Vi Ananda's POV
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil melihat-lihat foto anak-anak di galeri ponsel. Tadi sudah banyak artikel yang kubaca, sampai bosan menunggu. Abian juga tidak terdengar menangis. Dia pasti kelelahan setelah main seharian dan tidak mau tidur siang pula.
Capek. Akhirnya aku menarik selimut dan memutuskan untuk tidur. Baru juga memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Mas Ilham tersenyum.
"Mau tidur, ya?" tanya Mas Ilham sambil melepaskan jaketnya.
Aku bangun dan kembali duduk. Mas Ilham mendekat, memberikan ciuman di keningku. Kemudian dia masuk kamar mandi. Saat dia sibuk membersihkan diri, aku bergegas membuka lemari. Mencari lingerie ditumpukkan baju. Belum sempat ketemu, lengan kokoh itu telah melingkar di pinggang.
Embusan napasnya di tengkuk menimbulkan denyar seperti biasanya saa
Melinda's POVAku segera membersihkan diri dan ganti baju. Kemudian kami melaksanakan Salat Isya berjamaah. Dalam doaku andai rahasia ini terbongkar, aku ingin semua tetap baik-baik saja seperti sebelumnya. Aku tidak ingin Rama berubah."Sayang, mau cerita apa?" Bang Petra menepuk ruang di sebelahnya, setelah aku selesai melipat mukena.Kami sama-sama bersandar di kepala ranjang. Aku mulai cerita tentang kemarin. Pertemuan Bang Dodi dan Arvan. Kecurigaan Bang Dodi, pengakuan Arvan, perkelahian mereka, dan ancaman Bang Dodi pada Arvan.Lagi-lagi air mataku tak bisa kubendung. Aku terisak. Andai Bang Petra tanya kenapa aku menangis, aku tidak tahu jawabannya. Bagiku semua sangat pedih.Dia merangkul pundakku. Menenangkan dengan tidak berkata apa-apa. Setelah mulai tenang. Bang Petra baru bicara. "Apapun yang terjadi kita hadapi sama-sama.""Ya."
Melinda's POVGerimis turun sore itu. Anak-anak tidak pergi mengaji. Vita, Puspa, dan Pasya asyik bermain lego di karpet depan TV. Sedangkan Rama membaca buku di sofa ruang tamu. Seminggu setelah dia tahu yang sebenarnya, Rama menjadi pendiam. Dia hanya bicara seperlunya saja. Walaupun masih tetap menemani adiknya bermain.Aku berdiri dan mendekatinya. Duduk tepat di sebelahnya. Rama menoleh dan tersenyum."Kakak, belajar apa?" tanyaku hati-hati."Biologi, Ma. Besok ada ulangan harian." Dia menunjukkan buku yang dipegangnya."Tapi Kakak, nggak apa-apa, 'kan? Kakak banyak diam sekarang."Rama meletakkan buku di pangkuannya. "Rama nggak apa-apa, Ma. Mama, nggak usah khawatir."Aku mengusap rambutnya pelan. Aku bisa tahu apa yang sedang dia rasakan. Kenyataan ini tentu saja tidak mudah baginya. Setelah selama ini nyaman tanpa t
Arvan's POVWaktu terus berlalu. Seminggu, dua minggu, sebulan, tapi masih belum ada kabar dari Melinda. Benarkah Rama membenciku?Di tengah kebimbangan dan kekalutan pikiran, aku makin dekat dengan Anggun. Intensitas kebersamaan kami hampir setiap hari, karena pekerjaan. Hingga aku berani menceritakan tentang kisah hidupku. Dia tidak serta merta menghakimi, justru dia salut dan simpati. Sebab ada sebagian orang tidak lagi peduli apalagi tanggung jawab kepada anak dari wanita yang telah dihamilinya.Pernah suatu hari aku mengajaknya mampir ke rumah setelah mengurus keuangan di Bank. Malamnya Ibu mengatakan ketertarikannya dengan wanita itu. Memberiku semangat agar mendek
Jemariku mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu hingga menimbulkan suara yang berirama. Kulakukan ini hanya untuk menutupi rasa gelisahku.Aku memang sengaja datang lebih awal di sebuah kafe pinggiran kota. Kafe tempat aku pernah bertemu dan bicara berdua dengan Melinda. Aku memilih duduk di gazebo samping kafe yang tertutup dinding bambu berplitur cokelat setinggi pinggang.Dadaku berdebar dan tangan mulai gemetar setelah melihat jam tangan dan tentunya sebentar lagi mereka akan datang.Aku memandang hamparan sawah dan perbukitan di kejauhan sana. Semilir angin menyejukkan tubuhku yang mulai berpeluh. Dalam angan aku berekspektasi tentang pertemuan kali ini. Kami sepakat bertemu jam dua sore.Detak jantungku makin melaju saat kulihat sebuah mobil Pajero warna hitam memasuki halaman parkir yang luas itu. Tidak lama kemudian turun tiga orang yang kutunggu. Pak Petra memakai setelan santai kaos berkerah war
