“Bismillah. Zahra mau, Pak,” jawab dokter muda itu dengan gemetar. Ada rasa ketakutan saat mengambil keputusan yang bisa berpengaruh besar kepada hidupnya. Terutama hubungannya dengan dr. Budi, pria yang sudah mengisi hatinya hampir sepuluh tahun. Apalagi dia juga belum membicarakannya dengan kekasihnya. Yang dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman nantinya. Namun keputusannya sudah bulat.
“Alhamdulillah,” ucap Baskoro dengan senyum mengembang. Dia terlihat sangat bahagia. Jauh dalam hatinya, dia berharap kalau pernikahan ini bukan hanya berbatas waktu. Semoga saja hari-hari yang akan mereka lalui mampu menumbuhkan benih cinta hingga berakhir dengan kebahagiaan.
“Sekali lagi terimakasih atas bantuan kalian. Untuk semuanya nanti biar aku yang urus. Kalian terima beres saja,” ucap Baskoro dengan penuh gembira.
“Aku percaya padamu,” jawab Mustafa sembari menggenggam tangan sahabatnya.
“Oh,ya, tunggu sebentar.” Baskoro membuka tas dan mengambil amplop berwarna coklat, lalu memberikannya kepada Mustafa. “Terimalah ini, sebagai pengganti bingkisan yang umum dilakukan saat melamar seorang gadis.”
Mustafa tersenyum dan menolak secara halus. Dia mendorong amplop itu perlahan, “Tidak usah. Simpan saja. Kami tidak mengharapkan itu,” jawab Mustafa dengan tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Tolong, terima ini. Jangan membuatku malu. Aku sudah meminta putrimu dan berikan ini sebagai hadiah. Tolong, terimalah, Mustafa,” pinta Baskoro. Senyum pada wajahnya menghilang berganti semburat kecewa.
“Bas, insya Alloh kami melakukannya dengan ikhlas, tanpa mengharapkan hadiah apapun. Toh pernikahan ini hanya untuk sementara, supaya tak ada beban pada diri putriku jika suatu saat terjadi sesuatu. Kau mengerti maksudku’kan?”
‘Aku tidak mungkin akan mengungkit apapun yang sudah kuberikan, Mustafa.”
“Aku percaya padamu. Tapi bagaimana dengan istri dan putramu. Tidak ada yang bisa menjamin’kan. Apa mereka tahu kau akan memberikannya? Kalau mereka tidak tahu, itu akan menjadi bumerang untuk putriku kelak.”
Baskoro terdiam. Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu ada benarnya. Dan Baskoro juga mengenal betul sifat dari sahabatnya itu. Mustafa bukan orang yang senang menerima pemberian tanpa bekerja keras. Baginya pantang untuk meminta walaupun dia mengasuh puluhan anak yatim di rumahnya yang sederhana ini.
Ups, Baskoro punya ide. Dia sudah berniat untuk memberikan uang itu kepada keluarga calon menantunya. Pantang baginya untuk membawanya kembali. Dia pun berpikir untuk menyedekahkan uang tersebut.
“Mus, bagaimana kalau aku titip uang ini untuk keperluan anak asuhmu?”
Mustafa tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu Baskoro. “Kamu ini, memang pantang menyerah. Kalau memang kau mau menyedekahkan uang itu untuk anak-anak yatim, insya Alloh aku terima.”
“Terimakasih, Mus.” Keduanya kembali berpelukan erat. Setelah itu Baskoro berpamitan dan berjanji untuk memberikan kabar tentang pernikahan secepatnya.
Zahra berlalu tanpa berpamitan.
“Mau ke mana, Nak?” tanya Mustafa.
“Zahra mau ke kamar, Pak. Ngantuk,” jawabnya dan segera masuk ke dalam kamar.
Mustafa dan istrinya tahu apa yang ada dalam benak putrinya. Dulu keduanya sudah pernah memperingatkan kepada putrinya untuk tak menerima perjodohan ini. Namun dia bersikeras untuk membantu Baskoro. Mustafa dan istrinya hanya bisa mengikuti kemana langkah putrinya. Dia sudah dewasa dan bisa menentukan pilihannya sendiri.
