“Ups. Sorry!” seorang pria yang berjalan mundur dan menabrak Zahra yang baru saja datang menuju ruang kerjanya. Beruntung benturan tidak terlalu keras hingga tak membuat gadis berhijab itu terjatuh.
“Mas, Budi?” sapa Zahra saat mengetahui siapa yang menabrak dirinya.
“Loh, Kamu, Sayang? Aku pikir siapa?” jawab Budi sembari terus menatap ke arah belakang. Hal itu jelas saja mengundang tanya dalam benak kekasihnya.
“Mas Budi lihat apa?” tanya Zahra dengan penuh selidik.
“Itu, ada Raisya!” jawab Budi sembari menunjuk ke arah wanita berambut panjang yang tergerai.
“Raisya artis idola kamu?”
“Iya!”
“Ah, Masa!” Zahra tak percaya. Netra indahnya mengikuti kemana arah tatapan mata sang pujaan hati.
“Oh, itu bukan Raisya. Dia dokter Vero. Pengganti dokter Fadli yang sedang melanjutkan study di luar negeri.”
“Kok kamu tahu? Kenapa aku bisa sampai tidak tahu sih? wah seneng dong, bisa ketemu Raisya tiap hari.” Tatapan dr.Budi tak lepas sedetikpun. Matanya tak berkedip hingga dokter baru itu menghilang dari pandangan.
“Kenapa? Naksir? Minta dikenalin?” tanya Zahra dengan sedikit kesal. Namun masih berusaha menguntai senyum walau terlihat masam.
Budi menatap sang calon istri yang terlihat manyun. “Kamu itu baperan banget sih. Gitu aja marah.”
“Bukannya baper. Aku juga bisa menjadi seperti Raisya, bukan hanya dr. Vero saja. Tapi nanti, tunggu kita resmi sebagai suami istri dulu.”
“Oh, ya? Ayo, makanya kita nikah!” jawab Budi mencoba bercanda untuk membuat kekasihnya tersenyum dan tidak ngambek. Pria itu mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
“Dasar genit,” ucap Zahra sembari meninju lengan kekasihnya pelan.
“Ya gak apa-apa. Kan sama pacar sendiri, bukan milik orang lain.”
Zahra tersnyum. “Oh, Ya Mas. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.”
“Sekarang?” tanya Budi sembari melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan.
“Iya. Sebentar saja. Kamu punya waktu’kan?”
“Oke. Mau ngobrol di mana?”
“Kita ke kantin saja!”
“Oke!”
Keduanya berjalan beriringan menuju kantin dengan jarak yang tidak begitu jauh. Tak henti mereka membalas senyum sapa dari para pegawai rumah sakit yang bertemu. Banyak orang yang merasa iri melihat sepasang sejoli yang begitu serasi. Keduanya sama-sama dokter muda yang ramah dan sangat baik. Tak pernah membeda-bedakan pasien yang miskin atau kaya. Dan banyak pula yang ikut mendo’akan keduanya cepat naik ke pelaminan dan menjadi keluarga yang harmonis.
Tiba di kantin, mereka mengambil meja yang berada di sudut ruangan supaya lebih leluasa untuk berbicara.
“Mau minum apa, Sayang?”
“Gak usah. Aku sudah sarapan tadi.”
‘Tak ingin secangkir kopi untuk menemaniku?”
‘Tidak. Kamu saja.”
“Oke.”
Budi memesan secangkir kopi panas. Setelah itu tatapan matanya tertuju kepada kekasihnya yang terlihat gelisah. Bahkan tatapan mata Zahra juga tidak fokus.
Memang benar, Zahra sedang gelisah. Dia bahkan bingung harus memulai dari mana. Tanpa sadar tangannya memilin ujung jilbab yang menjuntai.
“Sayang. Hei, kau kenapa?” Budi menjentikkan jari ketika melihat kekasihnya seperti memikirkan sesuatu yang berat.
“Sayang,” Budi kembali memanggil sang pujaan hati. Tapi tetap saja tak ada respon darinya. Raganya berada di sini, tapi pikirannya mengembara entah kemana.
