Baskoro pergi untuk melamar Zahra seorang diri. Elang mau menikahi Zahra, tapi dengan memberikan syarat, dia tak mau datang melamar. Selain itu, dia juga meminta pernikahan dilaksanakan di rumahnya saja, tanpa perlu mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti saja yang datang.
Baskoro menyetujui saja keinginan putranya tanpa berpikir panjang. Yang ditakutkan kalau Elang akan berubah pikiran. Dia lalu memutuskan untuk melamar putri sahabatnya. Tak ada bingkisan atau apapun. Dia hanya membawakan uang seratus juta rupiah sebagai pengganti bingkisan.
Baskoro tiba di tujuan. Mencoba menarik nafas untuk menghilangkan rasa cemas. Memandangi rumah sederhana tapi penuh dengan cinta. Saat berada di rumah sahabatnya itu dia merasakan kehangatan dari sebuah keluarga.
Mengambil tas berwarna hitam di mana tersimpan amplop coklat yang berisi uang. Lalu menuju rumah calon menantunya. Ada rasa berdebar dalam dada, takut kalau sahabatnya itu marah dan kecewa dengan sikap putranya. Walau sudah ada pembicaraan sebelumnya, tapi tetap saja Baskoro merasa was-was.
Saat hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka hingga membuat Baskoro terkejut.
“Baskoro! Sudah dari tadi? Maaf aku tidak mendengar saat kau mengetuk pintu,” ucap Mustafa. Pria yang seumuran dengan Baskoro, tapi terlihat sepuluh tahun lebih tua. Dia ayah zahra, teman di masa putih abu-abu.
“Aku baru sampai, kok,” jawab Baskoro gugup sembari mengusap peluh yang membasahi dahinya.
“Ayo, kita masuk!” ajak Mustafa.
“Bu, ada tamu! Tolong bikin kopi dua, ya!” seru mustafa.
“Iya, Pak!” terdengar jawaban dari dalam.
“Ada apa? malam-malam begini datang ke rumah?” tanya Mustafa memulai pembicaraan.
“Begini. Ini ada hubungannya dengan apa yang pernah aku bicarakan denganmu.”
“Tentang pernikahan anak-anak kita? Anakmu menolaknya, bukan? Zahra tadi sudah cerita. Gak apa-apa. Yang penting, kami sudah punya niatan baik untuk membantumu,” jawab Mustafa. Lelaki yang sudah beruban dan jenggot tipis itu tersenyum. Pria ini sangat sabar dan mengerti apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu.
“Anakku setuju untuk menikah dengan Zahra. Tapi, maaf, dia ....” Baskoro menghentikan ucapannya. Dia terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Dikhawatirkan membuat sahabatnya tersinggung.
“Katakan saja, tidak apa-apa.”
“Dia tidak mau datang langsung untuk melamar. Jadi hanya saya saja yang ke sini untuk melamar putrimu. Untuk pernikahan, Elang juga meminta untuk dilaksanakan di rumah kami tanpa mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti saja. Bagaimana menurutmu? Aku benar-benar mohon maaf padamu, kalau ....”
“Aku mengerti, Bas,” jawab Mustafa dengan arif. Walau terasa ada yang berdenyut dalam dadanya, tapi berusaha mencoba bersikap biasa saja.
“Sungguh kau tidak tersinggung?”
‘Tidak! ini’kan hanya sementara. Dan kau harus bisa memastikan bahwa putriku satu-satunya akan tetap aman dan kau kembalikan padaku secara utuh. Kau mengerti maksudku’kan?” Mustafa menyentuh pundak sahabatnya.
“Iya. Aku janji. Sekali lagi, terimakasih, Mustafa. Tapi bagaimana caranya bilang kepada Zahra? Aku takut dia akan tersinggung.”
“Serahkan semuanya padaku.”
“Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Baskoro memeluk sahabatnya dengan mata merebak. Ada rasa haru sekaligus bahagia. Semoga saja usahanya kali ini membuahkan hasil. Jauh dalam lubuk hati, Baskoro sangat ingin membuat Elang jatuh cinta kepada Zahra. Dengan begitu Zahra akan menjadi menantu untuk selamanya dan hidup bahagia bersama anak dan cucunya kelak. Baskoro akan berusaha dengan keras supaya tujuannya tercapai.
