Budi menghentikan aktifitasnya. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan menatap lekat ke arah sang pujaan. “Kalau tak membutuhkanku untuk membantumu, kenapa kau mengajakku berbicara? Kalau kau mampu selesaikan sendiri, berarti tak ada masalah’kan?”
“Ada hubungannya denganmu, Mas,” ucap Zahra dengan tercekat. Matanya merebak dan terasa panas. Sebisa mungkin dia menahan airmata yang mulai menggenang.
“Kenapa kamu menangis? Apa permintaannya sangat membebanimu?” Budi terlihat cemas. Dia menghapus airmata di pipi kekasihnya.
“Sangat membebani. Karena akan berpengaruh pada hubungan kita,” jawab Zahra makin terisak.
“Katakan dengan jelas. Jangan membuatku bingung!” tekan Budi. Dia sangat penasaran dengan pokok pembicaraan.
“Pak Baskoro mempunyai anak lelaki yang sangat sombong dan tidak punya belas kasih. Dia tidak akur dengan putranya. Dan Pak Baskoro menaruh harapan padaku untuk bisa mengubah anaknya menjadi lebih baik. Dan hal itu sangat membebani diriku.” Airmata dokter cantik itu makin melimpah ruah. Bahunya berguncang akibat menahan tangis yang membuat sesak di dada.
“Apa yang Pak Baskoro inginkan sebenarnya? Katakan dengan jelas!”
“Pak Baskoro ingin aku menikah dengan anaknya,” jawab Zahra dengan bibir bergetar. Jangan tanya lagi bagaimana perasaannya. Hatinya sangat terluka.
Rahang Budi mengeras dan tangannya mengepal. Tanpa di sadari tangan itu menju meja hingga membuat Zahra terkejut. Untung saja kantin belum begitu ramai hingga tak mengundang banyak mata.
“Lalu apa jawabanmu?! Apa kau menyetujuinya?” tanya Budi dengan memajukan wajahnya yang merah padam bak terbakar api amarah.
“Iya!” Zahra menganggukkan kepala.
“Jadi kau sudah menghianatiku?! Aku tak menyangka kamu matre juga! Jelas saja kau lebih memilih anak konglomerat itu daripada aku! Dasar penghianat!” Budi menggebrak meja dengan keras. Lalu pergi meninggalkan Zahra seorang diri.
“Mas, Tunggu! Aku belum selesai bicara!” Zahra berusaha memanggil kekasihnya. Namun dada pria itu masih bergejolak hingga tak menghiraukan panggilan kekasihnya.
Ingin rasanya berlari dan mengejar, tapi lutut Zahra terasa lemas. Tulang belulang serasa lepas dari raga.
Menelungkupkan badan di atas meja dan menumpahkan tangis. Airmata yang mengalir bak anak sungai memaparkan betapa sedihnya gumpalan daging yang bersarang dalam dadanya. Hati kecilnya juga menolak keputusannya. Namun dokter muda itu ingin membalas jasa kepada orang yang sudah membantunya menjadi seperti sekarang. Salahkah kalau mengambil keputusan ini. Toh semua hanya untuk sementara. Setelah tujuannya tercapai, dia juga akan kembali menjadi milik dokter Budi seutuhnya.
“Zahra, kau kenapa?” terdengar sapaan lembut seorang wanita. Zahra sangat mengenalinya. Dia mendongakan kepala dan memeluk sahabat yang seprofesi dengannya.
“Astri, aku sudah mengatakan semuanya,” jawab Zahra dengan isak tangis yang memilukan. Dia sudah pernah menceritakan semuanya kepada dr. Astri, sahabatnya. Semua masalah yang terjadi selalu dicurahkan kepada sahabatnya itu.
“Lalu, bagaimana respon dari Budi?” tanya Astri sembari mengusap-usap bahu sahabatnya. Sebenarnya tak seharusnya dia bertanya seperti itu. Melihat tangisan sahabatnya saja, sudah mengerti jawabannya.
