“Katakan padaku dengan cara apa kau bisa membuatku percaya bahwa kau takkan menghianatiku. Kalian takkan mengulang apa yang pernah terjalin dahulu!” Ucap Elang dengan dingin.“Jadi kau mengijinkan aku?” tanya Zahra dengan wajah berseri. Lalu berdiri di samping suaminya.“Jujur. Sebagai seorang suami aku tak rela kau terus berdekatan dengan mantan kekasihmu itu. Tapi di satu sisi aku ingin mencoba percaya jika kau takkan pernah menghianati cinta kita.”“Elang. Aku sangat mencintaimu. Bagiku Mas Budi adalah masa lalu. Dan saat bersamanya, aku tak merasakan lagi getaran seperti yang aku rasakan dulu. Itu artinya aku sudah tak mencintainya. Aku hanya mencoba peduli kepadanya. Itu saja.”“Baiklah. Mulai kapan. Dan bagaimana kau mengatur waktu. Jangan lupa, kau juga harus membagi waktumu untukku. Itu yang paling penting.”“Sepulang bekerja aku akan ke rumah Mas Budi. Dan saat kau pulang ke rumah, aku pastikan aku sudah berada di rumah dan mempersiapkan segala keperluanmu.”“Oke. Aku pegang
Tatapan Budi menerawang jauh. Dia mencoba untuk mengingat kejadian naas yang menimpanya hingga merenggut nyawa sang istri tercinta.“Kalau kau tak siap untuk bercerita, lebih baik tidak usah. Namun kalau Kau ingin berbagi denganku, aku siap mendengarkannya,” ucap Zahra dengan lembut. Gadis itu dengan tulus ingin membantu memulihkan trauma pada diri sang mantan.“Aku akan cerita. Waktu itu, kami bertengkar sangat hebat di dalam mobil. Penyebabnya sangatsangat sepele.”“Kalau boleh aku tahu karena apa?”“Karena dirimu.” Budi menatap wajah Zahra dengan serius.“Aku?!” Zahra menunjuk ke wajahnya sendiri sembari mengerutkan kening. Jawaban Budi membuatnya makin penasaran.“Iya. Saat itu tanpa sengaja, Vero melihat foto kita berdua pada profil di ponselku. Dan Vero sangat marah dan cemburu.”Zahra terlihat tidak nyaman. Dia tak menyangka jika penyebab terjadinya kecelakaan adalah dirinya.“Tapi ini bukan salahmu.” Budi melihat wajah Zahra yang berubah.“Kenapa kau tak menggantinya dengan fo
“Tapi kau sering mengeluh sakit di bagian yang sama pada kepalamu yang terbentur. Aku takut ada yang serius di kepalamu. Kau harus diperiksa secara intensif, Mas!”“Tidak! tolonglah, antar aku pulang secepatnya! Aku sudah tidak tahan lagi. Aww!!” Budi kembali memegangi kepalanya. Wajahnya terlihat sangat pucat. Keringat dingin mengucur deras.“Baiklah!”Zahra mendorong kursi roda dengan sangat cepat.Sepanjang perjalanan, Budi selalu memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit dan tak tertahankan.Tentu saja hal itu membuat Zahra semakin panik. Dia terus saja kepikiran tentang keadaan Budi. Sebagai seorang dokter, dia tahu betul ada yang serius dengan luka yang ada di kepala dr. Budi. Namun sayangnya, Budi tak bersedia untuk kembali diperiksa di rumah sakit. Dan tentu saja hal itu sangat menggangu pikirannya.***Budi sudah kembali tenang setelah diberi obat pereda rasa nyeri. Kini pria itu tertidur dengan pulas.Zahra melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya. Waktu sud
Zahra sangat sibuk mengurus Budi, hingga terlupa janji kepada suaminya untuk bisa membagi waktu. Dia sangat cemas melihat kondisi Budi dengan suhu badan yang hampir mencapai 4O derajat celcius. Apalagi disertai muntah dan juga kejang. Tentu saja hal ini membuat Zahra semakin panik.Sementara, Elang mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali dia berdiri di balkon untuk memastikan apakah sang istri sudah pulang atau belum.Berkali-kali menelpon tapi tak ada jawaban. Jelas saja hal itu membuat Elang gelisah. Berbagai pikiran buruk berkecamuk pada kepalanya.“Kenapa sampai selarut ini Zahra belum pulang juga? Apakah terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Atau justru mereka berdua sedang asik memadu kasih?” Elang tersulut oleh pikirannya sendiri, hingga membanting ponsel pada ranjang.“Aahh!” pria itu menghempaskan tubuh di atas ranjang sembari meremas rambutnya.“Sudah hampir jam dua belas malam, tapi belum juga terlihat batang hidungnya! Apa ini artinya!” Elang bangkit dan mengambil ponsl yang
