Share

5. MENGAMBIL KEPUTUSAN TERBERAT

“Bismillah. Zahra mau, Pak,” jawab dokter muda itu dengan gemetar. Ada rasa ketakutan saat mengambil keputusan yang bisa berpengaruh besar kepada hidupnya. Terutama hubungannya dengan dr. Budi, pria yang sudah mengisi hatinya hampir sepuluh tahun. Apalagi dia juga belum membicarakannya dengan kekasihnya. Yang dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman nantinya. Namun keputusannya sudah bulat.

“Alhamdulillah,” ucap Baskoro dengan senyum mengembang. Dia terlihat sangat bahagia. Jauh dalam hatinya, dia berharap kalau pernikahan ini bukan hanya berbatas waktu. Semoga saja hari-hari yang akan mereka lalui mampu menumbuhkan benih cinta hingga berakhir dengan kebahagiaan.

“Sekali lagi terimakasih atas bantuan kalian. Untuk semuanya nanti biar aku yang urus. Kalian terima beres saja,” ucap Baskoro dengan penuh gembira.

“Aku percaya padamu,” jawab Mustafa sembari menggenggam tangan sahabatnya.

“Oh,ya, tunggu sebentar.” Baskoro membuka tas dan mengambil amplop berwarna coklat, lalu memberikannya kepada Mustafa. “Terimalah ini, sebagai pengganti bingkisan yang umum dilakukan saat melamar seorang gadis.”

Mustafa tersenyum dan menolak secara halus. Dia mendorong amplop itu perlahan, “Tidak usah. Simpan saja. Kami tidak mengharapkan itu,” jawab Mustafa dengan tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Tolong, terima ini. Jangan membuatku malu. Aku sudah meminta putrimu dan berikan ini sebagai hadiah. Tolong, terimalah, Mustafa,” pinta Baskoro. Senyum pada wajahnya menghilang berganti semburat kecewa.

“Bas, insya Alloh kami melakukannya dengan ikhlas, tanpa mengharapkan hadiah apapun. Toh pernikahan ini hanya untuk sementara, supaya tak ada beban pada diri putriku jika suatu saat terjadi sesuatu. Kau mengerti maksudku’kan?”

‘Aku tidak mungkin akan mengungkit apapun yang sudah kuberikan, Mustafa.”

“Aku percaya padamu. Tapi bagaimana dengan istri dan putramu. Tidak ada yang bisa menjamin’kan. Apa mereka tahu kau akan memberikannya? Kalau mereka tidak tahu, itu akan menjadi bumerang untuk putriku kelak.”

Baskoro terdiam. Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu ada benarnya. Dan Baskoro juga mengenal betul sifat dari sahabatnya itu. Mustafa bukan orang yang senang menerima pemberian tanpa bekerja keras. Baginya pantang untuk meminta walaupun dia mengasuh puluhan anak yatim di rumahnya yang sederhana ini.

Ups, Baskoro punya ide. Dia sudah berniat untuk memberikan uang itu kepada keluarga calon menantunya. Pantang baginya untuk membawanya kembali. Dia pun berpikir untuk menyedekahkan uang tersebut.

“Mus, bagaimana kalau aku titip uang ini untuk keperluan anak asuhmu?”

Mustafa tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu Baskoro. “Kamu ini, memang pantang menyerah. Kalau memang kau mau menyedekahkan uang itu untuk anak-anak yatim, insya Alloh aku terima.”

“Terimakasih, Mus.” Keduanya kembali berpelukan erat. Setelah itu Baskoro berpamitan dan berjanji untuk memberikan kabar tentang pernikahan secepatnya.

Zahra berlalu tanpa berpamitan.

“Mau ke mana, Nak?” tanya Mustafa.

“Zahra mau ke kamar, Pak. Ngantuk,” jawabnya dan segera masuk ke dalam kamar.

Mustafa dan istrinya tahu apa yang ada dalam benak putrinya. Dulu keduanya sudah pernah memperingatkan kepada putrinya untuk tak menerima perjodohan ini. Namun dia bersikeras untuk membantu Baskoro. Mustafa dan istrinya hanya bisa mengikuti kemana langkah putrinya. Dia sudah dewasa dan bisa menentukan pilihannya sendiri.