***
Zahra melamun di dalam kamar. Dia berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Matanya sangat sulit terpejam walau waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Pikirannya terus tertuju kepada kekasihnya. Masih belum bisa menyusun kalimat yang tepat untuk menyampaikan kepada dr. Budi. Salah bicara sedikit saja, bisa menjadi masalah serius.
Bayangkan saja, ketika seseorang harus meminta ijin untuk menikah kepada kekasihnya walau hanya sementara. A pa yang akan terjadi. Sama saja menggali lubang kubur sendiri. Dr. Budi pasti takkan bisa menerima keputusannya. Mau tidak mau, dokter muda itu harus memberitahu kepada kekasihnya.
Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nama si pujaan hati. Di sana tertera kalau kekasihnya sedang online.
Terlintas dalam pikiran Zahra untuk mengatakannya saat ini juga melalui sambungan telepon. Namun rasanya kurang pantas karena ini sudah terlalu malam. Tapi tak ada salahnya juga untuk menghubunginya demi meredakan hati yang sedang galau.
Zahra memakai jilbab dengan rapih dan duduk bersandar pada ranjang. Lalu melakukan pangilan video. Tanpa menunggu lama, sang pujaan hati menerimanya.
“Assalamu’alaikum, Sayang?” sapa mesra pria berkulit putih dari seberang.
“W*’alaikum salam,” jawab Zahra dengan memalingkan wajah. Pipinya merona ketika tanpa sengaja melihat dada bidang kekasihnya yang sedang merapihkan pakaiannya.
‘Maaf, gerah banget, jadi tadi cuma pake singlet. Oh, ya, tumben telepon malam-malam. Ada apa, sayang?” tanya dokter tampan itu dengan mesra.
“Gak apa-apa. Lagi gak bisa tidur. Mas Budi lagi ngapain? Kok belum tidur juga?” tanya Zahra kembali.
“Ini lagi lihat konser Raisya di televisi, lagi nyanyiin mantan terindah, lagu favorit aku. Seolah menghayati banget. Dengerin ya, aku lagi pengin ikut nyanyi. Kamu sambil lihat di televisi, ya.” Dokter Budi mengarahkan ponselnya pada layar televisi.
Zahra menganggukkan kepala dan tersenyum. Dia sangat paham kalau kekasihnya sangat senang dengan lagu ini. Apalagi kalau Raisya yang menyanyikannya.
Mengapa engkau waktu itu putuskan cintaku.
Dan saat ini engkau selalu ingin bertemu dan mengulang jalin cinta.
Mau dikatakan apalagi. Kita tak akan pernah satu.
Engkau di sana, aku di sini meski hatiku memilihmu.
“Bagus gak suaraku?” budi kembali mengarahkan kamera kepada dirinya.
“Bagus. Jangan sering nyanyi’in itu lagi. Ganti yang lain.”
“Memang kenapa, Sayang?”
“Lagunya sih bagus. Tapi ya ... takut terjadi dengan hubungan kita.” jawab Zahra dengan merajuk manja. Entahlah rasanya ada sesuatu yang mengganjal saat mengatakan hal tersebut.
“Kamu itu lo, suka baper. Namanya lagu ya gak bakalan pengaruh sama kehidupan kita, Sayang!”
“Ya, mudah-mudahan saja,” Jawab Zahra dengan ragu.“Oh, Ya, besok kamu punya waktu gak? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!”
“Ngapain sih pake permintaan resmi segala. Kayak sama siapa aja. Kapanpun kamu mau, aku selalu siap.”
“Oke. Kalau begitu, besok aku kabari lagi. Sekarang aku mau tidur dulu.”
“Oke, selamat tidur dan mimpi indah ya, Cantik. Love you.”
“Love you too,” jawab Zahra dengan tersipu. Setiap kali lelaki itu mengucapkannya Zahra merasa malu. Bahagia seperti melayang dan terbang menuju angkasa. Indah dan menakjubkan.
