Petra's POV
Aku menggendong Exel keluar dari apartemen. Winda mengikuti di belakang. Semua barang-barang pentingnya sudah masuk mobil semua. Aku menyarankan agar perabot yang dia inginkan bisa di bawa, nanti aku sewakan truk. Namun Winda tidak mau.
Apartemen itu masa sewanya masih setahun lagi. Sebab aku memperbarui sewa kali kedua langsung kubayar lunas selama empat tahun. Perabotan aku lengkapi agar dia tidak perlu sering ke luar apartemen. Apalagi dia sendirian menjaga Exel.
Suasana hening dalam perjalanan. Hanya Exel yang sesekali menanyakan beberapa hal. Termasuk kenapa mereka harus pindah rumah, harus pindah sekolah.
"Exel, nggak akan punya teman, Ma," protesnya.
"Nanti ada teman juga di rumah Kakek." Winda menjawab datar.
"Papa, ikut pindah juga?" tanya Exel sambil memandangku.
"Tidak, Sayang. Papa kan harus bekerja."
Petra's POVIni keputusan terbaik untuk semuanya. Pertimbangannya jelas. Tetap bertahan denganku sudah pasti keadaan akan tetap sama. Sepanjang hidup Winda hanya akan jadi yang kedua, tidak bebas, penuh tantangan, dan beban."Bapak dan Ibu jadi saksi, hari ini, saya Muhammad Petra Nurmansyah menjatuhkan talak satu kepada Winda Saputri."Winda terkejut menatapku. Meski perceraian sudah kami bahas, tapi tetap saja dia tidak mengira kalau aku mengucapkan talak di hari pertama kedatangan kami di rumah orang tuanya.Ibunya Winda menangis, ayahnya masih dengan mimik wajah yang tak berubah. Masih berdiri dengan angkuhnya."Saya tidak akan lepas tanggung jawab terhadap Exel. Tiap bulan saya akan mengirimkan tunjangan.""Tidak perlu," sahut laki-laki itu cepat."Aku bisa mengurusi anak dan cucuku. Kami tidak butuh uangmu."&nb
Vi Ananda's POV"Kakak, kejar adek, Kak!" seruku pada Syifa, agar lekas mengejar adiknya yang berlari hendak naik kereta api mini di area permainan.Abian bukannya berhenti tapi malah mengajak kakaknya dan Dinar main kejar-kejaran. Melihat mereka seaktif itu membuatku lelah sendiri, meski hanya memperhatikan sambil duduk.Sudah dua hari ini kami berlima liburan, untuk menemani Syifa kami mengajak Dinar juga. Liburan dadakan setelah selesai membahas renovasi rumah kami dengan seorang rekannya Mas Ilham. Jadi setelah kami kembali nanti, rumah sudah siap di tempati. Syifa dan Dinar kami mintakan izin tidak masuk sekolah.Mas Ilham menyodorkan sebotol air mineral padaku. Anak-anak dipanggilnya, mereka berlari mendekat lantas membongkar isi kantong plastik penuh snack yang baru dibeli."Tadi Silvi nelepon, sudah booking tiket pesawat untuk tiga hari lagi. Penerbangan jam
Pulang dari liburan aku menyiapkan beberapa oleh-oleh untuk di bawa Mas Ilham kembali ke tempat kerja. Membelikan vitamin kesuburan untuk Sekar. Dia ingin sekali segera memiliki momongan. Waktu itu sempat periksa ke dokter kandungan dan resep vitaminnya aku bawa untuk kubelikan dari sini."Mas, berapa hari di Jakarta?" tanyaku sambil menyusun bajunya di mini travel bag malam itu."Dua sampai tiga hari.""Acara di Mas Ahmad selesai segera nyusul, ya," katanya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku. Baru hendak mengecup kening, pintu kamar terbuka, masuklah Syifa dan Abian. Mas Ilham segera melepaskan pelukan."Ma, adek udah ngantuk itu," kata Syifa.Abian menyandarkan tubuhnya di pinggir ranjang. Mas Ilham segera meraih tubuh kecil itu dan mengangkat ke atas ranjang. Syifa menyusul dan mereka bercanda di sana.Jam sembilan malam akhirn
