BAB 152 elang menghukum dirinya sendiri.Widya keluar dari kamar mandi untuk mengambil sikat gigi baru yang ada di lemari khusus untuk menyimpan peralatan mandi yang masih baru.Seorang ibu selalu memperlakukan putranya dengan baik walau tahu sang pangeran telah melakukan kesalahan besar. Namun hati nurani seorang ibu tak bisa membencinya apa lagi membalas perbuatan yang telah dilakukan.Elang melihat wajahnya di depan cermin yang berada di dinding. Dia merasa dirinya penuh dosa. Karena kebodohan, tangan yang seharusnya digunakan untuk membelai sang istri malah sebaliknya dia gunakan untuk menamparnya.Dia marah dan kesal kepada dirinya sendiri yang sudah membuat seorang wanita mulia menjadi sasaran amarahnya. Pria itu memutuskan untuk menghukum tangan itu dengan caranya sendiri.Tiba-tiba saja, Elang meninju cermin menggunakan tangan yang duganakan untuk menampar sang istri hingga hancur berkeping-keping.“Elang! Apa yang kau lakukan?!” Widya sangat terkejut melihat apa yang dilakuka
Menjelang pagi, Elang masuk ke dalam kamar dan tanpa berbicara sepatah katapun.Zahra yang sedang berdandan di depan cermin terlihat bahagia melihat pria yang dicintainya datang. Matanya berbinar ceria.“Elang. Apa kau sudah lebih baik?” tanya Zahra sembari tersenyum.Namun dia begitu kecewa karena tak mendapat respon dari suami yang sangat dicinta. Lelakinya tak menatap ke arahnya sama sekali. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk mebersihkan badan.Lagi-lagi Zahra hanya bisa menangis di depan pintu kamar mandi.“Sampai kapan kau menghukumku seperti ini, Elang?” Zahra berbicara dengan lirih. Hatinya begitu sakit saat sang suami tak mau lagi menyapanya.Sekuat tenaga dia berusaha untuk kuat. Terus meratap takkan mengubah keadaan. Gadis cantik itu segera menghapus air mata dan lebih memilih untuk mempersiapkan keperluan suaminya untuk bekerja.Zahra membuka lemari pakaian untuk mengambil setelan jas berwarna hitam favorit dari sang suami. Kemudian meletakkan di atas ranjang bes
“Astaghfirulloh hal’adzim. Bisanya kau berpikiran seburuk itu kepadaku?! Kau pikir aku ini wanita jalang, begitu?!” Zahra tak mampu menyembunyikan sakit hatinya. Rasanya bagai ribuan pisau yang menusuk hatinya. Sakit tak tertahankan.“Iya! Kau memang jalang! Aku tak sudi menyentuh tubuhmu yang telah ternoda!” Elang mendorong tubuh istrinya dengan kesal. Pikiran buruk kembali mempengaruhi emosinya.“Jadi kau sudah menuduhku berzina?!” ucap Zahra dengan nada tinggi. Air mata terus mengalir bagai arus sungai yang deras.“Iya!”“Kau sudah memfitnahku! Dan aku tidak terima itu!” jawab Zahra dengan nada yang mulai meninggi. Dia terlihat sangat emosional.“Lalu apa maumu?!” tanya Elang dengan melipat tangan di depan dada.“Kau tahu’kan tuduhan ini tidak main-main?! Kau harus punya minimal dua orang saksi atas tuduhanmu yang tak main-main!”“Sangat mudah bagiku untuk membuktikannya! Karena ada banyak orang di sana yang mau menjadi saksi!” jawab Elang dengan lantang.“Di sana mana?! Kau hanya
