Zahra menelpon suaminya berkali-kali. Namun tak ada jawaban. Hatinya sangat gelisah dan khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya yang sedang emosi. Zahra tak tahu harus berbuat apalagi selain menunggu kabar dari papah mertuanya.Sementara itu, Elang sudah tiba di depan rumah budi dan memencet bel dengan kasar dan berkali-kali.“Keluar kamu, Budi! Hadapi aku!” teriak Elang sambil tak henti memencet bel yang berada di pintu gerbang. Hatinya sedang memanas hingga tak berpikir lagi tentang etika dan rasa malu.“Budi! Budi! Keluarlah! Jangan cuma beraninya nidurin istri orang! Apa kau tak malu dengan profesimu?!” Elang terus berteriak seperti orang yang sudah kehilangan akal.“Cukup Elang! Berhentilah!” Baskoro tergopoh turun dari mobil dan berlari ke arah putranya. Usianya yang sudah menua tak lagi mampu berlari dengan kencang. Walau sedikit terlambat, tapi setidaknya sang putra belum sampai membangunkan penghuni kompleks perumahan.“Papah! Siapa yang menyuruh papah mengikutiku?! Aku tida
“Ba-baik, Pah!” Zahra mengarahkan ponsel pada bagian gedung rumah sakit. Setelah merasa cukup, Zahrapun kembali mengarahkan ponsel kepada dirinya.“Pah! Bisa aku bicara dengan Elang?” tanya Zahra.“Bisa, Nak.” Baskoro memberikan ponsel kepada putranya.Namun dengan tiba-tiba, Elang mematikan sambungan telepon. Dia tak ingin berbicara leat telpon dengan istrinya. Dia ingin bertemu secara langsung.“Kenapa kau mematikan telpon?”“Papah turunlah! Biar aku yang membawa mobilnya!”Elang turun dan tanpa banyak bicara. Kemudian memaksa papahnya turun dan duduk di samping kemudi.Masih dalam keadaan emosi, Elang memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Dia bahkan tak mematuhi rambu-rambu lalu lintas.Baskoro merasa sangat takut. Berkali-kali meminta Elang untuk menghentikan mobil, tapi tak diindahkan oleh sang putra. Baskoro hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan putranya.***Ternyata Elang menuju rumah sakit. Dengan cepat dia memarkirkan kendaraan dan melangkah tergesa menuju ruang inform
“Kau tanya pada dirimu sendiri apakah yang kau lakukan itu pantas?! Apakah benar memberi perhatian itu harus dengan tidak pulang, seolah hanya kau saja yang sanggup merawat Budi. Padahal sudah jelas bukan kau yang menangani saat Budi kecelakaan. Atau mungkin kau sudah tersesat dan lupa jalan pulang?!”Zahra menangis tersedu-sedu. Dia merasa sangat menyesali perbuatannya. Apalagi saat sang suami membuka matanya dengan pertanyaan yang begitu memojokkan.“Kenapa diam? Jawablah. Aku memberikan waktu kepadamu untuk menjawab sekarang!” Elang mendekatkan wajahnya ke arah sang istri. Sorot matanya sangat tajam. Dia bahkan tak merasa iba saat sang istri berurai air mata.“Jawab!!”Zahra tersentak dan ketakutan saat pria itu membentaknya. Sama sekali tak ada kelembutan seperti Elang yang dia kenal.“A-aku minta maaf. Aku yang salah.”“Bukan jawaban itu yang aku inginkan! Alasan utama yang membuatmu ingin selalu bersama Budi setiap saat!”“Elang. Demi Tuhan, aku hanya ingin merawatnya saja. Tida
“Kau mau apa, Nak?” tanya Baskoro sembari melihat ke arah gedung berlantai tiga.“Papah pulanglah. Tinggalkan aku!” ucap Elang dengan santai.“Kau mau minum?”“Bukan hanya itu. Aku juga akan bersenang-senag dengan wanita. Elang yang dulu sudah kembali Papah. Dia takkan lemah dan kalah oleh seorang wanita!” Elang menatap jauh ke depan. Dia sendiri tak tahu apa yang dilakukannya kali ini benar. Namun dia hanya ingin membalas rasa sakit hati kepada istrinya.“Itu namanya kau pengecut! Kau sudah kalah dari seorang wanita!”“Apa maksud papah?!” Elang menatap wajah papahnya dengan tajam. Dia tidak terima ketika papahnya berkata demikian.“Kau tanya pada dirimu sendiri, apa mungkin istrimu itu berzina dengan pria yang sedang tidak berdaya. Sedangkan kau akan membalas dengan perbuatan yang menjijikkan. Kau sekarang hanya sedang emosi sesaat. Saat emosimu sudah reda, kau pasti akan menyesal karena istrimu akan benar-benar meninggalkanmu! Camkan kata-kata papah!”“Aku tidak peduli, Pah! Kalau d
