Ilham's POV
"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor.
"Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."
Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami.
"Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang.
"Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya.
"Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Part 1 Aku yang Menyerah "Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat. "Ya." "Sudah kamu pikirkan masak-masak." "Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang kuperjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura." Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang. Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula. "Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak." Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa. "Syifa enggak begitu dekat dengan pap
Jam dua belas siang kami pulang ke rumah. Syifa langsung tidur kelelahan. Sementara aku langsung ke belakang membereskan jemuran yang sudah kering dan mencuci baju renangnya Shifa. Ketika sedang sibuk menyetrika di kamar belakang, Mas Ilham menghampiri dan duduk di kursi sebelahku. "Mama barusan nelfon. Malam ini kita di undang makan malam di rumah Mama." Aku mengangguk tanpa memandangnya. Setiap kami di undang ke sana, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh mertuaku. Mungkin soal perceraian itu. "Bawa baju ganti, nanti kita menginap di sana," ucap Mas Ilham sebelum beranjak pergi. Baju yang sudah kulipat, kuletakkan di keranjang yang nantinya kususun di lemari masing-masing. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mulai mengemas baju-baju besok setelah memasak, mumpung hari Minggu. Jika Pak Nardi datang, tinggal mengangkut saja. Selesai setri
"Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun."Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu."Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya.Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi.Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir."Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa.Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahn
Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali. "Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata. "Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan." Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku. "Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik. Aku diam tidak menjawab apa-apa. "Kamu tadi naik apa ke sini?" "Naik moto
Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam."Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang."Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?""Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?""Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah.""Kamu ada masalah lagi sama Ilham.""Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput.""Iya, Nduk.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan