Zahra masih membisu. Pertanyaan dari suaminya sangat sulit untuk dijawab.“Oke! Dengan kebisuanmu sudah cukup membuatku mengerti!” Elang hendak melangkah meninggalkan istrinya. Namun langkahnya terhenti oleh nada suara yang membuat dadanya berdenyut.“Tunggu! Aku harap kau mengerti, kalau keadaan ini terasa sulit untukku. Aku ingin kau menemaniku untuk melewati hari-hari yang tak nyaman ini!”Elang memejamkan mata untuk menetralisir perasaannya. Lalu membalikkan badan dan menatap sang istri dengan tajam.“Apa yang membuatmu tidak nyaman?”“Kau ingin aku jujur atau tidak?” tanya Zahra kembali.“Jujurlah walau itu menyakitkan!” jawab Elang sembari berusaha mengontrol emosinya.“Pertemuan tadi membuatku kembali teringat tentang masa lalu yang pernah kami jalani. Dan saat ini aku tak tahu apa aku masih mencintainya atau tidak. Tapi yang kurasakan, aku bahagia kembali bertemu dengannya. Dan aku berusaha melawan rasa suka cita ini. Tapi sangat sulit untuk mengendalikan perasaan ini. Tolong
“Apa kau kini bahagia dengan pernikahanmu?”Pertanyaan Budi membuat Zahra terkejut. “Apa ini ada hubungannya dengan pernyataan suamiku tadi?” Zahra balik bertanya kepada Budi.“Mmm aku ... aku ....” Budi terlihat gugup. Dia tak menyangka wanita di hadapan akan menanyakan apa yang membuatnya resah.“Sebenarnya, Aku juga punya pertanyaan yang sama untukmu, Mas!” Zahra berusaha mencairkan suasana yang mulai kaku.“Oh, ya? Kau atau aku dulu yang akan menjawabnya?”“Aku dulu.” Jawab Zahra sembari membuang pandangan jauh. Kini pikirannya terfokus dengan apa yang ingin diungkapkan kepada mantan kekasihnya.“Jujur, aku sangat sedih dengan pernikahanmu, Mas. Untung saja suamiku memberi kekuatan supaya aku bisa menerima kenyataan bahwa kau sudah bukan milikku. Hingga aku tak begitu lama larut dalam kesedihan.!”“Maafkan aku, Zahra!” ucap Budi lirih. Dia merasa sangat bersalah dengan keputusannya yang tanpa pemikiran panjang.“Setelah itu aku mencoba untuk mencari kebahagiaan. Setelah kau menika
“Aku bahagia dengan istriku! Sangat bahagia! Kau puas?!” Budi menjawab dengan kesal. Kemudian pergi menjauh meninggalkan Zahra seorang diri.“Kini Zahra menangis seorang diri. Ada rasa penyesalan karena sudah berbohong hingga membuat pria tampan itu tersakiti. Namun Zahra tak punya pilihan. Dia juga harus menjaga nama baik suaminya.Tiba-tiba ada seseorang yang memeluk Zahra dengan erat hingga membuat gadis itu terkejut dan memberontak.“Lepaskan aku!”“Tenanglah. Ini aku!”Saat sudah memastikan betul siapa orangnya, Zahra pun memeluknya lebih erat dan menumpahkan tangis di dadanya.“Tenanglah. Aku sudah mendengarnya. Terimakasih karena kau sudah menjaga nama baikku sebagai suami, walaupun kau harus menanggung rasa sakit.” Elang mengecup puncak kepala sang istri.“Sudahlah. Lupakan semua. Aku kesini untuk mengajakmu makan siang. Kau mau’kan?” Elang melonggarkan pelukan dan mengusap air mata di pipi istrinya.Zahra menganggukkan kepala. Dia masih syok dan hanya bisa bersandar pada san
Sementara Zahra masih terus terjaga. Walau waktu sudah menunjukkan hampir jam satu dini hari.Tiba-tiba ponsel Zahra berdering dan membuat Zahra terkejut. Dia sangat takut akan ada kabar yang sangat penting. Dengan gerakan cepat, Zahra beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponsel yang berada di atas nakas.“Astaga!” Elang terbangun karena pergerakan istrinya yang begitu cepat. Pria itu menggelengkan kepala dengan cepat.“Elang. Benar’kan ada telepon di tengah malam begini. Ini pasti mengabarkan berita buruk. Apa ada yang terjadi dengan ibu atau ayah?” Zahra bertanya kepada suaminya. Dia tak berani menerima telepon tersebut. Bahkan untuk membaca siapa yang menelpon saja dia tidak berani.“Dari siapa?” tanya Elang sembari duduk di ranjang dan mengucek matanya.“Tidak tahu. Aku tidak berani membacanya!”“Sini aku yang angkat! Tolong nyalakan lampunya!” Elang mengambil ponsel istrinya sembari memijit keningnya.“Dari dr. Rio! Kau saja yang angkat. Barangkali penting!” Elang membaca nam
Zahra mulai sadarkan diri. Sedikit demi sedikit mencoba membuka mata dan merasakan silau oleh cahaya lampu yang berpendar. Kembali memejamkan mata sembari memegang kepala yang terasa berat.“Kau sudah sadar, Sayang? Syukurlah!” Elang tersenyum dan bahagia melihat pujaan hati sudah siuman..“Apa yang terjadi? kenapa Mamah dan Papah ada di sini? kepalaku juga sakit sekali? Ssss!” Zahra mendesis menahan rasa sakit.“Tidak ada apa-apa. Kau hanya kelelahan! Sekarang istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini!” Elang membetulkan letak selimut istrinya hingga sebatas leher.Dengan terpaksa, Elang takkan memberitahu tentang keadaan Budi. Bukan berarti dia tidak peduli. Namun kesehatan dan kondisi kejiwaan sang istri lebih utama. Dia bertanggung jawab penuh atas istrinya. Sedangkan Budi punya keluarga dan saat ini mereka pasti sudah berada di sana.Zahra kembali memejamkan mata.Elang bisa bernapas lega setelah mendengar suara seperti dengkuran halus sang istri.“Elang, apa sebenarnya yang terja
Dengan berbagai pertimbangan, Zahrapun menurut dan memberikan kunci mobil kepada suaminya. Mobilpun meluncur membelah jalanan yang sudah mulai lengang.Sepanjang perjalanan, Zahra terus menangis. Elang tak tega melihatnya. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa selain hanya ikut menjaganya.***Saat tiba di rumah sakit, Zahra langsung turun dari mobil dan berlari menuju ruang IGD. Dia bahkan tak peduli dengan sang suami yang memamnggil namanya. Pikirannya sangat kacau dan hanya ingin melihat keadaan dr. Budi juga istrinya.“Suster, bagaimana keadaan dr Budi? Di sebelah mana ruangannya?” Zahra bertanya kepada salah satu perawat yang berada di ruang IGD.“Masih belum sadarkan diri, Dok. Sekarang sedang ditangani oleh dr. Femi di ruang sebelah kanan.”Tubuh Zahra lemas seketika. “Mas Budi!” Zahra berpegangan erat pada meja sembari menangis dan menyebut nama mantan kekasihnya.“Oh, Ya, Dok. Tadi dr. Rio berpesan kalau Dokter sudah datang untuk segera menemuinya!”Zahra hanya menganggukkan kep
“Kau tidak apa-apa?” Elang memeluk sang istri dengan erat. Dia sangat tidak suka melihat dua perawat tadi memperlakukan istrinya yang juga seorang dokter di sini. Walau Elang tak tahu apa yang dilakukan istrinya di dalam sana. Tapi setidaknya tidak harus dengan cara seperti itu.Zahra hanya bisa menangis dalam pelukan suaminya. Hatinya bagai tersayat saat melihat kondisi Budi yang tergeletak tak berdaya. Jika memungkinkan, rasanya ingin ikut merasakan penderitaannya.“Kau baik-baik saja?” kembali Elang bertanya kepada istrinya. Dia terlihat khawatir saat melihat istrinya menangis dan seperti sulit untuk bernapas. Dadanya naik turun begitu cepat.Zahra menengadahkan kepala. “Aku gak apa-apa. Tapi Mas Budi. Dia ....”“Aku tahu kau pasti sedih. Tapi ingat, kau seorang dokter yang sudah terbiasa dengan situasi ini.”“Tapi ini Mas Budi, Lang! Dari kondisi yang aku lihat, luka dikepalanya sangat berat. Kecil kemungkinan untuk bisa selamat. Apa kau tak mengerti juga bagaimana perasamku?!” uc
Elang membimbing sang istri untuk duduk di kursi yang berada di dekat ranjang. “Dokter Vero. Ini aku. Zahra!” Zahra merasa sangat sedih melihat kondisi dr. Vero yang lebih parah dari kondisi Budi. Tubuhnya dipasang beberapa alat kesehatan. Mulai dari oksigen, infus dan alat penunjang kesehatan lainnya.Vero berusaha membuka matanya perlahan. Hanya ekor matanya yang bisa diajak berkompromi. Untuk menoleh ke arah Zahra dia tak mampu. Rasa sakit yang merajai seluruh bagian tubuh membuatnya tak mampu bergerak. Mulutnya berusaha mengucapkan sesuatu dengan susah payah. Jemarinya juga berusaha untuk digerakkan. Namun hanya gerakan halus yang bahkan sulit dilihat. Hanya air mata yang menetes menggambarkan betapa sakit yang dia rasakan.Namun Zahra mampu menangkap isyarat dan menggenggam jemari Vero. Lalu mendekatkan telinga ke arahnya.“Mma ...af. Ma ... af.” Suara Vero terdengar lirih. Namun Zahra mampu menangkap apa yang diucapkannya.“Dokter tak perlu minta maaf. Anda tidak bersalah. Semu