Melinda's POV
Bang Petra pulang saat hujan deras mengguyur bumi, dia telat pulang hari ini. Wajahnya tampak sayu. Aku mengikutinya masuk kamar.
Hidungku mencium bau minyak telon dari kemeja yang dipakai. Sepertinya dia baru pulang dari rumah Winda.
"Anak-anak sudah makan?" tanya Bang Petra.
"Sudah, nungguin Abang kelamaan akhirnya pada makan duluan. Mereka baru saja masuk kamar untuk belajar. Abang, mandilah dulu. Biar kusiapkan makan malam," kataku.
Bang Petra mengangguk. Dia selalu begitu, meski sudah makan di rumah istri mudanya, kalau sampai rumah akan makan lagi meski sedikit. Hanya untuk menyenangkan hatiku.
Opor ayam dan perkedel kentang telah kusiapkan di atas meja makan. Setengah porsi nasi sudah kutaruh di piringnya. Aku menunggunya di kursi meja makan.
Cukup lama Bang Petra baru keluar kamar. Wajahnya yang terteku
Melinda's POVTaksi online yang kutumpangi melaju menuju sekolahnya Rama. Jarum jam menunjukkan pukul 06.45 menit. Lima belas menit lagi lonceng sekolahnya Rama akan berbunyi.Aku menyuruh sopir taksi berhenti agak jauh dari pintu gerbang sekolah. Dari jarak hampir sepuluh meter aku bisa melihat mobil yang pernah di kendarai Arvan saat menemuiku waktu itu. Dia pun keluar dan berdiri di samping pintu mobilnya.Kami sama-sama menunggu kendaraan yang antar jemput Rama dan teman-temannya datang. Memang setelah bus itu menjemput Rama di rumah, kendaraan akan menjemput siswa lainnya. Makanya aku yang lebih dulu sampai di sekolah daripada Rama.Tidak lama kemudian mini bus yang biasa antar jemput Rama datang. Anak-anak turun dari bus. Kuperhatikan Rama memandang ke arah Arvan. Mereka saling pandang sejenak. Kemudian Rama melangkah memasuki gapura sekolah saat seorang temannya mengajak ma
Melinda's POVHening.Aku memandang beberapa pengunjung yang baru datang. Mereka sepertinya dari perjalanan jauh. Dari gesturnya Arvan tampak gelisah."Kamu nggak apa-apa, nggak masuk kerja hari ini?""Nggak apa-apa."Hening lagi.Dulu, aku berpikir. Jika bertemu Arvan lagi, ingin rasanya menumpahkan segala kekesalan. Ingin memaki, menyumpahi, bahkan ingin menghajarnya semampuku. Namun kini setelah bertemu yang ada hanya haru. Sisi hatiku yang lain percaya, Arvan tidak mungkin sekejam itu."Kenapa waktu itu kamu nggak segera kembali ke ibukota setelah ayahmu tiada?"Arvan menatapku. "Bukannya tidak ingin segera kembali. Tapi keadaan yang nggak bisa membuatku segera meninggalkan rumah. Meski telah merawat ayah bertahun-tahun, tapi ibuku tetap terpukul juga saat ayah meninggal. Terus dua adikku juga
Melinda's POVMalam kian hening. Aku masih bertahan di depan layar TV. Menonton acara yang sama sekali tidak menarik perhatianku. Bang Petra masih sibuk dengan laptopnya, duduk tidak jauh dariku. Dari ujung penglihatan, aku bisa merasakan kalau dia sering memandang ke arahku. Sementara anak-anak sudah pulas di kamarnya masing-masing.Beberapa kali kudengar getaran ponselnya di atas meja, tapi tidak dipedulikan. Dia tetap sibuk dengan laptop."Aku tidur dulu, Bang," kataku setelah mematikan layar TV. Setelah Bang Petra mengangguk, aku segera masuk kamar.Sejak bersitegang siang tadi, kami tidak banyak bicara setelah Bang Petra pulang kerja. Aku tidak ingin banyak terbebani dengan permasalahan yang akhir-akhir ini kami hadapi. Apalagi tiap kali pikiran terlalu tegang akhirnya berpengaruh pada kehamilanku.Aku selalu berdoa setelah selesai Salat, semo
Vi Ananda's POVSyifa berlari memelukku saat aku, adik, dan papanya baru saja turun dari mobil. Pak Nardi yang menjemput kami di bandara tadi, pakai mobil Mas Ilham yang memang sengaja di tinggal di rumah Ibu. Biar ada yang merawatnya.Gadis kecilku tidak menangis. Dia tersenyum riang. Ibu mendekat, kami bersalaman dan berpelukan, beliau langsung menggendong Abian. Anak lelakiku awalnya berontak, setelah lama memerhatikan dan dibujuk akhirnya mau juga di gendong ibu. Budhe dan seluruh karyawan keluar untuk menyalami kami.Setelah masuk rumah, Abian langsung turun dari gendongan ibu. Syifa tidak henti-hentinya memandang sang papa. Dia keheranan dengan penampilan Mas Ilham yang berbeda."Kenapa rambut, Papa, dibiarkan panjang?"Mas Ilham tersenyum, diraihnya tubuh sang putri dalam dekapnya. "Kenapa? Papa tidak tampan lagi, ya?" tanya Mas Ilham sambil menciumi putrinya
Petra's POVSetelah mendapatkan mainan yang disukai Exel, aku mengajak mereka pulang. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, berbagai andaian hinggap di angan. Seharusnya aku menikmati kebersamaan yang mungkin terakhir kalinya dengan Winda dan Exel, tapi justru pikiranku kacau karena bertemu Arvan tadi.Sampai apartemen pun Exel tidak mau langsung tidur, dia malah asik bermain dengan mobilan barunya. Aku mesti menunggu hingga dia tidur dulu, baru bisa pulang.Jam sebelas malam aku sampai rumah. Bibik yang membukakan pintu untukku."Bik, ada bajuku di luar?" tanyaku pada wanita sepuh itu."Ada, Pak, di ruang setrikaan. Mau saya ambilkan?"Aku mengangguk. Sebelum masuk kamar aku ingin mandi di kamar mandi luar saja. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk membersihkan diri dan aku masuk ke peraduan.Melinda sudah tertidur pulas.
Petra's POVMobil melaju tenang membelah lalu lintas malam. Cuaca juga sangat indah, bintang betaburan di angkasa sana. Namun moment romantis yang kuharapkan akan tercipta berakhir berantakan. Melinda diam menatap fokus ke depan."Lin.""Ya," jawabnya tanpa menatapku."Winda akan pulang ke rumah orang tuanya," ucapku pelan."Ya, terserah dia," jawabnya masih tidak peduli."Dia ingin bercerai."Mendengar kalimat itu Melinda menoleh. Kami berpandangan sebentar. Kemudian aku kembali fokus ke jalan depan."Terserah, Abang, juga. Itu urusan kalian. Aku nggak bisa mendukung atau mencegah, Abang. Kalian selesaikan sendiri saja." Melinda seolah tak peduli. Mungkin karena sudah lama kecewa dalam permasalahan ini. Sudah lelah menunggu dan berharap.Baru saja diam, ponsel dalam tasnya ber
Petra's POVSeminggu ini aku sengaja tidak menghubungi Winda. Meskipun penasaran bagaimana proses mengurus kepindahan sekolahnya Exel. Aku yakin tidak akan mengalami kesulitan, apalagi Exel masih sekolah TK. Namun dia tidak kunjung memberi kabar.Sebenarnya tidak sulit untuk menceraikan Winda, karena kami hanya menikah siri. Namun aku ingin semua selesai dengan baik-baik dihadapan kedua orang tuanya. Aku juga ingin menitipkan Exel pada mereka dan tetap akan mengirimkan tunjangan tiap bulannya. Meski tidak kudampingi, aku ingin anakku hidup dengan layak.Ponsel di atas meja berpendar saat aku duduk termenung. Ada panggilan dari Melinda."Halo, Sayang.""Rama cerita padaku pulang sekolah tadi.""Cerita apa?""Diejek sama temannya.""Diejek bagaimana?""Kalau papanya punya istri simpana
Melinda's POV"Kak, apa yang kakak rasakan setelah tahu kenyataan kalau Papa memiliki istri selain Mama? Jujur pada Mama. Jangan pendam semuanya sendirian, kita bicara berdua." Aku berkata sangat hati-hati kepada Rama di kamarnya."Rama kecewa, Ma. Papa mengkhianati kita," jawabnya lugas.Aku sengaja mengajaknya bicara berdua agar tahu apa yang menjadi beban pikirannya. Sejak dia tahu perselingkuhan Bang Petra, tentunya telah menjadi beban psikologis bagi Rama. Dia tidak bisa membicarakan hal ini pada teman-temannya, seperti mereka berdiskusi tentang sekolahnya. Dia juga harus merahasiakan ini dari kedua adiknya."Kakak, benci Papa?"Rama menggeleng pelan."Jangan benci Papa, Kak. Maafkan kalau Papa membuat Kakak nggak nyaman kali ini. Ini urusan orang dewasa, biarlah kami menyelesaikannya.""Apa Papa dan Mama ak