“Zahar, kamu kenapa?” Budi menyentuh jemari wanita yang sangat dicintainya. Tak menyangka dengan responnya yang terlalu berlebih. Zahra sangat terkejut oleh sentuhan jemari Budi.
“Kamu kenapa sih? dari tadi melamun. Kamu punya masalah? Atau sedang banyak pikiran. Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu.” Budi sangat mengerti tentang kekasihnya. Dia yakin sekali pasti ada sesuatu yang mengganjal pada pikirannya.
Zahra menarik nafas panjang untuk menambah oksigen dalam rongga pernapasan yang tiba-tiba saja terasa sempit. Dia tak tahu apa pria yang dicintainya akan memberi ijin dengan keputusan yang telah di ambilnya.
Ini bukan hal yang mudah. Sebaik apapun seorang pria pasti tidak akan setuju dengan rencanaya. Namun Zahra sudah terikat janji dengan orang yang banyak membantunya. Apa jadinya kalau dia membatalkan secara sepihak. Kedua orang tuanya pasti akan merasa malu kepada Pak Baskoro.
Lalu bagaimana kebahagiaan Zahra sendiri. Sedari dulu yang ada dalam pikirannya hanya membahagiakan orang lain tanpa berfikir kebahagiaannya. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Sebagai seorang pria yang sudah mapan, dr. Budi juga sering mengutarakan keinginannya umtuk mempersunting pujaan hati. Namun gadis yang selalu hadir dalam mimpinya dan terucap dalam setiap do’a selalu mengulur waktu. Dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya membuat Budi kecewa. Namun cinta mengalahkan segalanya. Dokter tampan itu rela dengan sabar menunggu sampai kekasihnya siap membina rumah tangga bersamanya.
Zahra memejamkan mata dan membaca do’a untuk mengumpulkan keberanian. Mau tidak mau dia harus tetap mengatakan kepada kekasihnya. Zahra sudah mengambil keputusan walau belum membicarakan dengan kekasihnya. Cepat atau lambat dokter Budi harus tahu.
“Mas.”
“Iya.”
Zahra kembali terdiam dan menarik napas panjang. Tenggorokannya terasa sempit dan lidah terasa kelu. Sangat sulit untuk berbicara. Bukannya takut berbicara, hal yang paling menakutkan adalah respon dari pria yang ada di hadapan.
“Kamu tahu Pak Baskoro’kan?” bismillah, Zahra bertekad untuk tak menunda lagi.
“Tahu. Ada apa dengannya?”
“Kamu juga tahu’kan kalau aku dan keluargaku sudah banyak berhutang budi padanya. Termasuk biaya kuliah di fakultas kedokteran yang membutuhkan uang tidak sedikit. Beliau sangat berjasa dengan karierku saat ini.”
“Oke. Terus?” Budi menyeruput kopi panas yang baru saja tersaji di meja.
“Saat ini ... beliau sedang membutuhkan pertolongan?”
“Mmm ... lalu, apa yang bisa aku bantu?” tanya Budi kembali menyeruput kopi dan memeriksa ponselnya. Dia masih terlihat santai. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan Zahra. Dia terlihat makin gelisah. Degup jantungnya berpacu dengan cepat.
“Kok diam? Apa yang bisa aku bantu, Sayang?”
‘Bukan Kamu. Tapi aku!”