BAB 149 ELANG MINUM ALKOHOL“Kau sudah pulang?” tanya Baskoro dengan gugup.“Iya, Pah. Kenapa Papah belum tidur?” Zahra mengulang kembali pertanyaan.“Sebenarnya, mmm ....” Baskoro menggosok-gosokkan telapak tangannya sebagai tanda kegelisahannya. Dia tak mau menantu kesayangan tahu kalau suaminya sedang minum minuman beralkohol.Zahra menangkap isyarat kegelisahan sang mertua.“Mungkinkah penyebabnya Elang. Karena tatapan mata papah fokus ke arah kamar.” Zahra bermonolog dalam hati.“Kalau masalah Elang, Papah tidak usah kawatir. Saya akan meminta maaf dengan tulus. Dan Elang pasti akan memaafkan saya. Sekarang Papah istiahat saja. Permisi!” Zahra tersenyum dan berlalu meninggalkan papah mertuanya.“Tunggu Zahra! Zahra!” Baskoro berusaha menghentikan langkah sang menantu. Namun Zahra hanya tersenyum sembari melambaikan tangan. Dia tak tahu kalau suaminya sedang tidak baik-baik saja.Baskoro menepuk keningnya. Dia hanya bisa pasrah dan akan tetap menunggu sampai kamar itu menjadi gel
“Beraninya kau melakukan itu! Apa aku harus memukulmu supaya kau tahu bahwa yang kau lakukan itu salah besar!” Tangan Elang sudah terangkat di udara siap untuk menampar sang istri. Emosi yang meluap sekaligus pengaruh alkohol membuatnya tak lagi punya belas kasih.“Lebih baik kau menyakiti fisikku dari pada aku melihatmu menyakiti dirimu sendiri! Aku tidak rela jika kau menderita karena diriku!”“Elang. Hentikan!” teriak Baskoro. Saat mendengar gelas yang pecah perasaannya tak karuan. Dia yakin telah terjadi sesuatu di dalam kamar.Benar saja dia melihat sang putra sudah siap untuk melayangkan tangan ke arah istrinya. Dengan sigap Baskoro memegangi tangan putranya.“Pah! Biarkan aku memberi pelajaran kepada wanita ini!” Elang meronta dan berusaha melepaskan tangannya. Mata Elang menatap sang istri dengan tidak bersahabat.“Siapa yang mengajarimu untuk main kasar kepada istrimu?! Papah saja tak pernah sekalipun memukul mamahmu! Kalau kau berani memukul istrimu, itu sama artinya kau men
“Lebih dari tiga puluh tahun papah menikah dengan mamahmu, belum pernah sekalipun papah memukul istri papah. Itu karena wanita atau seorang istri sangat mulia dan butuh perlindungan. Bukan untuk disakiti. Bahkan orang tua istrimu yang memberi makan dan juga membiayai kebutuhan semenjak bayi hingga sebesar ini juga belum pernah menamparnya. Tapi kau yang baru beberapa bulan saja memberi dia makan sudah berani menamparnya! Papah kecewa sama kamu!”Elang terdiam dan menundukkan kepala. Dia benar-benar menyesali perbuatannya.“Gunakan otakmu untuk berpikir bahwa pengabdian yang sudah dilakukan oleh seorang istri itu tak sebanding dengan yang kita lakukan sebagai seorang suami! Kalau kita pulang bekerja cape, langsung bisa beristirahat. Tapi tidak begitu dengan seorang istri. Mereka bangun lebih pagi dan tidur lebih malam dari kita. Apalagi bagi wanita pekerja seperti istrimu itu lebih lelah lagi!” Baskoro menumpahkan kekesalan kepada putranya.“Ada apa sih sudah malam begini masih ribut?”
BAB 152 elang menghukum dirinya sendiri.Widya keluar dari kamar mandi untuk mengambil sikat gigi baru yang ada di lemari khusus untuk menyimpan peralatan mandi yang masih baru.Seorang ibu selalu memperlakukan putranya dengan baik walau tahu sang pangeran telah melakukan kesalahan besar. Namun hati nurani seorang ibu tak bisa membencinya apa lagi membalas perbuatan yang telah dilakukan.Elang melihat wajahnya di depan cermin yang berada di dinding. Dia merasa dirinya penuh dosa. Karena kebodohan, tangan yang seharusnya digunakan untuk membelai sang istri malah sebaliknya dia gunakan untuk menamparnya.Dia marah dan kesal kepada dirinya sendiri yang sudah membuat seorang wanita mulia menjadi sasaran amarahnya. Pria itu memutuskan untuk menghukum tangan itu dengan caranya sendiri.Tiba-tiba saja, Elang meninju cermin menggunakan tangan yang duganakan untuk menampar sang istri hingga hancur berkeping-keping.“Elang! Apa yang kau lakukan?!” Widya sangat terkejut melihat apa yang dilakuka