“Ups. Sorry!” seorang pria yang berjalan mundur dan menabrak Zahra yang baru saja datang menuju ruang kerjanya. Beruntung benturan tidak terlalu keras hingga tak membuat gadis berhijab itu terjatuh.“Mas, Budi?” sapa Zahra saat mengetahui siapa yang menabrak dirinya.“Loh, Kamu, Sayang? Aku pikir siapa?” jawab Budi sembari terus menatap ke arah belakang. Hal itu jelas saja mengundang tanya dalam benak kekasihnya.“Mas Budi lihat apa?” tanya Zahra dengan penuh selidik.“Itu, ada Raisya!” jawab Budi sembari menunjuk ke arah wanita berambut panjang yang tergerai.“Raisya artis idola kamu?”“Iya!”“Ah, Masa!” Zahra tak percaya. Netra indahnya mengikuti kemana arah tatapan mata sang pujaan hati.“Oh, itu bukan Raisya. Dia dokter Vero. Pengganti dokter Fadli yang sedang melanjutkan study di luar negeri.”“Kok kamu
Budi menghentikan aktifitasnya. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan menatap lekat ke arah sang pujaan. “Kalau tak membutuhkanku untuk membantumu, kenapa kau mengajakku berbicara? Kalau kau mampu selesaikan sendiri, berarti tak ada masalah’kan?”“Ada hubungannya denganmu, Mas,” ucap Zahra dengan tercekat. Matanya merebak dan terasa panas. Sebisa mungkin dia menahan airmata yang mulai menggenang.“Kenapa kamu menangis? Apa permintaannya sangat membebanimu?” Budi terlihat cemas. Dia menghapus airmata di pipi kekasihnya.“Sangat membebani. Karena akan berpengaruh pada hubungan kita,” jawab Zahra makin terisak.“Katakan dengan jelas. Jangan membuatku bingung!” tekan Budi. Dia sangat penasaran dengan pokok pembicaraan.“Pak Baskoro mempunyai anak lelaki yang sangat sombong dan tidak punya belas kasih. Dia tidak akur dengan putranya. Dan Pak Baskoro menaruh harapan padaku untuk bis
Tiba saatnya hari yang ditunggu tiba. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hari pernikahan tiba.Zahra sudah selesai dirias. Walau sederhana tapi terlihat sangat cantik dan anggun. Kebaya warna putih serta jilbab yang senada melambangkan kesucian seorang gadis. Aura kecantikannya sangat terlihat.Zahra terus memandangi wajahnya di depan cermin. Rasanya enggan untuk bergeser dari tempat duduk di depan meja rias.Gadis itu berandai-andai tentang calon suaminya. Kalau saja Budi yang akan bersanding dengannya, dia pasti akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.Sayangnya, semua itu hanya hayalan. Kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikin. Kini Zahra harus menghadapi keputusan yang membuat masalah untuk dirinya sendiri. Hidup adalah pilihan. Dan pilihannya kali ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik untuk kehidupannya.Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar yang terkunci dan memandangi foto pria yang sudah
Zahra menuju ruangan di mana sudah ada penghulu yang menunggu disana. Bersama kedua orangtuanya menuju dua kursi yang berada di hadapan penghulu. Sungguh tiada nuansa kebahagiaan. Tak ada hiasan apapun sebagai tanda adanya pernikahan. Bahkan tak ada seorangpun tamu yang datang. Hanya penghuni rumah saja yaitu kedua orang tua Elang dan seorang lelaki yang mulai beranjak dewasa.Ada sedikit denyut dalam dada saat melihat kenyataan yang ada. Terlihat sekali keluarga ini sama sekali tak menghargai pengorbanan Zahra dan keluarganya. Bahkan sang calon mempelai pria tidak menampakkan batang hidungnya.Zahra menoleh ke arah ayah dan ibunya. Tergambar jelas guratan kecewa pada wajah keduanya.“Bapak sama ibu kecewa dengan pernikahan ini?” tanya Zahra lirih.Walau dengan cepat menghapus airmata, tetap saja Zahra melihat jejak di sana.“Tidak, Nak. Ayo!” Mustafa mencoba mengalihkan perhatian putrinya. Padahal jauh dalam lubuk hati rasa
