Share

6. BERBICARA DENGAN SANG KEKASIH

“Ups. Sorry!” seorang pria yang berjalan mundur dan menabrak Zahra yang baru saja datang menuju ruang kerjanya. Beruntung benturan tidak terlalu keras hingga tak membuat gadis berhijab itu terjatuh.

“Mas, Budi?” sapa Zahra saat mengetahui siapa yang menabrak dirinya.

“Loh, Kamu, Sayang? Aku pikir siapa?” jawab Budi sembari terus menatap ke arah belakang. Hal itu jelas saja mengundang tanya dalam benak kekasihnya.

“Mas Budi lihat apa?” tanya Zahra dengan penuh selidik.

“Itu, ada Raisya!” jawab Budi sembari menunjuk ke arah wanita berambut panjang yang tergerai.

“Raisya artis idola kamu?”

“Iya!”

“Ah, Masa!” Zahra tak percaya. Netra indahnya mengikuti kemana arah tatapan mata sang pujaan hati.

“Oh, itu bukan Raisya. Dia dokter Vero. Pengganti dokter Fadli yang sedang melanjutkan study di luar negeri.”

“Kok kamu tahu? Kenapa aku bisa sampai tidak tahu sih? wah seneng dong, bisa ketemu Raisya tiap hari.” Tatapan dr.Budi tak lepas sedetikpun. Matanya tak berkedip hingga dokter baru itu menghilang dari pandangan.

“Kenapa? Naksir? Minta dikenalin?” tanya Zahra dengan sedikit kesal. Namun masih berusaha menguntai senyum walau terlihat masam.

Budi menatap sang calon istri yang terlihat manyun. “Kamu itu baperan banget sih. Gitu aja marah.”

“Bukannya baper. Aku juga bisa menjadi seperti Raisya, bukan hanya dr. Vero saja. Tapi nanti, tunggu kita resmi sebagai suami istri dulu.”

“Oh, ya? Ayo, makanya kita nikah!” jawab Budi mencoba bercanda untuk membuat kekasihnya tersenyum dan tidak ngambek. Pria itu mengedipkan sebelah matanya dengan genit.

“Dasar genit,” ucap Zahra sembari meninju lengan kekasihnya pelan.

“Ya gak apa-apa. Kan sama pacar sendiri, bukan milik orang lain.”

Zahra tersnyum. “Oh, Ya Mas. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.”

“Sekarang?” tanya Budi sembari melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan.

“Iya. Sebentar saja. Kamu punya waktu’kan?”

“Oke. Mau ngobrol di mana?”

“Kita ke kantin saja!”

“Oke!”

Keduanya berjalan beriringan menuju kantin dengan jarak yang tidak begitu jauh. Tak henti mereka membalas senyum sapa dari para pegawai rumah sakit yang bertemu. Banyak orang yang merasa iri melihat sepasang sejoli yang begitu serasi. Keduanya sama-sama dokter muda yang ramah dan sangat baik. Tak pernah membeda-bedakan pasien yang miskin atau kaya. Dan banyak pula yang ikut mendo’akan keduanya cepat naik ke pelaminan dan menjadi keluarga yang harmonis.

Tiba di kantin, mereka mengambil meja yang berada di sudut ruangan supaya lebih leluasa untuk berbicara.

“Mau minum apa, Sayang?”

“Gak usah. Aku sudah sarapan tadi.”

‘Tak ingin secangkir kopi untuk menemaniku?”

‘Tidak. Kamu saja.”

“Oke.”

Budi memesan secangkir kopi panas. Setelah itu tatapan matanya tertuju kepada kekasihnya yang terlihat gelisah. Bahkan tatapan mata Zahra juga tidak fokus.

Memang benar, Zahra sedang gelisah. Dia bahkan bingung harus memulai dari mana. Tanpa sadar tangannya memilin ujung jilbab yang menjuntai.

“Sayang. Hei, kau kenapa?” Budi menjentikkan jari ketika melihat kekasihnya seperti memikirkan sesuatu yang berat.

“Sayang,” Budi kembali memanggil sang pujaan hati. Tapi tetap saja tak ada respon darinya. Raganya berada di sini, tapi pikirannya mengembara entah kemana.

“Zahar, kamu kenapa?” Budi menyentuh jemari wanita yang sangat dicintainya. Tak menyangka dengan responnya yang terlalu berlebih. Zahra sangat terkejut oleh sentuhan jemari Budi.

“Kamu kenapa sih? dari tadi melamun. Kamu punya masalah? Atau sedang banyak pikiran. Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu.” Budi sangat mengerti tentang kekasihnya. Dia yakin sekali pasti ada sesuatu yang mengganjal pada pikirannya.

Zahra menarik nafas panjang untuk menambah oksigen dalam rongga pernapasan yang tiba-tiba saja terasa sempit. Dia tak tahu apa pria yang dicintainya akan memberi ijin dengan  keputusan yang telah di ambilnya.

Ini bukan hal yang mudah. Sebaik apapun seorang pria pasti tidak akan setuju dengan rencanaya. Namun Zahra sudah terikat janji dengan orang yang banyak membantunya. Apa jadinya kalau dia membatalkan secara sepihak. Kedua orang tuanya pasti akan merasa malu kepada Pak Baskoro.

Lalu bagaimana kebahagiaan Zahra sendiri. Sedari dulu yang ada dalam pikirannya hanya membahagiakan orang lain tanpa berfikir kebahagiaannya. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Sebagai seorang pria yang sudah mapan, dr. Budi juga sering mengutarakan keinginannya umtuk mempersunting pujaan hati. Namun gadis yang selalu hadir dalam mimpinya dan terucap dalam setiap do’a selalu mengulur waktu. Dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya membuat Budi kecewa. Namun cinta mengalahkan segalanya. Dokter tampan itu rela dengan sabar menunggu sampai kekasihnya siap membina rumah tangga bersamanya.

Zahra memejamkan mata dan membaca do’a untuk mengumpulkan keberanian. Mau tidak mau dia harus tetap mengatakan kepada kekasihnya. Zahra sudah mengambil keputusan walau belum membicarakan dengan kekasihnya. Cepat atau lambat dokter Budi harus tahu.

“Mas.”

“Iya.”

Zahra kembali terdiam dan menarik napas panjang. Tenggorokannya terasa sempit dan lidah terasa kelu. Sangat sulit untuk berbicara. Bukannya takut berbicara, hal yang paling menakutkan adalah respon dari pria yang ada di hadapan.

“Kamu tahu Pak Baskoro’kan?” bismillah, Zahra bertekad untuk tak menunda lagi.

“Tahu. Ada apa dengannya?”

“Kamu juga tahu’kan kalau aku dan keluargaku sudah banyak berhutang budi padanya. Termasuk biaya kuliah di fakultas kedokteran yang membutuhkan uang tidak sedikit. Beliau sangat berjasa dengan karierku saat ini.”

“Oke. Terus?” Budi menyeruput kopi panas yang baru saja tersaji di meja.

“Saat ini ... beliau sedang membutuhkan pertolongan?”

“Mmm ... lalu, apa yang bisa aku bantu?” tanya Budi kembali menyeruput kopi dan memeriksa ponselnya. Dia masih terlihat santai. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan Zahra. Dia terlihat makin gelisah. Degup jantungnya berpacu dengan cepat.

“Kok diam? Apa yang bisa aku bantu, Sayang?”

‘Bukan Kamu. Tapi aku!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status