Budi menghentikan aktifitasnya. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan menatap lekat ke arah sang pujaan. “Kalau tak membutuhkanku untuk membantumu, kenapa kau mengajakku berbicara? Kalau kau mampu selesaikan sendiri, berarti tak ada masalah’kan?”“Ada hubungannya denganmu, Mas,” ucap Zahra dengan tercekat. Matanya merebak dan terasa panas. Sebisa mungkin dia menahan airmata yang mulai menggenang.“Kenapa kamu menangis? Apa permintaannya sangat membebanimu?” Budi terlihat cemas. Dia menghapus airmata di pipi kekasihnya.“Sangat membebani. Karena akan berpengaruh pada hubungan kita,” jawab Zahra makin terisak.“Katakan dengan jelas. Jangan membuatku bingung!” tekan Budi. Dia sangat penasaran dengan pokok pembicaraan.“Pak Baskoro mempunyai anak lelaki yang sangat sombong dan tidak punya belas kasih. Dia tidak akur dengan putranya. Dan Pak Baskoro menaruh harapan padaku untuk bis
Tiba saatnya hari yang ditunggu tiba. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hari pernikahan tiba.Zahra sudah selesai dirias. Walau sederhana tapi terlihat sangat cantik dan anggun. Kebaya warna putih serta jilbab yang senada melambangkan kesucian seorang gadis. Aura kecantikannya sangat terlihat.Zahra terus memandangi wajahnya di depan cermin. Rasanya enggan untuk bergeser dari tempat duduk di depan meja rias.Gadis itu berandai-andai tentang calon suaminya. Kalau saja Budi yang akan bersanding dengannya, dia pasti akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.Sayangnya, semua itu hanya hayalan. Kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikin. Kini Zahra harus menghadapi keputusan yang membuat masalah untuk dirinya sendiri. Hidup adalah pilihan. Dan pilihannya kali ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik untuk kehidupannya.Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar yang terkunci dan memandangi foto pria yang sudah
Zahra menuju ruangan di mana sudah ada penghulu yang menunggu disana. Bersama kedua orangtuanya menuju dua kursi yang berada di hadapan penghulu. Sungguh tiada nuansa kebahagiaan. Tak ada hiasan apapun sebagai tanda adanya pernikahan. Bahkan tak ada seorangpun tamu yang datang. Hanya penghuni rumah saja yaitu kedua orang tua Elang dan seorang lelaki yang mulai beranjak dewasa.Ada sedikit denyut dalam dada saat melihat kenyataan yang ada. Terlihat sekali keluarga ini sama sekali tak menghargai pengorbanan Zahra dan keluarganya. Bahkan sang calon mempelai pria tidak menampakkan batang hidungnya.Zahra menoleh ke arah ayah dan ibunya. Tergambar jelas guratan kecewa pada wajah keduanya.“Bapak sama ibu kecewa dengan pernikahan ini?” tanya Zahra lirih.Walau dengan cepat menghapus airmata, tetap saja Zahra melihat jejak di sana.“Tidak, Nak. Ayo!” Mustafa mencoba mengalihkan perhatian putrinya. Padahal jauh dalam lubuk hati rasa
“Elang, Kamu kenapa tidak pernah berbicara dulu dengan Mamah?” Widya berbisik lirih di telinga putranya. Dia tak ingin ada keributan antara keduanya.“Aku sudah cukup dewasa, Mah dan bisa menentukan keputusanku sendiri!”“Katakan apa yang kau inginkan?!” tanya Baskoro dengan nada tinggi.“Aku akan tetap menikahi gadis bodoh itu sekaligus juga Jesica kekasihku!”“Kau tidak hisa melakukan itu, Elang!” Baskoro meninju meja dengan kesal.“Bisa, Pah! Dan aku akan tetap melakukannya dengan ataupun tanpa persetujuanm Papah!”“Kau sudah menyalahi kesepakatan kita!”“Aku tidak menyalahi! Aku juga punya pilihan sendiri! Perempuan itu takkan mungkin bisa mendampingiku apalagi membahagiakanku! Aku juga butuh bahagia, Pah!”“Baiklah, Elang Langit Ramadan! Kau sedang mencoba bermain api denganku! Kau juga harus merasakan panasnya bara api ya