Namun Elang yang sudah terlanjur marah tak mampu mengendalikan emosinya.“Kau di mana sekarang? Apa sedang di kamar bersama Budi?!” tanya Elang dengan kesal. Suaranya mulai meninggi.“Astaghfirulloh hal’adzim, Elang. Kenapa kau bicara seperti itu?!”“Lalu kenapa kau tak mengangkat panggilanku yang berkali-kali?! Apa karena kau terlalu sibuk sehingga lupa akan suamimu ini?!” suara Elang kian meninggi. Dia tak peduli jika suaranya membangunkan seisi rumah.“Elang. Sekali lagi aku minta maaf atas kesalahanku. Aku mohon mengertilah dengan posisiku sekarang ini.”“Kapan aku tak mengerti dirimu?! Kapan?! Justru seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu!” Elang semakin emosi. Tak ada sedikitpun kelembutan dalam setiap kalimatnya.“Sekali lagi aku minta maaf, Elang. Aku tak ada waktu untuk meladeni ucapanmu. Kau sedang terbalut emosi, hingga tak bisa berbicara dengan akal sehatmu. Aku hanya mau minta ijin untuk malam ini tak pulang ke rumah. Aku sedang ... ““Apa kau bilang?! Tak pula
Zahra menelpon suaminya berkali-kali. Namun tak ada jawaban. Hatinya sangat gelisah dan khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya yang sedang emosi. Zahra tak tahu harus berbuat apalagi selain menunggu kabar dari papah mertuanya.Sementara itu, Elang sudah tiba di depan rumah budi dan memencet bel dengan kasar dan berkali-kali.“Keluar kamu, Budi! Hadapi aku!” teriak Elang sambil tak henti memencet bel yang berada di pintu gerbang. Hatinya sedang memanas hingga tak berpikir lagi tentang etika dan rasa malu.“Budi! Budi! Keluarlah! Jangan cuma beraninya nidurin istri orang! Apa kau tak malu dengan profesimu?!” Elang terus berteriak seperti orang yang sudah kehilangan akal.“Cukup Elang! Berhentilah!” Baskoro tergopoh turun dari mobil dan berlari ke arah putranya. Usianya yang sudah menua tak lagi mampu berlari dengan kencang. Walau sedikit terlambat, tapi setidaknya sang putra belum sampai membangunkan penghuni kompleks perumahan.“Papah! Siapa yang menyuruh papah mengikutiku?! Aku tida
“Ba-baik, Pah!” Zahra mengarahkan ponsel pada bagian gedung rumah sakit. Setelah merasa cukup, Zahrapun kembali mengarahkan ponsel kepada dirinya.“Pah! Bisa aku bicara dengan Elang?” tanya Zahra.“Bisa, Nak.” Baskoro memberikan ponsel kepada putranya.Namun dengan tiba-tiba, Elang mematikan sambungan telepon. Dia tak ingin berbicara leat telpon dengan istrinya. Dia ingin bertemu secara langsung.“Kenapa kau mematikan telpon?”“Papah turunlah! Biar aku yang membawa mobilnya!”Elang turun dan tanpa banyak bicara. Kemudian memaksa papahnya turun dan duduk di samping kemudi.Masih dalam keadaan emosi, Elang memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Dia bahkan tak mematuhi rambu-rambu lalu lintas.Baskoro merasa sangat takut. Berkali-kali meminta Elang untuk menghentikan mobil, tapi tak diindahkan oleh sang putra. Baskoro hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan putranya.***Ternyata Elang menuju rumah sakit. Dengan cepat dia memarkirkan kendaraan dan melangkah tergesa menuju ruang inform
“Kau tanya pada dirimu sendiri apakah yang kau lakukan itu pantas?! Apakah benar memberi perhatian itu harus dengan tidak pulang, seolah hanya kau saja yang sanggup merawat Budi. Padahal sudah jelas bukan kau yang menangani saat Budi kecelakaan. Atau mungkin kau sudah tersesat dan lupa jalan pulang?!”Zahra menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat menyesali perbuatannya. Apalagi saat sang suami membuka matanya dengan pertanyaan yang begitu memojokkan.“Kenapa diam? Jawablah. Aku memberikan waktu kepadamu untuk menjawab sekarang!” Elang mendekatkan wajahnya ke arah sang istri. Sorot matanya sangat tajam. Dia bahkan tak merasa iba saat sang istri berurai air mata.“Jawab!!”Zahra tersentak dan ketakutan saat pria itu membentaknya. Sama sekali tak ada kelembutan seperti Elang yang dia kenal.“A-aku minta maaf. Aku yang salah.”“Bukan jawaban itu yang aku inginkan! Alasan utama yang membuatmu ingin selalu bersama Budi setiap saat!”“Elang. Demi Tuhan, aku hanya ingin merawatnya saja. Tida