Arvan's POVAku keluar dari ruang perawatan Bang Rahmat. Teman kerja yang baru saja kujenguk. Dia operasi ginjal dua hari yang lalu.Saat berdiri di lorong rumah sakit seorang anak kecil menangis di gendongan wanita setengah baya yang keluar dari kamar perawatan. Infus menancap di tangannya. Yang membuatku terkejut, sosok wanita yang mengikutinya di belakang sambil mendorong tiang infus. Wanita itu yang pernah kutemui bersama Bang Petra.Ketika mereka berjalan pelan melewati tempatku berdiri, aku tersenyum. "Hai," sapaku pada bocah kecil yang menatapku sambil meletakkan dagunya di pundak wanita setengah baya itu.Bocah yang wajahnya memerah dan tampak lesu itu memandang tapi diam. Aku berpandangan dengan wanita muda tadi. Dahinya mengernyit, dia sedang ingat bahwa kami pernah bertemu."Sepertinya kita pernah bertemu, 'kan?" tanya wanita itu duluan. Dia berhenti dan
Melinda's POV"Itu tadi Arvan?" tanya Bang Petra ketika kami sudah berhadapan. Pandangannya masih tertuju pada sosok yang sedang melangkah pergi menjauhi kami."Ya.""Kalian janjian?""Kami nggak sengaja bertemu. Dia sedang membesuk rekannya yang di rawat di sebelah ruang perawatan Exel."Bang Petra diam. Masih menatap arah perginya Arvan."Kita pulang sekarang?" ajakku."Nunggu hasil labnya Exel keluar dulu, ya!""Kapan?""Mungkin sebentar lagi."Aku melangkah duduk di bangku yang tidak jauh dari situ. Bang Petra duduk di sebelahku. Bukannya aku tidak mau menemaninya bertemu Exel di kamar perawatannya. Tapi di sana aku seperti orang bodoh saat menyaksikan Bang Petra berinteraksi dengan Winda karena Exel. Exel yang membuat kedua orang tuanya berdekatan.
Melinda's POV"Ada apa, Lin?" tanya Arvan yang menghampiriku, saat aku kebingungan di pos satpam rumah sakit."Aku harus pulang, Van. Puspa sakit. Tapi aku nggak tahu mesti naik apa. Bus di sini hanya sejam sekali lewat. Kata Pak Satpam, lima belas menit yang lalu bus baru lewat. Ini masih nunggu taksi online yang dihubungi Pak Satpam, bisa apa nggak?""Bang Petra mana?"Aku tidak menjawab. Aku sibuk membalas pesan dari Rama yang bilang kalau Puspa menangis terus mencariku.Kegelisahan makin bertambah ketika Bang Petra belum kelihatan menyusulku. Kemarahan makin memuncak dalam dada."Kapan kamu pulang, Van?""Aku juga mau pulang ini. Ayo, kalau mau bareng."Tanpa menunggu Bang Petra muncul, aku segera mengikuti Arvan menuju mobilnya.'Bodoh amat. Aku tidak peduli sekarang
Melinda's POVAku memandang layar USG di hadapan. Kurang lebih tiga bulan lagi dia akan lahir ke dunia. Dokter Herlina masih menggerakkan tranduser. Kemudian melakukan pemeriksaan Leopold, dia meraba bagian perutku dengan kedua telapak tangan."Bayimu sehat, kepalanya sudah turun sampai rongga tulang panggul tapi masih di perut. Bulan depan mungkin kepala sudah masuk panggul. Kamu mesti hati-hati. Udah tahu hamil besar gini masih juga mondar-mandir ngurus hal yang nggak jelas. Untungnya kamu nggak apa-apa. Kakimu bengkak karena kamu banyak duduk dan kurang gerak."Aku mendengar omelan Dokter Herlina sambil membenahi baju hamilku. Sebelumnya tadi aku memang cerita kalau habis melakukan perjalanan jauh."Heran, deh, sama suamimu. Udah cere masih saja segitunya memerhatikan mereka. Iyalah karena anak memang sakit. Tapi ... sudahlah, aku bingung mau ngomong apa.""Ini k
Melinda's POVSetengah jam setelah sampai di klinik, aku melahirkan seorang bayi laki-laki tampan dengan berat 3,3 kg, panjang 50 cm. Kulitnya putih kemerahan, dia mirip Puspa versi cowok.Mata Bang Petra memerah, menahan tangis sambil menggendong bayi kami. Wajahnya di dekatkan ke wajah putra kami, tapi dia belum berani menciumnya. Setiap kelahiran anak-anak dia adalah orang yang paling penuh drama. Bahagia, terharu, dan seperti ada sesuatu perasaan yang sulit terlukiskan. Mungkin seperti hening pagi yang bisa di rasakan, tapi tidak bisa di raba.Dua orang suster datang hendak memindahkanku ke kamar perawatan. Bang Petra memberikan bayi kami kepada ibu, yang memang datang setelah dikabari aku hendak melahirkan. Namun beliau tadi langsung menuju rumah sakit.Bang Petra mengangkatku untuk dipindahkan ke brankar dorong. Dua perawat membantu mengemas barang dan kami bersama-sama kelu