Arvan's POV
Waktu terus berlalu. Seminggu, dua minggu, sebulan, tapi masih belum ada kabar dari Melinda. Benarkah Rama membenciku?
Di tengah kebimbangan dan kekalutan pikiran, aku makin dekat dengan Anggun. Intensitas kebersamaan kami hampir setiap hari, karena pekerjaan. Hingga aku berani menceritakan tentang kisah hidupku. Dia tidak serta merta menghakimi, justru dia salut dan simpati. Sebab ada sebagian orang tidak lagi peduli apalagi tanggung jawab kepada anak dari wanita yang telah dihamilinya.
Pernah suatu hari aku mengajaknya mampir ke rumah setelah mengurus keuangan di Bank. Malamnya Ibu mengatakan ketertarikannya dengan wanita itu. Memberiku semangat agar mendek
Jemariku mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu hingga menimbulkan suara yang berirama. Kulakukan ini hanya untuk menutupi rasa gelisahku.Aku memang sengaja datang lebih awal di sebuah kafe pinggiran kota. Kafe tempat aku pernah bertemu dan bicara berdua dengan Melinda. Aku memilih duduk di gazebo samping kafe yang tertutup dinding bambu berplitur cokelat setinggi pinggang.Dadaku berdebar dan tangan mulai gemetar setelah melihat jam tangan dan tentunya sebentar lagi mereka akan datang.Aku memandang hamparan sawah dan perbukitan di kejauhan sana. Semilir angin menyejukkan tubuhku yang mulai berpeluh. Dalam angan aku berekspektasi tentang pertemuan kali ini. Kami sepakat bertemu jam dua sore.Detak jantungku makin melaju saat kulihat sebuah mobil Pajero warna hitam memasuki halaman parkir yang luas itu. Tidak lama kemudian turun tiga orang yang kutunggu. Pak Petra memakai setelan santai kaos berkerah war
Arvan's POV Setelah makan aku mengajaknya ke mall. Dia membantuku memilihkan baju untuk Rama juga adik-adiknya. Aku memberitahu Anggun dengan mengamati anak-anak pengunjung mall. Kira-kira sebesar itu adik-adiknya Rama. Aku tidak tahu pasti karena hanya melihat beberapa kali dari kejauhan. Ketika aku sengaja lewat depan rumahnya. Anggun menolak saat aku menawarkan untuk membeli sesuatu. Bahkan waktu aku memilihkan blouse yang menurutku sangat bagus. "Nggak, Pak. Terima kasih," tolaknya. Dari mall, Anggun mengajakku mampir ke toko orang tuanya. Kami masih menunggu karena mereka sedang sibuk. Ada satu orang pemuda yang membantu di toko itu. "Ayo, duduk sini, Nak Arvan!" Ayahnya Anggun mempersilakan duduk di bangku semen sebelah kiri depan toko mereka. Anggun keluar sambil membawakan teh botol untuk kami. Hampi satu jam aku dan ayahnya Anggun berbincang-bincang. Mengenai p
Arvan's POVMinggu siang itu seperti janjinya, Bang Petra dan Melinda datang ke rumah mengajak anak-anaknya.Kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu. Netra tuanya mengembun ketika Rama menyalami dan mencium tangannya. Disusul ketiga adiknya. Mereka anak-anak yang manis dan pintar."Vita, Puspa, ini Om Arvan." Bang Petra bicara pada dua putrinya. Aku tersenyum pada dua gadis kecil yang imut dan cantik itu. Tentunya mereka belum tahu kalau antara mereka bertiga dengan Rama beda ayah.Kami berbincang-bincang sambil menikmati kue dan cemilan yang disediakan ibu. Wanita yang melahirkanku itu tidak henti memandang cucu lelakinya dan Melinda. Wanita yang gagal kubawa untuk jadi menantunya.Pembicaraan kami membuat adik-adiknya Rama mulai bosan. Akhirnya Bang Petra mengajak ketiga anaknya bermain di luar. Kebetulan cuaca sedang redup. Mereka berlarian di halaman. Tinggal
