Share

4. MELAMAR ZAHRA

Baskoro pergi untuk melamar Zahra seorang diri. Elang mau menikahi Zahra, tapi dengan memberikan syarat, dia tak mau datang melamar. Selain itu, dia juga meminta pernikahan dilaksanakan di rumahnya saja, tanpa perlu mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti saja yang datang.

Baskoro menyetujui saja keinginan putranya tanpa berpikir panjang. Yang ditakutkan kalau Elang akan berubah pikiran. Dia lalu memutuskan untuk melamar putri sahabatnya. Tak ada bingkisan atau apapun. Dia hanya membawakan uang seratus juta rupiah sebagai pengganti bingkisan.

Baskoro tiba di tujuan. Mencoba menarik nafas untuk menghilangkan rasa cemas. Memandangi rumah sederhana tapi penuh dengan cinta. Saat berada di rumah sahabatnya itu dia merasakan kehangatan dari sebuah keluarga.

Mengambil tas berwarna hitam di mana tersimpan amplop coklat yang berisi uang. Lalu menuju rumah calon menantunya. Ada rasa berdebar dalam dada, takut kalau sahabatnya itu marah dan kecewa dengan sikap putranya. Walau sudah ada pembicaraan sebelumnya, tapi tetap saja Baskoro merasa was-was.

Saat hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka hingga membuat Baskoro terkejut.

“Baskoro! Sudah dari tadi? Maaf aku tidak mendengar saat kau mengetuk pintu,” ucap Mustafa. Pria yang seumuran dengan Baskoro, tapi terlihat sepuluh tahun lebih tua. Dia ayah zahra, teman di masa putih abu-abu.

“Aku baru sampai, kok,” jawab Baskoro gugup sembari mengusap peluh yang membasahi dahinya.

“Ayo, kita masuk!” ajak Mustafa.

“Bu, ada tamu! Tolong bikin kopi dua, ya!” seru mustafa.

“Iya, Pak!” terdengar jawaban dari dalam.

“Ada apa? malam-malam begini datang ke rumah?” tanya Mustafa memulai pembicaraan.

“Begini. Ini ada hubungannya dengan apa yang pernah aku bicarakan denganmu.”

“Tentang pernikahan anak-anak kita? Anakmu menolaknya, bukan? Zahra tadi sudah cerita. Gak apa-apa. Yang penting, kami sudah punya niatan baik untuk membantumu,” jawab Mustafa. Lelaki yang sudah beruban dan jenggot tipis itu tersenyum. Pria ini sangat sabar dan mengerti apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu.

“Anakku setuju untuk menikah dengan Zahra. Tapi, maaf, dia ....” Baskoro menghentikan ucapannya. Dia terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Dikhawatirkan membuat sahabatnya tersinggung.

“Katakan saja, tidak apa-apa.”

“Dia tidak mau datang langsung untuk melamar. Jadi hanya saya saja yang ke sini untuk melamar putrimu. Untuk pernikahan, Elang juga meminta untuk dilaksanakan di rumah kami tanpa mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti saja. Bagaimana menurutmu? Aku  benar-benar mohon maaf padamu, kalau ....”

“Aku mengerti, Bas,” jawab Mustafa dengan arif. Walau terasa ada yang berdenyut dalam dadanya, tapi berusaha mencoba bersikap biasa saja.

“Sungguh kau tidak tersinggung?”

‘Tidak! ini’kan hanya sementara. Dan kau harus bisa memastikan bahwa putriku satu-satunya akan tetap aman dan kau kembalikan padaku secara utuh. Kau mengerti maksudku’kan?” Mustafa menyentuh pundak sahabatnya.

“Iya. Aku janji. Sekali lagi, terimakasih, Mustafa. Tapi bagaimana caranya bilang kepada Zahra? Aku takut dia akan tersinggung.”

“Serahkan semuanya padaku.”

“Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Baskoro memeluk sahabatnya dengan mata merebak. Ada rasa haru sekaligus bahagia. Semoga saja usahanya kali ini membuahkan hasil. Jauh dalam lubuk hati, Baskoro sangat ingin membuat Elang jatuh cinta kepada Zahra. Dengan begitu Zahra akan menjadi menantu untuk selamanya dan hidup bahagia bersama anak dan cucunya kelak. Baskoro akan berusaha dengan keras supaya tujuannya tercapai.

“Loh, Mas Baskoro ternyata tamunya.” Istri Mustafa datang sembari membawa nampan dengan dua cangkir kopi hitam di atasnya.

