Zahra mulai sadarkan diri. Sedikit demi sedikit mencoba membuka mata dan merasakan silau oleh cahaya lampu yang berpendar. Kembali memejamkan mata sembari memegang kepala yang terasa berat.“Kau sudah sadar, Sayang? Syukurlah!” Elang tersenyum dan bahagia melihat pujaan hati sudah siuman..“Apa yang terjadi? kenapa Mamah dan Papah ada di sini? kepalaku juga sakit sekali? Ssss!” Zahra mendesis menahan rasa sakit.“Tidak ada apa-apa. Kau hanya kelelahan! Sekarang istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini!” Elang membetulkan letak selimut istrinya hingga sebatas leher.Dengan terpaksa, Elang takkan memberitahu tentang keadaan Budi. Bukan berarti dia tidak peduli. Namun kesehatan dan kondisi kejiwaan sang istri lebih utama. Dia bertanggung jawab penuh atas istrinya. Sedangkan Budi punya keluarga dan saat ini mereka pasti sudah berada di sana.Zahra kembali memejamkan mata.Elang bisa bernapas lega setelah mendengar suara seperti dengkuran halus sang istri.“Elang, apa sebenarnya yang terja
Dengan berbagai pertimbangan, Zahrapun menurut dan memberikan kunci mobil kepada suaminya. Mobilpun meluncur membelah jalanan yang sudah mulai lengang.Sepanjang perjalanan, Zahra terus menangis. Elang tak tega melihatnya. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa selain hanya ikut menjaganya.***Saat tiba di rumah sakit, Zahra langsung turun dari mobil dan berlari menuju ruang IGD. Dia bahkan tak peduli dengan sang suami yang memamnggil namanya. Pikirannya sangat kacau dan hanya ingin melihat keadaan dr. Budi juga istrinya.“Suster, bagaimana keadaan dr Budi? Di sebelah mana ruangannya?” Zahra bertanya kepada salah satu perawat yang berada di ruang IGD.“Masih belum sadarkan diri, Dok. Sekarang sedang ditangani oleh dr. Femi di ruang sebelah kanan.”Tubuh Zahra lemas seketika. “Mas Budi!” Zahra berpegangan erat pada meja sembari menangis dan menyebut nama mantan kekasihnya.“Oh, Ya, Dok. Tadi dr. Rio berpesan kalau Dokter sudah datang untuk segera menemuinya!”Zahra hanya menganggukkan kep
“Kau tidak apa-apa?” Elang memeluk sang istri dengan erat. Dia sangat tidak suka melihat dua perawat tadi memperlakukan istrinya yang juga seorang dokter di sini. Walau Elang tak tahu apa yang dilakukan istrinya di dalam sana. Tapi setidaknya tidak harus dengan cara seperti itu.Zahra hanya bisa menangis dalam pelukan suaminya. Hatinya bagai tersayat saat melihat kondisi Budi yang tergeletak tak berdaya. Jika memungkinkan, rasanya ingin ikut merasakan penderitaannya.“Kau baik-baik saja?” kembali Elang bertanya kepada istrinya. Dia terlihat khawatir saat melihat istrinya menangis dan seperti sulit untuk bernapas. Dadanya naik turun begitu cepat.Zahra menengadahkan kepala. “Aku gak apa-apa. Tapi Mas Budi. Dia ....”“Aku tahu kau pasti sedih. Tapi ingat, kau seorang dokter yang sudah terbiasa dengan situasi ini.”“Tapi ini Mas Budi, Lang! Dari kondisi yang aku lihat, luka dikepalanya sangat berat. Kecil kemungkinan untuk bisa selamat. Apa kau tak mengerti juga bagaimana perasamku?!” uc
Elang membimbing sang istri untuk duduk di kursi yang berada di dekat ranjang. “Dokter Vero. Ini aku. Zahra!” Zahra merasa sangat sedih melihat kondisi dr. Vero yang lebih parah dari kondisi Budi. Tubuhnya dipasang beberapa alat kesehatan. Mulai dari oksigen, infus dan alat penunjang kesehatan lainnya.Vero berusaha membuka matanya perlahan. Hanya ekor matanya yang bisa diajak berkompromi. Untuk menoleh ke arah Zahra dia tak mampu. Rasa sakit yang merajai seluruh bagian tubuh membuatnya tak mampu bergerak. Mulutnya berusaha mengucapkan sesuatu dengan susah payah. Jemarinya juga berusaha untuk digerakkan. Namun hanya gerakan halus yang bahkan sulit dilihat. Hanya air mata yang menetes menggambarkan betapa sakit yang dia rasakan.Namun Zahra mampu menangkap isyarat dan menggenggam jemari Vero. Lalu mendekatkan telinga ke arahnya.“Mma ...af. Ma ... af.” Suara Vero terdengar lirih. Namun Zahra mampu menangkap apa yang diucapkannya.“Dokter tak perlu minta maaf. Anda tidak bersalah. Semu