“Loh, Mas Baskoro ternyata tamunya.” Istri Mustafa datang sembari membawa nampan dengan dua cangkir kopi hitam di atasnya.
Baskoro melepas pelukannya sembari mengusap matanya yang basah.
“Bu, tolong panggilkan Zahra. Suruh dia ke sini. Kau juga nanti duduk bersama kami. Ada yang mau aku bicarakan.”
“Baik, Pak.” Wanita berhijab itu masuk untuk memanggil putri tercinta,
Seseaat kemudian, Zahra dan ibunya duduk tak jauh dari ayahnya. Wajah gadis itu tampak murung. Dia sudah bisa menebak tujuan Baskoro datang ke rumahnya. Kalau mengingat penghinaan dari anak Baskoro, membuat jantungnya berdenyut. Sakit rasanya.
“Zahra, ibu. Pak Baskoro datang kemari dengan tujuan untuk melamar Zahra.”
“Tapi, Pak,”
‘Tunggu, Nak. Bapak belum selesai bicara.” Mustafa memotong pembicaraan putrinya. Sebagai anak yang patuh kepada orangtua, diapun terdiam dan menundukkan kepala.
“Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, pernikahanmu dan Elang hanya sampai ia berubah menjadi baik. Lama dan tidaknya itu tergantung caramu membuatnya berubah. Dan pernikahannya akan diadakan di rumah Baskoro. Hanya keluarga inti saja yang datang. Bagaimana, kamu mau Zahra? Kau juga boleh menolak kalau tidak bersedia. Bapak tidak akan memaksamu.”
Zahra membisu. Hal ini tidak mudah baginya. Pernikahan yang akan dijalani seperti berjalan di atas api. Akan sangat sulit dilalui. Apalagi merubah pria sombong itu, sangat mustahil. Apalagi dalam waktu sekejap.
Belum lagi hubungannya dengan kekasih yang sudah dijalani selama hampir sepuluh tahun. Bahkan keduanya yang mempunyai profesi sama sudah merencanakan untuk mengikat janji suci sehidup semati. Akankah semua bisa terlaksana, ataukah akan terhalang oleh pernikahan sandiwara ini.
“Apa Mas Budi bisa menerima alasan pernikahanku,’ ucapnya dalam hati.
Entahlah. Zahra tak mengerti, kenapa harus sesulit ini untuk membayar jasa kebaikan orang yang sudah membantu kehidupan keluarganya.
“Zahra, kau melamun, Nak?” istri Mustafa menyentuh bahu putrinya dengan lembut. Zahra tersentak dan terlihat gugup.
“Eh-mm, gak, Bu.”
“Katakan saja kalau ada sesuatu yang mengganjal pada pikiranmu. Kalau kau menolak, kami juga tidak akan memaksa. Begitu juga dengan Mas Baskoro. Dia juga tidak akan marah. Ya’kan Mas Bas?” tanya wanita yang memakai daster lengan panjang itu dengan lembut.
“Tidak. Aku sama sekali tidak marah. Semua keputusan ada padamu, Zahra!”
“Kau dengar sendiri, Nak. Baskoro juga tidak memaksamu. Kau boleh menolaknya kalau memang keberatan,” ucap Mustafa. Dia tahu putrinya tidak suka dengan perjodohan ini. Dan sebagai orang tua yang bijak, dia juga tak akan memaksakan kehendaknya.
“Terserah Bapak saja,” Jawab Zahra masih terus menundukkan kepala. Dia tak berani menatap wajah orang yang ada di sekelilingnya. Terlebih ayah dan ibunya. Mereka sangat tahu saat anak satu-satunya itu sedang berbohong atau tidak.
“Loh, kok terserah Bapak. Yang mau jalanin kan kamu, Sayang.”
Zahra memejamkan mata sejenak untuk bisa berfikir tenang. Keputusan ini sangat sulit. Dia tak ingin kekasihnya salah paham dan mengira kalau dirinya akan benar-benar menjalin hubungan yang serius dalam pernikahannya. Benar-benar tak ingin pernikahan palsu ini menjadi bumerang untuk hubungannya dengan sang kekasih.
Namun Zahra juga harus mengambil keputusan. Dia tahu kalau kekasihnya itu orang yang baik. Dr. Budi pradipta pasti akan mengerti dan memahaminya.