“Jangan lakukan itu, Mah!” Elang memeluk mamahnya dan berusaha melepaskan pecahan kaca di tangannya.“Biarkan Mamah mati!” Widya menjerit histeris dan terus berusaha melukai tangannya walau putra tercinta sudah mencegahnya.“Jangan bodoh, Mah! Kalau Mamah mati, papah akan bersenang-senang dengan wanita itu, sedangkan Mamah menderita!”“Mamah tidak peduli, Lang! Pokoknya Mamah mau mati saja!”“Jangan Mah! Papah tolongin Mamah, jangan diam saja!”Elang menyeru kepada papahnya. Dia tak mengerti dengan isi kepala papahnya yang tak membantu untuk mencegah niat buruk wanita yang sudah mengabdi kepadanya selama puluhan tahun.Awalnya Baskoro tak merespon. Dia tahu istrinya pasti tak serius dengan ancamannya. Namun saat melihat kesungguhannya, Baskoro langsung membantu Elang untuk menggagalkan niat buruk sang istri.“Widya! jangan lakukan itu!” Baskoro berusaha memegangi
“Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku juga akan membalas kebaikanmu.”“Saya ikhlas melakukannya, Tak mengharapkan apapun dari ibu.”‘Tapi aku tidak ingin suatu saat kau mengungkit kebaikanmu. Aku sudah putuskan akan menikahkan kamu dengan putraku!”Semua orang terkejut mendengar ucapan wanita itu. Terlukis sebuah keseriusan pada wajahnya.“Mah! Apa-apa an ini!” Elang terlihat sangat marah. Dia mendatangi mamahnya denagn kesal.“Mah ....”“Stop!” Widya mengangkat tangannya memberikan kode untuk diam.“Keputusanku sudah bulat! Aku akan menikahkan Elang denganmu untuk melindungimu dari para rentenir sampai batas waktu yang kutentukan. Maksimal tiga bulan, kalau mereka tak lagi mengejarmu, kau tak boleh menolak kalau putraku menceraikanmu. Apa kau setuju?!”“Aku yang tidak setuju, Mah!” jawab Elang sangat emosi. Lagi-l
“Elang, mahar apa yang sudah kau siapkan untuk calon istrimu?” tanya Baskoro kepada putranya.“Aku tak menyiapkan apapun karena pernikahan ini bukan keinginanku!” jawab Elang sembari berlalu menuju penghulu. Dia menggeser kursi dan sedikit menjauh dari wanita yang dalam beberapa menit akan menjadi istrinya. Tak ada tatapan mesra ataupun untaian senyum manis. Tatapannya menatap lurus ke arah penghulu.Zahra menundukkan kepala. Ada denyutan nyeri dari dalam dadanya. Walau dia tahu pernikahan ini tak seperti harapannya, tapi melihat perlakuan dari calon suaminya membuat sakit hati.“Bagaimana, sudah siap?” tanya pak penghulu.“Hmm,” jawab Elang singkat dan sangat tidak sopan.“Maharnya sudah dipersiapkan?” tanya pak penghulu kembali.‘Saya tidak ....”“Ini maharnya,” ucap Baskoro sembari menyerahkan seperangkat alat sholat, satu set perhiasan berlia
“Ya, Alloh. Ampuni hamba yang sudah melakukan perbuatan dosa ini. Banyak sudah yang harus kukorbankan demi membalas kebaikan Pak Baskoro. Termasuk cintaku. Aku harus rela mengulur waktu pernikahanku dengan kekasihku. Apa yang harus aku lakukan supaya segera terbebas dari semua ini.” tanya Zahra kepada dirinya sendiri melalui cermin.“Dokter Budi, sedang apa kau di sana. Apa kau merindukanku? Seandainya kaulah yang menjadi suamiku, aku pasti akan menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini. Sayangnya, suamiku bukanah dirimu.” Mata gadis cantik itu merebak. Sakit rasanya kalau mengingat tentang kekasihnya. Walau telah berjanji untuk kembali lagi kepadanya secara utuh, tapi sang pujaan hati seperti tak peduli. Zahra memaklumi karena ini tak mudah untuk dijalani. Namun Zahra akan berusaha menjaga kesuciannya.Tanpa disadari ada sepasang mata yang terus memperhatikannya. Karena terlalu larut dengan kesedihan hingga tak menyadari ada seseorang ya