Arvan's POVAku menolak saat Bang Petra meminta agar aku dan Ibu ikut di mobilnya. Aku memilih naik mobilku sendiri yang di sopiri temanku. Jujur saja aku tidak ingin tenggelam dalam kenangan bersama Melinda. Sebagai laki-laki aku bisa merasakan, dibalik keramahan Bang Petra, dia juga menyimpan cemburu padaku. Tapi dia pria dewasa yang bijaksana. Dia tahu bagaimana mengendalikan perasaannya.Kendaraan beriringan di jalan protokol menuju rumah mempelai wanita. Dadaku kian berdebar kencang ketika mobil hampir mendekati rumah Anggun. Meski telah lebih dari cukup usia untuk menikah, tapi tak bisa kupungkiri gemuruh dalam dada menghadapi acara sakral ini.Aku tidak menyangka menemukan jodoh di sini. Jauh beribu-ribu kilometer dari kampung halamanku. Pernikahan yang tidak lagi aku pikirkan setelah berpisah dengan Melinda. Namun aku dipertemukan pendamping hidup setelah bisa menjalin hubungan baik dengan putra dan wanita yang p
Arvan's POVTepat jam tujuh malam mobil memasuki halaman sebuah hotel. Sebenarnya ini bukan di tempat wisata, yang penting kami bisa memiliki banyak waktu berdua. Perjalanan dari rumah ke hotel sebetulnya hanya butuh waktu dua jam. Tapi tadi kami masih mampir di masjid untuk Salat Maghrib.Aku menunjukkan bukti booking hotel online seminggu yang lalu. Resepsionis menyuruh seorang pelayan hotel untuk mengantarkan kami ke kamar.Anggun tersenyum sambil memperhatikan seluruh kamar yang di tata sedemikian rupa. Spesial untuk pengantin baru. Aroma vanila menguar diseluruh penjuru ruangan. Seprai putih di taburi kelopak mawar berbentuk love pas di tengah-tengah. Ada lilin aromaterapi di sudut kamar."Suka?" tanyaku pada wanita yang masih berdiri memperhatikan ruangan dan memandang lampu-lampu di kejauhan dari jendela kaca kamar yang gordennya terbuka.Dia mengangguk dan t
Arvan's POVAku kembali masuk kerja usai cuti singkat kemarin. Anggun menemani Ibu di rumah. Orang tua Anggun tidak keberatan kalau kami memutuskan untuk tinggal di rumahku. Mereka berdua juga masih muda, baru umur lima puluhan. Setiap hari juga berada di toko. Makanya kami merencanakan kalau akhir pekan saja akan menginap di rumah mereka.Tiga tiket pesawat sudah aku booking untuk perjalanan pulang. Kedua mertuaku tidak bisa ikut serta karena ada hajatan di rumah abangnya ayah mertua. Rama juga tidak mau karena bukan waktunya libur sekolah. Tapi dia bilang akan ikut lain waktu.Adik-adikku sering menelepon, tidak sabar ingin segera bertemu wanita yang berhasil menaklukkan kakaknya. Mereka juga pada kangen dengan Ibu.Anggun telah menyiapkan banyak oleh-oleh untuk kerabat di sana. Dia juga memutuskan untuk berhijab, aku sangat bersyukur dalam hal ini. Tanpa kuminta, dia sadar deng
Vi Ananda's POV"Ayo, makan dulu, Mas. Habis ini minum obat. Obat maagnya tadi udah di minum, 'kan?" kataku pada Mas Ilham sambil membawakan semangkuk bubur hangat dari dapur. Kusentuh keningnya, tidak sepanas kemarin."Iya, lima belas menit yang lalu."Sudah tiga hari ini makan bubur. Dia demam dan tensinya sempat drop kemarin. Kesibukan mengurus kerjaan, stres yang berlebihan membuatnya kelelahan. Dokter menyarankan agar istirahat total dalam waktu seminggu ini.Mangkuk kuletakkan di nakas. Lalu mengambil termogun di laci, hasil di sana menunjukkan angka 37°C."Mas boleh makan nasi, nggak?" tanya Mas Ilham sambil duduk. Mungkin dia bosan makan bubur terus."Boleh, sih. Tapi perut Mas rasanya gimana?" Aku memandangnya. Sengaja tidak kuberi makan nasi karena maagnya sempat kambuh juga kemarin."Udah baikan ini."
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T