Baskoro melepas pelukannya sembari mengusap matanya yang basah.

“Bu, tolong panggilkan Zahra. Suruh dia ke sini. Kau juga nanti duduk bersama kami. Ada yang mau aku bicarakan.”

“Baik, Pak.” Wanita berhijab itu masuk untuk memanggil putri tercinta,

Seseaat kemudian, Zahra dan ibunya duduk tak jauh dari ayahnya. Wajah gadis itu tampak murung. Dia sudah bisa menebak tujuan Baskoro datang ke rumahnya. Kalau mengingat penghinaan dari anak Baskoro, membuat jantungnya berdenyut.  Sakit rasanya.

“Zahra, ibu. Pak Baskoro datang kemari dengan tujuan untuk melamar Zahra.”

“Tapi, Pak,”

‘Tunggu, Nak. Bapak belum selesai bicara.” Mustafa memotong pembicaraan putrinya. Sebagai anak yang patuh kepada orangtua, diapun terdiam dan menundukkan kepala.

“Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, pernikahanmu dan Elang hanya sampai ia berubah menjadi baik. Lama dan tidaknya itu tergantung caramu membuatnya berubah. Dan  pernikahannya akan diadakan di rumah Baskoro. Hanya keluarga inti saja yang datang. Bagaimana, kamu mau Zahra? Kau juga boleh menolak kalau tidak bersedia. Bapak tidak akan memaksamu.”

Zahra membisu. Hal ini tidak mudah baginya. Pernikahan yang akan dijalani seperti berjalan di atas api. Akan sangat sulit dilalui. Apalagi merubah pria sombong itu, sangat mustahil. Apalagi dalam waktu sekejap.

Belum lagi hubungannya dengan kekasih yang sudah dijalani selama hampir sepuluh tahun. Bahkan keduanya yang mempunyai profesi sama sudah merencanakan untuk mengikat janji suci sehidup semati. Akankah semua bisa terlaksana, ataukah akan terhalang oleh pernikahan sandiwara ini.

“Apa Mas Budi bisa menerima alasan pernikahanku,’ ucapnya dalam hati.

 Entahlah. Zahra tak mengerti, kenapa harus sesulit ini untuk membayar jasa kebaikan orang yang sudah membantu kehidupan keluarganya.

“Zahra, kau melamun, Nak?” istri Mustafa menyentuh bahu putrinya dengan lembut. Zahra tersentak dan terlihat gugup.

“Eh-mm, gak, Bu.”

“Katakan saja kalau ada sesuatu yang mengganjal pada pikiranmu. Kalau kau menolak, kami juga tidak akan memaksa. Begitu juga dengan Mas Baskoro. Dia juga tidak akan marah. Ya’kan Mas Bas?” tanya wanita yang memakai daster lengan panjang itu dengan lembut.

“Tidak. Aku sama sekali tidak marah. Semua keputusan ada padamu, Zahra!”

“Kau dengar sendiri, Nak. Baskoro juga tidak memaksamu. Kau boleh menolaknya kalau memang keberatan,” ucap Mustafa. Dia tahu putrinya tidak suka dengan perjodohan ini. Dan sebagai orang tua yang bijak, dia juga tak akan memaksakan kehendaknya.

“Terserah Bapak saja,” Jawab Zahra masih terus menundukkan kepala. Dia tak berani menatap wajah orang yang ada di sekelilingnya. Terlebih ayah dan ibunya. Mereka sangat tahu saat anak satu-satunya itu sedang berbohong atau tidak.

“Loh, kok terserah Bapak. Yang mau jalanin kan kamu, Sayang.”

Zahra memejamkan mata sejenak untuk bisa berfikir tenang. Keputusan ini sangat sulit. Dia tak ingin kekasihnya salah paham dan mengira kalau dirinya akan benar-benar menjalin hubungan yang serius dalam pernikahannya. Benar-benar tak ingin pernikahan palsu ini menjadi bumerang untuk hubungannya dengan sang kekasih.

Namun Zahra juga harus mengambil keputusan. Dia tahu kalau kekasihnya itu orang yang baik. Dr. Budi pradipta pasti akan mengerti dan memahaminya.

Zahra menarik nafas panjang sebelum memulai berbicara. Dia sudah bisa mengambil keputusan sekarang. Semoga saja bisa bermanfaat untuk semua pihak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Syarifa
baca lagi dan lagi tambah srru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status