“Elang, Kamu kenapa tidak pernah berbicara dulu dengan Mamah?” Widya berbisik lirih di telinga putranya. Dia tak ingin ada keributan antara keduanya.“Aku sudah cukup dewasa, Mah dan bisa menentukan keputusanku sendiri!”“Katakan apa yang kau inginkan?!” tanya Baskoro dengan nada tinggi.“Aku akan tetap menikahi gadis bodoh itu sekaligus juga Jesica kekasihku!”“Kau tidak hisa melakukan itu, Elang!” Baskoro meninju meja dengan kesal.“Bisa, Pah! Dan aku akan tetap melakukannya dengan ataupun tanpa persetujuanm Papah!”“Kau sudah menyalahi kesepakatan kita!”“Aku tidak menyalahi! Aku juga punya pilihan sendiri! Perempuan itu takkan mungkin bisa mendampingiku apalagi membahagiakanku! Aku juga butuh bahagia, Pah!”“Baiklah, Elang Langit Ramadan! Kau sedang mencoba bermain api denganku! Kau juga harus merasakan panasnya bara api ya
“Jangan lakukan itu, Mah!” Elang memeluk mamahnya dan berusaha melepaskan pecahan kaca di tangannya.“Biarkan Mamah mati!” Widya menjerit histeris dan terus berusaha melukai tangannya walau putra tercinta sudah mencegahnya.“Jangan bodoh, Mah! Kalau Mamah mati, papah akan bersenang-senang dengan wanita itu, sedangkan Mamah menderita!”“Mamah tidak peduli, Lang! Pokoknya Mamah mau mati saja!”“Jangan Mah! Papah tolongin Mamah, jangan diam saja!”Elang menyeru kepada papahnya. Dia tak mengerti dengan isi kepala papahnya yang tak membantu untuk mencegah niat buruk wanita yang sudah mengabdi kepadanya selama puluhan tahun.Awalnya Baskoro tak merespon. Dia tahu istrinya pasti tak serius dengan ancamannya. Namun saat melihat kesungguhannya, Baskoro langsung membantu Elang untuk menggagalkan niat buruk sang istri.“Widya! jangan lakukan itu!” Baskoro berusaha memegangi
“Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku juga akan membalas kebaikanmu.”“Saya ikhlas melakukannya, Tak mengharapkan apapun dari ibu.”‘Tapi aku tidak ingin suatu saat kau mengungkit kebaikanmu. Aku sudah putuskan akan menikahkan kamu dengan putraku!”Semua orang terkejut mendengar ucapan wanita itu. Terlukis sebuah keseriusan pada wajahnya.“Mah! Apa-apa an ini!” Elang terlihat sangat marah. Dia mendatangi mamahnya denagn kesal.“Mah ....”“Stop!” Widya mengangkat tangannya memberikan kode untuk diam.“Keputusanku sudah bulat! Aku akan menikahkan Elang denganmu untuk melindungimu dari para rentenir sampai batas waktu yang kutentukan. Maksimal tiga bulan, kalau mereka tak lagi mengejarmu, kau tak boleh menolak kalau putraku menceraikanmu. Apa kau setuju?!”“Aku yang tidak setuju, Mah!” jawab Elang sangat emosi. Lagi-l
“Elang, mahar apa yang sudah kau siapkan untuk calon istrimu?” tanya Baskoro kepada putranya.“Aku tak menyiapkan apapun karena pernikahan ini bukan keinginanku!” jawab Elang sembari berlalu menuju penghulu. Dia menggeser kursi dan sedikit menjauh dari wanita yang dalam beberapa menit akan menjadi istrinya. Tak ada tatapan mesra ataupun untaian senyum manis. Tatapannya menatap lurus ke arah penghulu.Zahra menundukkan kepala. Ada denyutan nyeri dari dalam dadanya. Walau dia tahu pernikahan ini tak seperti harapannya, tapi melihat perlakuan dari calon suaminya membuat sakit hati.“Bagaimana, sudah siap?” tanya pak penghulu.“Hmm,” jawab Elang singkat dan sangat tidak sopan.“Maharnya sudah dipersiapkan?” tanya pak penghulu kembali.‘Saya tidak ....”“Ini maharnya,” ucap Baskoro sembari menyerahkan seperangkat alat sholat, satu set perhiasan berlia