Zahra menarik nafas panjang sebelum memulai berbicara. Dia sudah bisa mengambil keputusan sekarang. Semoga saja bisa bermanfaat untuk semua pihak.
“Bismillah. Zahra mau, Pak,” jawab dokter muda itu dengan gemetar. Ada rasa ketakutan saat mengambil keputusan yang bisa berpengaruh besar kepada hidupnya. Terutama hubungannya dengan dr. Budi, pria yang sudah mengisi hatinya hampir sepuluh tahun. Apalagi dia juga belum membicarakannya dengan kekasihnya. Yang dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman nantinya. Namun keputusannya sudah bulat.“Alhamdulillah,” ucap Baskoro dengan senyum mengembang. Dia terlihat sangat bahagia. Jauh dalam hatinya, dia berharap kalau pernikahan ini bukan hanya berbatas waktu. Semoga saja hari-hari yang akan mereka lalui mampu menumbuhkan benih cinta hingga berakhir dengan kebahagiaan.“Sekali lagi terimakasih atas bantuan kalian. Untuk semuanya nanti biar aku yang urus. Kalian terima beres saja,” ucap Baskoro dengan penuh gembira.“Aku percaya padamu,” jawab Mustafa sembari menggenggam tangan sahabatnya.“Oh,ya, tunggu seb
“Ups. Sorry!” seorang pria yang berjalan mundur dan menabrak Zahra yang baru saja datang menuju ruang kerjanya. Beruntung benturan tidak terlalu keras hingga tak membuat gadis berhijab itu terjatuh.“Mas, Budi?” sapa Zahra saat mengetahui siapa yang menabrak dirinya.“Loh, Kamu, Sayang? Aku pikir siapa?” jawab Budi sembari terus menatap ke arah belakang. Hal itu jelas saja mengundang tanya dalam benak kekasihnya.“Mas Budi lihat apa?” tanya Zahra dengan penuh selidik.“Itu, ada Raisya!” jawab Budi sembari menunjuk ke arah wanita berambut panjang yang tergerai.“Raisya artis idola kamu?”“Iya!”“Ah, Masa!” Zahra tak percaya. Netra indahnya mengikuti kemana arah tatapan mata sang pujaan hati.“Oh, itu bukan Raisya. Dia dokter Vero. Pengganti dokter Fadli yang sedang melanjutkan study di luar negeri.”“Kok kamu
Budi menghentikan aktifitasnya. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan menatap lekat ke arah sang pujaan. “Kalau tak membutuhkanku untuk membantumu, kenapa kau mengajakku berbicara? Kalau kau mampu selesaikan sendiri, berarti tak ada masalah’kan?”“Ada hubungannya denganmu, Mas,” ucap Zahra dengan tercekat. Matanya merebak dan terasa panas. Sebisa mungkin dia menahan airmata yang mulai menggenang.“Kenapa kamu menangis? Apa permintaannya sangat membebanimu?” Budi terlihat cemas. Dia menghapus airmata di pipi kekasihnya.“Sangat membebani. Karena akan berpengaruh pada hubungan kita,” jawab Zahra makin terisak.“Katakan dengan jelas. Jangan membuatku bingung!” tekan Budi. Dia sangat penasaran dengan pokok pembicaraan.“Pak Baskoro mempunyai anak lelaki yang sangat sombong dan tidak punya belas kasih. Dia tidak akur dengan putranya. Dan Pak Baskoro menaruh harapan padaku untuk bis
Tiba saatnya hari yang ditunggu tiba. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hari pernikahan tiba.Zahra sudah selesai dirias. Walau sederhana tapi terlihat sangat cantik dan anggun. Kebaya warna putih serta jilbab yang senada melambangkan kesucian seorang gadis. Aura kecantikannya sangat terlihat.Zahra terus memandangi wajahnya di depan cermin. Rasanya enggan untuk bergeser dari tempat duduk di depan meja rias.Gadis itu berandai-andai tentang calon suaminya. Kalau saja Budi yang akan bersanding dengannya, dia pasti akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.Sayangnya, semua itu hanya hayalan. Kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikin. Kini Zahra harus menghadapi keputusan yang membuat masalah untuk dirinya sendiri. Hidup adalah pilihan. Dan pilihannya kali ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik untuk kehidupannya.Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar yang terkunci dan memandangi foto pria yang sudah