“Dia marah dan meninggalkanku. Padahal aku belum selesai berbicara,” jawab Zahra semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sahabatnya.
Astri ikut merasakan kesedihan. Seandainya saja posisi Zahra ada padanya, dia juga takkan sanggup menjalaninya. Melonggarkan pelukan dan menghapus airmata yang menetes deras di pipi Zahra.
“Kamu yang sabar ya, aku akan coba berbicara dengan Budi.” Astri mencoba menenangkan sahabatnya.
“Tidak usah. Biar aku nanti yang berbicara lagi. Sambil menunggu emosinya mereda,” jawab Zahra dengan menghapus airmatanya. Dia mencoba untuk lebih tegar dan bersabar menghadapi kemarahan pria yang sangat didamba menjadi imamnya kelak.
“Ya sudah. Hapus airmatamu, dan cuci muka. Kau tak mau’kan pasienmu tahu kalau dokter yang mereka datangi baru saja menangis?”
“Iya.” Zahra menganggukkan kepala dan menghapus sisa airmata.
***
Zahra sudah selesai bertugas. Dia sengaja menunggu kekasihnya di parkiran mobil. Sudah hampir setengah jam menunggu, belum juga tampak batang hidungnya. Hatinya mulai gundah dan gelisah. Pikiran buruk mulai meracuninya.
Kalau sudah pulang rasanya tidak mungkin. Mobilnya masih berada di parkiran khusus karyawan. Walau banyak mobil yang serupa, tapi dia tidak mungkin salah karena hafal betul dengan nomor platnya.
“Kalau dokter mau, saya bisa mengantar,” terdengar suara yang sangat familiar.
“Terimakasih, dr. Budi. Takut merepotkan,” jawab seorang wanita dengan suara begitu lembut.
Zahra menoleh ke arah suara. Alangkah terkejutnya saat melihat siapa yang tengah bersama kekasihnya. Dokter Veronica.
Dada Zahra kembali bergemuruh. Rasa cemburu mulai menyelimuti hati yang tengah gundah gulana.
“Sedang apa mereka. Apa Mas Budi mulai menyukainya dan melupakan aku dengan begitu mudahnya? Gak-gak mungkin.” Zahra bermonolog dalam hati. Dia bergegas untuk menemui kekasihnya.
“Mas, Budi. Kok lama keluarnya? Aku sudah menunggumu cukup lama di sini,” tanya Zahra dengan wajah sedikit masam. Hatinya terasa membara melihat kedekatan keduanya.
“Dokter Zahra’kan?” tanya dr. Vero.
“Iya. Apa kabar dr. Vero?” tanya Zahra dengan canggung.
“Baik, Kalian ....” dr. Vero menatap Zahra dan Budi secara bergantian.
“Saya tunangan dr. Budi,” tanpa menunggu lama Zahra langsung menegaskan tentang statusnya. Dia tidak sabar dengan kebungkaman kekasihnya yang tak mau menjelaskan hubungan keduanya.
“Oh, I see,” senyum dokter Vero yang mengembang ditariknya kembali. Wajahnya berubah masam.
Budi hanya terdiam dan membiarkan kedua wanita itu yang berbicara.
“Mas, Budi. Aku ingin bicara denganmu, berdua saja. Bisa’kan?” Zahra berbicara dengan tegas.
“Maaf, saya duluan. Sopir saya sudah menunggu di luar. Permisi,” dr. Vero berpamitan lalu meninggalkan Zahra dan Budi yang masih mematung.
Setelah Vero pergi, Budi langsung masuk ke dalam mobil tanpa bicara sepatahkatapun. Zahrapun mengejarnya dan berhasil duduk di sampingnya.
Budi menyetir dengan sangat kasar. Bahkan tak merespon ucapan kekasihnya.