“Elang, dokter Vero sudah tiada. Kasihan Mas Budi! Bagaimana kalau dia tahu istrinya sudah tiada. Dia pasti sangat sedih.” Zahra menghentikan langkahnya. Lalu menatap wajah sang suami.Elang menarik napas panjang. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman saat mendengar ucapan istrinya. Bukan berarti tak percaya kepada istrinya, tapi wanita yang dicintainya mudah sekali iba dan berani berkorban demi orang lain walaupun harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri.Elang tak mau kehilangan istrinya. Dia sangat takut kalau Zahra memutuskan untuk kembali bersama Budi.Bukan berarti Elang tak bisa terima dengan kematian Vero. Seandainya bisa mengubah takdir, Elang ingin Vero hidup dan bahagia bersama Budi. Setidaknya hal itu takkan mengancam hubungannya dengan Zahra.“Elang. Kenapa kamu diam?!” zahra menggoyangkan tangan suaminya.“Oh. Ti ... tidak!’ Elang tersentak. Lamunannya buyar seketika. “Kamu bilang apa tadi?”“Kamu dengar sendiri’kan tadi Vero berpesan apa kepadaku?” Zahra duduk di k
Zahra melihat dr. Femi yang baru saja keluar dari ruang di mana Budi di rawat. Dengan cepat Zahra menghadang jalan dr. Femi.“Dokter Femi! Maaf apa benar dr. Budi akan menjalani operasi untuk mengamuptasi kakinya?” tanya Zahra dengan bibir gemetar. Sejujurnya dia tidak siap menerima jawaban dari pertanyaannya.“Benar!” jawab dr. Femi dengan singkat.‘Tapi bagaimana mungkin. Bukankah yang terluka parah adalah bagian kepala?”“Kami sudah berhasil menangani luka pada bagian kepala. Dan operasi di bagian kaki harus dilakukan dengan kemungkinan terburuk adalah amputasi!”Jawaban dari dr. Femi membuat Zahra tak berdaya. Seolah separuh nyawanya terasa melayang.“Dokter Femi. Tolong lakukan yang terbaik dan usahakan untuk tidak mengamputasi kaki dr. Budi!” Zahra memohon kepada rekan sejawatnya.Dokter bertubuh tambun itu menarik napas panjang. Dia juga sangat mengerti dengan kekhawatiran Zahra.“Bukan saya yang akan menangani. Kita menunggu dr. Jamal yang ahli bidangnya. Dan tentunya, dr. Jam
Setelah pemakaman Vero usai, Zahra segera menuju rumah sakit ditemani oleh sang suami. Di setiap detik pikirannya terus tertuju kepada Budi. Menurut informasi yang didapat dari sang adik, Budi sudah selesai menjalani operasi. Kakinya benar-benar harus diamputasi pada batas pergelangan kaki karena terlindas mobil yang melintas. Entah bagaimana kronologis kecelakaan hingga Budi bisa berada di luar mobil. Zahrapun belum mengerti secara pasti kejadiannya.Saat tiba di rumah sakit, zahra segera berjalan menuju ruangan di mana dr. Budi di rawat. Baru saja adiknya mengabarkan sang kakak sudah sadar dan sedang menangis karena mendengar kabar kematian istrinya juga tentang keadaan kakinya. Tentu saja hal itu membuat pikiran Zahra semakin kacau sampai tak mengindahkan panggilan suaminya berkali-kali.Zahra menghentikan langkah saat tiba di depan kamar perawatan Budi. Hatinya begitu teriris saat mendengar tangisan dr. Budi yang begitu memilukan. Rasa putus asa terdengar jelas dari ratapannya.“A
“Kalaupun rumah sakit tak bisa mempekerjakanmu lagi, kita bisa wujudkan cita-cita kita yang tertunda. Yaitu membangun klinik untuk pengobatan gratis bagi orang tidak mampu. Ilmu yang kau pelajari akan tetap berguna. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia!” zahra terus berusaha mengembalikan kepercayaan diri pria yang sangat membekas dalam setiap ingatannya. Rasanya tak tahan melihatnya dalam kondisi seperti ini.“Zahra. maukah kau menemaniku melewati hari-hari yang menyulitkan ini? tolong jangan tinggalkan aku!” secara tiba-tiba Budi memeluk zahra.Tentu saja Zahra amat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh mantan kekasihnya. Zahra tak berani membalas pelukan itu. Apalagi permintaannya juga sangat memberatkan. Tak mungkin dia bisa menemani Budi sedangkan dia sendiri sudah punya suami.Zahra merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa.Sementara itu Elang baru sampai dan membuka pintu. Sejenak dia terperanjat melihat apa yang terjadi. Wajahnya yang semula ceria berubah mendung. Dia ta