***

Zahra melamun di dalam kamar. Dia berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Matanya sangat sulit terpejam walau waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

Pikirannya terus tertuju kepada kekasihnya. Masih belum bisa menyusun kalimat yang tepat untuk menyampaikan kepada dr. Budi. Salah bicara sedikit saja, bisa menjadi masalah serius.

Bayangkan saja, ketika seseorang harus meminta ijin untuk menikah kepada kekasihnya walau hanya sementara. A pa yang akan terjadi. Sama saja menggali lubang kubur sendiri. Dr. Budi pasti takkan bisa menerima keputusannya. Mau tidak mau, dokter muda itu harus memberitahu kepada kekasihnya.

Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nama si pujaan hati. Di sana tertera kalau kekasihnya sedang online.

Terlintas dalam pikiran Zahra untuk mengatakannya saat ini juga melalui sambungan telepon. Namun rasanya kurang pantas karena ini sudah terlalu malam. Tapi tak ada salahnya juga untuk menghubunginya demi meredakan hati yang sedang galau.

Zahra  memakai jilbab dengan rapih dan duduk bersandar pada ranjang. Lalu melakukan pangilan video. Tanpa menunggu lama, sang pujaan hati menerimanya.

“Assalamu’alaikum, Sayang?” sapa mesra pria berkulit putih dari seberang.

“W*’alaikum salam,” jawab Zahra dengan memalingkan wajah. Pipinya merona ketika tanpa sengaja melihat dada bidang kekasihnya yang sedang merapihkan pakaiannya.

‘Maaf, gerah banget, jadi tadi cuma pake singlet. Oh, ya, tumben telepon malam-malam. Ada apa, sayang?” tanya dokter tampan itu dengan mesra.

“Gak apa-apa. Lagi gak bisa tidur. Mas Budi lagi ngapain? Kok belum tidur juga?” tanya Zahra kembali.

“Ini lagi lihat konser Raisya di televisi, lagi nyanyiin  mantan terindah, lagu favorit aku. Seolah menghayati banget. Dengerin ya, aku lagi pengin ikut nyanyi. Kamu sambil lihat di televisi, ya.” Dokter Budi mengarahkan ponselnya pada layar televisi.

Zahra menganggukkan kepala dan tersenyum. Dia sangat paham kalau kekasihnya sangat senang dengan lagu ini. Apalagi kalau Raisya yang menyanyikannya.

Mengapa engkau waktu itu putuskan cintaku.

Dan saat ini engkau selalu ingin bertemu dan mengulang jalin cinta.

Mau dikatakan apalagi. Kita tak akan pernah satu.

Engkau di sana, aku di sini meski hatiku memilihmu.

 “Bagus gak suaraku?” budi kembali mengarahkan kamera kepada dirinya.

“Bagus. Jangan sering nyanyi’in itu lagi. Ganti yang lain.”

“Memang kenapa, Sayang?”

“Lagunya sih bagus. Tapi ya ... takut terjadi dengan hubungan kita.” jawab Zahra dengan merajuk manja. Entahlah rasanya ada sesuatu yang mengganjal saat mengatakan hal tersebut.

“Kamu itu lo, suka baper. Namanya lagu ya gak bakalan pengaruh sama kehidupan kita, Sayang!”

“Ya, mudah-mudahan saja,” Jawab Zahra dengan ragu.

“Oh, Ya, besok kamu punya waktu gak? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!”

“Ngapain sih pake permintaan resmi segala. Kayak sama siapa aja. Kapanpun kamu mau, aku selalu siap.”

“Oke. Kalau begitu, besok aku kabari lagi. Sekarang aku mau tidur dulu.”

“Oke, selamat tidur dan mimpi indah ya, Cantik. Love you.”

“Love you too,” jawab Zahra dengan tersipu. Setiap kali lelaki itu mengucapkannya Zahra merasa malu. Bahagia seperti melayang dan terbang menuju angkasa. Indah dan menakjubkan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Syarifa
aku suka ini dan ini lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status