“Mas, aku tadi belum selesai bicara. Aku ...,”
“Cukup Zahra Ramadani! Aku tidak mau mendengar apapun darimu!” dengan tiba-tiba Budi menghentikan mobilnya hingga membuat Zahra hampir terbentur.
‘Tapi aku ....”
“Kau sudah mengambil keputusan! Artinya kau lebih memilih pria itu daripada aku!”
‘Tapi tidak begitu yang terjadi!”
‘Diamlah! Gantian aku yang berbicara! Selama ini, Aku sudah menyia-nyiakan waktu bersamamu dan menunggu kepastianmu! Sepuluh tahu bukan waktu yang pendek! Dengan sepenuh hati aku mencurahkan hidupku, cintaku dan waktu untuk menjagamu. Bahkan aku tidak pernah menyentuhmu secara liar seperti yang dilakukan oleh lelaki diluaran sana! Semua aku lakukan karena aku sangat mencintaimu. Aku pikir Kau adalah wanita yang tepat untuk menjadi pendampingku! Gak menyangka kalau ternyata selama bertahun-tahun aku menyiakan hidupku untuk menjaga jodohnya orang lain! Kini sia-sia semuanya!” budi sangat marah. Dia memukul kemudi dengan keras, lalu menyugar rambutnya.
‘Tapi tidak semua yang kau katakan itu benar!”
“Tunjukan padaku bagian mana yang salah?!”
“Kau tidak sia-sia sudah menjagaku, karena aku tetap akan menjatuhkan pilihan kepadamu. Aku menikah dengannya hanya berbatas waktu. Pak Baskoro menginginkan aku untuk merubah putranya, bukan untuk menjadi istri yang juga melayani selayaknya istri sungguhan! Kami tidak akan melakukan ritual sebagai suami istri yang sesungguhnya!”
‘Itu tak mungkin terjadi! seorang lelaki tak mungkin tidak menyentuh istri yang jelas-jelas sudah halal untuknya!”
“Aku akan buktikan itu padamu! Aku akan kembali dalam keadaan suci dan mempersembahkannya kepadamu jika kita menikah! Aku janji. Hanya tiga bulan saja, tidak akan lama!”
“Jangankan tiga bulan, satu jam, atau satu malam juga bisa merubah segalanya!”
“Kau bisa pegang janjiku! Aku pasti akan kembali kepadamu secara utuh!”
Budi kembali memukul kemudi, lalu turun dari mobil. Zahra mengikuti kemana arah kekasihnya melangkah.
“Jangan mengikutiku! Kau bawa saja mobilnya. Biar aku pulang naik taxi saja!”
‘Tidak perlu! Mobil itu milikmu. Biar aku saja yang naik taxi. Assalamu’alaikum.”
Zahra melangkah meninggalkan kekasihnya seorang diri. Berat rasanya untuk berpisah walau hanya sementara waktu. Namun dia berjanji dalam hati akan berusaha dengan keras untuk menuntaskan tugasnya hingga dia bisa kembali merajut tali kasih bersama kekasihnya.