Zahra menuju ruangan di mana sudah ada penghulu yang menunggu disana. Bersama kedua orangtuanya menuju dua kursi yang berada di hadapan penghulu. Sungguh tiada nuansa kebahagiaan. Tak ada hiasan apapun sebagai tanda adanya pernikahan. Bahkan tak ada seorangpun tamu yang datang. Hanya penghuni rumah saja yaitu kedua orang tua Elang dan seorang lelaki yang mulai beranjak dewasa.Ada sedikit denyut dalam dada saat melihat kenyataan yang ada. Terlihat sekali keluarga ini sama sekali tak menghargai pengorbanan Zahra dan keluarganya. Bahkan sang calon mempelai pria tidak menampakkan batang hidungnya.Zahra menoleh ke arah ayah dan ibunya. Tergambar jelas guratan kecewa pada wajah keduanya.“Bapak sama ibu kecewa dengan pernikahan ini?” tanya Zahra lirih.Walau dengan cepat menghapus airmata, tetap saja Zahra melihat jejak di sana.“Tidak, Nak. Ayo!” Mustafa mencoba mengalihkan perhatian putrinya. Padahal jauh dalam lubuk hati rasa
“Elang, Kamu kenapa tidak pernah berbicara dulu dengan Mamah?” Widya berbisik lirih di telinga putranya. Dia tak ingin ada keributan antara keduanya.“Aku sudah cukup dewasa, Mah dan bisa menentukan keputusanku sendiri!”“Katakan apa yang kau inginkan?!” tanya Baskoro dengan nada tinggi.“Aku akan tetap menikahi gadis bodoh itu sekaligus juga Jesica kekasihku!”“Kau tidak hisa melakukan itu, Elang!” Baskoro meninju meja dengan kesal.“Bisa, Pah! Dan aku akan tetap melakukannya dengan ataupun tanpa persetujuanm Papah!”“Kau sudah menyalahi kesepakatan kita!”“Aku tidak menyalahi! Aku juga punya pilihan sendiri! Perempuan itu takkan mungkin bisa mendampingiku apalagi membahagiakanku! Aku juga butuh bahagia, Pah!”“Baiklah, Elang Langit Ramadan! Kau sedang mencoba bermain api denganku! Kau juga harus merasakan panasnya bara api ya
“Jangan lakukan itu, Mah!” Elang memeluk mamahnya dan berusaha melepaskan pecahan kaca di tangannya.“Biarkan Mamah mati!” Widya menjerit histeris dan terus berusaha melukai tangannya walau putra tercinta sudah mencegahnya.“Jangan bodoh, Mah! Kalau Mamah mati, papah akan bersenang-senang dengan wanita itu, sedangkan Mamah menderita!”“Mamah tidak peduli, Lang! Pokoknya Mamah mau mati saja!”“Jangan Mah! Papah tolongin Mamah, jangan diam saja!”Elang menyeru kepada papahnya. Dia tak mengerti dengan isi kepala papahnya yang tak membantu untuk mencegah niat buruk wanita yang sudah mengabdi kepadanya selama puluhan tahun.Awalnya Baskoro tak merespon. Dia tahu istrinya pasti tak serius dengan ancamannya. Namun saat melihat kesungguhannya, Baskoro langsung membantu Elang untuk menggagalkan niat buruk sang istri.“Widya! jangan lakukan itu!” Baskoro berusaha memegangi
“Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku juga akan membalas kebaikanmu.”“Saya ikhlas melakukannya, Tak mengharapkan apapun dari ibu.”‘Tapi aku tidak ingin suatu saat kau mengungkit kebaikanmu. Aku sudah putuskan akan menikahkan kamu dengan putraku!”Semua orang terkejut mendengar ucapan wanita itu. Terlukis sebuah keseriusan pada wajahnya.“Mah! Apa-apa an ini!” Elang terlihat sangat marah. Dia mendatangi mamahnya denagn kesal.“Mah ....”“Stop!” Widya mengangkat tangannya memberikan kode untuk diam.“Keputusanku sudah bulat! Aku akan menikahkan Elang denganmu untuk melindungimu dari para rentenir sampai batas waktu yang kutentukan. Maksimal tiga bulan, kalau mereka tak lagi mengejarmu, kau tak boleh menolak kalau putraku menceraikanmu. Apa kau setuju?!”“Aku yang tidak setuju, Mah!” jawab Elang sangat emosi. Lagi-l