Arvan's POV Setelah makan aku mengajaknya ke mall. Dia membantuku memilihkan baju untuk Rama juga adik-adiknya. Aku memberitahu Anggun dengan mengamati anak-anak pengunjung mall. Kira-kira sebesar itu adik-adiknya Rama. Aku tidak tahu pasti karena hanya melihat beberapa kali dari kejauhan. Ketika aku sengaja lewat depan rumahnya. Anggun menolak saat aku menawarkan untuk membeli sesuatu. Bahkan waktu aku memilihkan blouse yang menurutku sangat bagus. "Nggak, Pak. Terima kasih," tolaknya. Dari mall, Anggun mengajakku mampir ke toko orang tuanya. Kami masih menunggu karena mereka sedang sibuk. Ada satu orang pemuda yang membantu di toko itu. "Ayo, duduk sini, Nak Arvan!" Ayahnya Anggun mempersilakan duduk di bangku semen sebelah kiri depan toko mereka. Anggun keluar sambil membawakan teh botol untuk kami. Hampi satu jam aku dan ayahnya Anggun berbincang-bincang. Mengenai p
Arvan's POVMinggu siang itu seperti janjinya, Bang Petra dan Melinda datang ke rumah mengajak anak-anaknya.Kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu. Netra tuanya mengembun ketika Rama menyalami dan mencium tangannya. Disusul ketiga adiknya. Mereka anak-anak yang manis dan pintar."Vita, Puspa, ini Om Arvan." Bang Petra bicara pada dua putrinya. Aku tersenyum pada dua gadis kecil yang imut dan cantik itu. Tentunya mereka belum tahu kalau antara mereka bertiga dengan Rama beda ayah.Kami berbincang-bincang sambil menikmati kue dan cemilan yang disediakan ibu. Wanita yang melahirkanku itu tidak henti memandang cucu lelakinya dan Melinda. Wanita yang gagal kubawa untuk jadi menantunya.Pembicaraan kami membuat adik-adiknya Rama mulai bosan. Akhirnya Bang Petra mengajak ketiga anaknya bermain di luar. Kebetulan cuaca sedang redup. Mereka berlarian di halaman. Tinggal
Arvan's POVAku menolak saat Bang Petra meminta agar aku dan Ibu ikut di mobilnya. Aku memilih naik mobilku sendiri yang di sopiri temanku. Jujur saja aku tidak ingin tenggelam dalam kenangan bersama Melinda. Sebagai laki-laki aku bisa merasakan, dibalik keramahan Bang Petra, dia juga menyimpan cemburu padaku. Tapi dia pria dewasa yang bijaksana. Dia tahu bagaimana mengendalikan perasaannya.Kendaraan beriringan di jalan protokol menuju rumah mempelai wanita. Dadaku kian berdebar kencang ketika mobil hampir mendekati rumah Anggun. Meski telah lebih dari cukup usia untuk menikah, tapi tak bisa kupungkiri gemuruh dalam dada menghadapi acara sakral ini.Aku tidak menyangka menemukan jodoh di sini. Jauh beribu-ribu kilometer dari kampung halamanku. Pernikahan yang tidak lagi aku pikirkan setelah berpisah dengan Melinda. Namun aku dipertemukan pendamping hidup setelah bisa menjalin hubungan baik dengan putra dan wanita yang p
Arvan's POVTepat jam tujuh malam mobil memasuki halaman sebuah hotel. Sebenarnya ini bukan di tempat wisata, yang penting kami bisa memiliki banyak waktu berdua. Perjalanan dari rumah ke hotel sebetulnya hanya butuh waktu dua jam. Tapi tadi kami masih mampir di masjid untuk Salat Maghrib.Aku menunjukkan bukti booking hotel online seminggu yang lalu. Resepsionis menyuruh seorang pelayan hotel untuk mengantarkan kami ke kamar.Anggun tersenyum sambil memperhatikan seluruh kamar yang di tata sedemikian rupa. Spesial untuk pengantin baru. Aroma vanila menguar diseluruh penjuru ruangan. Seprai putih di taburi kelopak mawar berbentuk love pas di tengah-tengah. Ada lilin aromaterapi di sudut kamar."Suka?" tanyaku pada wanita yang masih berdiri memperhatikan ruangan dan memandang lampu-lampu di kejauhan dari jendela kaca kamar yang gordennya terbuka.Dia mengangguk dan t