya agak pucat. Dia berdiri dan pergi. Membiarkan aku bermain dengan Exel, setelah itu terdengar Winda membersihkan tempat tidur dan mengganti seprai. Menyiapkan baju gantiku da
Petra's POVBukannya aku meragukan ketulusan Melinda dalam merawat Exel. Dia juga paham bagaimana aku merengkuh Rama, mencintai putra sulungku seperti darah dagingku sendiri.Namun, nyamankah Exel bersama kami. Jauh dari mamanya. Sebab dia akan memulai semuanya setelah dia paham dan cukup tahu bahwa Melinda bukan Mama kandungnya. Sanggupkah dia berpisah dengan Winda?"Bang.""Ya, Sayang.""Rama telah tahu semuanya. Tadi malam dia cerita padaku."Aku terkejut. Kurenggangkan pelukan dan menatap Melinda."Dia tahu sendiri. Dia sudah dewasa untuk peka terhadap permasalahan orang tuanya."Kukecup kening Melinda, kemudian aku melangkah cepat keluar kamar. Menaiki tangga untuk ke kamar Rama. Kamarnya saja yang ada di lantai dua.Kudorong pintu perlahan. Remaja kecil yang duduk di bang