Tiba saatnya hari yang ditunggu tiba. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hari pernikahan tiba.Zahra sudah selesai dirias. Walau sederhana tapi terlihat sangat cantik dan anggun. Kebaya warna putih serta jilbab yang senada melambangkan kesucian seorang gadis. Aura kecantikannya sangat terlihat.Zahra terus memandangi wajahnya di depan cermin. Rasanya enggan untuk bergeser dari tempat duduk di depan meja rias.Gadis itu berandai-andai tentang calon suaminya. Kalau saja Budi yang akan bersanding dengannya, dia pasti akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.Sayangnya, semua itu hanya hayalan. Kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikin. Kini Zahra harus menghadapi keputusan yang membuat masalah untuk dirinya sendiri. Hidup adalah pilihan. Dan pilihannya kali ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik untuk kehidupannya.Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar yang terkunci dan memandangi foto pria yang sudah
Zahra menuju ruangan di mana sudah ada penghulu yang menunggu disana. Bersama kedua orangtuanya menuju dua kursi yang berada di hadapan penghulu. Sungguh tiada nuansa kebahagiaan. Tak ada hiasan apapun sebagai tanda adanya pernikahan. Bahkan tak ada seorangpun tamu yang datang. Hanya penghuni rumah saja yaitu kedua orang tua Elang dan seorang lelaki yang mulai beranjak dewasa.Ada sedikit denyut dalam dada saat melihat kenyataan yang ada. Terlihat sekali keluarga ini sama sekali tak menghargai pengorbanan Zahra dan keluarganya. Bahkan sang calon mempelai pria tidak menampakkan batang hidungnya.Zahra menoleh ke arah ayah dan ibunya. Tergambar jelas guratan kecewa pada wajah keduanya.“Bapak sama ibu kecewa dengan pernikahan ini?” tanya Zahra lirih.Walau dengan cepat menghapus airmata, tetap saja Zahra melihat jejak di sana.“Tidak, Nak. Ayo!” Mustafa mencoba mengalihkan perhatian putrinya. Padahal jauh dalam lubuk hati rasa
“Elang, Kamu kenapa tidak pernah berbicara dulu dengan Mamah?” Widya berbisik lirih di telinga putranya. Dia tak ingin ada keributan antara keduanya.“Aku sudah cukup dewasa, Mah dan bisa menentukan keputusanku sendiri!”“Katakan apa yang kau inginkan?!” tanya Baskoro dengan nada tinggi.“Aku akan tetap menikahi gadis bodoh itu sekaligus juga Jesica kekasihku!”“Kau tidak hisa melakukan itu, Elang!” Baskoro meninju meja dengan kesal.“Bisa, Pah! Dan aku akan tetap melakukannya dengan ataupun tanpa persetujuanm Papah!”“Kau sudah menyalahi kesepakatan kita!”“Aku tidak menyalahi! Aku juga punya pilihan sendiri! Perempuan itu takkan mungkin bisa mendampingiku apalagi membahagiakanku! Aku juga butuh bahagia, Pah!”“Baiklah, Elang Langit Ramadan! Kau sedang mencoba bermain api denganku! Kau juga harus merasakan panasnya bara api ya
“Jangan lakukan itu, Mah!” Elang memeluk mamahnya dan berusaha melepaskan pecahan kaca di tangannya.“Biarkan Mamah mati!” Widya menjerit histeris dan terus berusaha melukai tangannya walau putra tercinta sudah mencegahnya.“Jangan bodoh, Mah! Kalau Mamah mati, papah akan bersenang-senang dengan wanita itu, sedangkan Mamah menderita!”“Mamah tidak peduli, Lang! Pokoknya Mamah mau mati saja!”“Jangan Mah! Papah tolongin Mamah, jangan diam saja!”Elang menyeru kepada papahnya. Dia tak mengerti dengan isi kepala papahnya yang tak membantu untuk mencegah niat buruk wanita yang sudah mengabdi kepadanya selama puluhan tahun.Awalnya Baskoro tak merespon. Dia tahu istrinya pasti tak serius dengan ancamannya. Namun saat melihat kesungguhannya, Baskoro langsung membantu Elang untuk menggagalkan niat buruk sang istri.“Widya! jangan lakukan itu!” Baskoro berusaha memegangi
“Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku juga akan membalas kebaikanmu.”“Saya ikhlas melakukannya, Tak mengharapkan apapun dari ibu.”‘Tapi aku tidak ingin suatu saat kau mengungkit kebaikanmu. Aku sudah putuskan akan menikahkan kamu dengan putraku!”Semua orang terkejut mendengar ucapan wanita itu. Terlukis sebuah keseriusan pada wajahnya.“Mah! Apa-apa an ini!” Elang terlihat sangat marah. Dia mendatangi mamahnya denagn kesal.“Mah ....”“Stop!” Widya mengangkat tangannya memberikan kode untuk diam.“Keputusanku sudah bulat! Aku akan menikahkan Elang denganmu untuk melindungimu dari para rentenir sampai batas waktu yang kutentukan. Maksimal tiga bulan, kalau mereka tak lagi mengejarmu, kau tak boleh menolak kalau putraku menceraikanmu. Apa kau setuju?!”“Aku yang tidak setuju, Mah!” jawab Elang sangat emosi. Lagi-l
“Elang, mahar apa yang sudah kau siapkan untuk calon istrimu?” tanya Baskoro kepada putranya.“Aku tak menyiapkan apapun karena pernikahan ini bukan keinginanku!” jawab Elang sembari berlalu menuju penghulu. Dia menggeser kursi dan sedikit menjauh dari wanita yang dalam beberapa menit akan menjadi istrinya. Tak ada tatapan mesra ataupun untaian senyum manis. Tatapannya menatap lurus ke arah penghulu.Zahra menundukkan kepala. Ada denyutan nyeri dari dalam dadanya. Walau dia tahu pernikahan ini tak seperti harapannya, tapi melihat perlakuan dari calon suaminya membuat sakit hati.“Bagaimana, sudah siap?” tanya pak penghulu.“Hmm,” jawab Elang singkat dan sangat tidak sopan.“Maharnya sudah dipersiapkan?” tanya pak penghulu kembali.‘Saya tidak ....”“Ini maharnya,” ucap Baskoro sembari menyerahkan seperangkat alat sholat, satu set perhiasan berlia
“Ya, Alloh. Ampuni hamba yang sudah melakukan perbuatan dosa ini. Banyak sudah yang harus kukorbankan demi membalas kebaikan Pak Baskoro. Termasuk cintaku. Aku harus rela mengulur waktu pernikahanku dengan kekasihku. Apa yang harus aku lakukan supaya segera terbebas dari semua ini.” tanya Zahra kepada dirinya sendiri melalui cermin.“Dokter Budi, sedang apa kau di sana. Apa kau merindukanku? Seandainya kaulah yang menjadi suamiku, aku pasti akan menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini. Sayangnya, suamiku bukanah dirimu.” Mata gadis cantik itu merebak. Sakit rasanya kalau mengingat tentang kekasihnya. Walau telah berjanji untuk kembali lagi kepadanya secara utuh, tapi sang pujaan hati seperti tak peduli. Zahra memaklumi karena ini tak mudah untuk dijalani. Namun Zahra akan berusaha menjaga kesuciannya.Tanpa disadari ada sepasang mata yang terus memperhatikannya. Karena terlalu larut dengan kesedihan hingga tak menyadari ada seseorang ya
Alarm berbunyi nyaring membangunkan gadis yang terus menangis hampir semalaman. Rasanya baru saja terlelap. Setelah mematikan alarm, dia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan mengambil air wudhu.Kejadian semalam seolah mimpi buruk untuknya. Baru awal saja Zahra sudah merasa tertekan. Bagaimana hidup yang akan dia jalani selanjutnya. Jangankan merubah suaminya menjadi lebih baik, untuk menjaga hati sendiri saja belum tentu dia mampu. Menghadapi manusia kepala batu seperti suaminya tidaklah mudah. Butuh tenaga dan konsentrasi yang tercurah sepenuhnya.Zahra teringat akan nasihat sang bunda supaya tetap melakukan kewajiban sebagai seorang istri apapun keadaannya. Zahra berjanji untuk mencoba menjadi istri yang baik. Semoga saja dia mampu merubah sifat suaminya meskipun sangat mustahil.Mengambil mukena lalu melaksanakan sholat dua raka’at. Dalam do’a dia meminta untuk diberikan kesabaran dalam menghadapi suaminya. Dan tak lupa pula t