BAB 155 PENYESALAN ELANG“Zahra! kau mau ke mana, Nak?!” baskoro berteriak memanggil menantunya yang sedang berlari sembari menangis. Namun sang menantu tak mengindahkan panggilan dari papah mertuanya. Dia terus berlari membawa hatinya yang lara.“Ada apa lagi sih!” Baskoro meletakkan sendok di piring. Selera makannya rusak gara-gara melihat drama pagi ini.“Lebih baik papah kejar Zahra. Biar mamah yang menemui Elang.” Ujar Widya dengan cemas. Dia pun mengurungkan niatnya untuk menikmati hidangan pagi yang sudah tersaji di meja makan.“Baiklah!” Baskoro melangkah dengan cepat menuju pintu keluar.Tepat pada saat itu Zahra terlihat masuk ke dalam mobil miliknya dan siap untuk mengemudikan kendaraan. Biasanya dia pergi dengan jasa sopir pribadi. Kini sang sopir hanya berdiri dan menatapnya penuh tanda tanya.“Anto! Jangan biarkan Zahra pergi! Aku ingin bicara dengannya sebentar!” teriak Baskoro sembari memegangi dadanya yang terasa agak sesak. Terpaksa berhenti sejenak supaya napasnya t
Sementara Widya dan Baskoro saling pandang. Keduanya penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka berdua tak menemukan jawaban karena Elang dan Zahra sama-sama bungkam. Tak ada satupun yang mau bercerita.“Aku tahu aku salah. Hukumlah aku, tapi jangan pernah pergi dariku. Aku mohon!” Wajah Elang terlihat memelas. Dia mencoba menyentuh tangan istrinya.Namun Zahra menepisnya dengan kasar.“Menjauhlah! Aku tunggu kau mengumpulkan bukti-bukti dan kita akan bertemu di pengadilan!”“Sayang. Tolong cabut kata-katamu. Aku tak mau berpisah darimu. Kau tahu’kan aku tak mungkin mampu mengumpulkan bukti itu!” Elang menatap wajah sang istri yang menyimpan beribu kekesalan. Tatapan matanya tampak tidak bersahabat.“Kalau begitu, beralih pada pilihan kedua, yaitu aku yang akan menceraikanmu!” Zahra menatap lurus ke depan. Dia mencoba menegarkan hati yang telihat rapuh saat sang suami sudah menyesali perbuatannya.Namun saat kembali terlntas bagaimana tuduhan keji itu ditujaukan kepadanya, kembali memb
Elang mengulurkan tangan dan membuka pintu mobil dari dalam. Kemudian memaksa sang istri keluar dan membawanya duduk di samping kemudi. Pria itu tak peduli dengan istrinya yang terus mengomel. Dengan sigap, dia mengambil alih kemudi dan mobilpun melaju dengan cepat.Sepanjang perjalanan tak ada sepatah katapun terucap. Hanya isak tangis sang istri yang terdengar.Semenara, Zahra tak mau menatap wajah suaminya. Hatinya masih teramat sakit.Sesekali Elang melirik ke arah istri tercinta. Sebenarnya ingin sekali merengkuh tubuh sang istri. Namun Dia tak berani melakukannya. Hanya bisa menarik napas dengan berat dan menyesali kebodohannya.“Kita ke rumah sakit’kan?” tanya Elang memecah kesunyian.“Tidak! berhentilah di sini dan kau turun saja!” jawab Zahra dengan ketus.“Bukankah kau harus bekerja?” tanya Elang dengan seirus.“Bagaimana aku bisa bekerja dengan keadaan seperti ini!”“Oke. Lalu kau mau kemana?”“Aku bilang stop di sini! aku akan pulang ke rumah ayah!”Elang terkejut mendenga
“Bu. Tolong turuti perintahku dan bawa Zahra masuk!”“Baiklah. Ayo, Nak. Kita masuk!”Zahra menurut saat sang bunda membawanya masuk ke dalam rumah.“Ada apa sebenarnya?” tanya Mustafa setelah menyuruh besan dan menantunya duduk di bangku yang berada di teras.“Sebenarnya ....”“Biar papah saja yang bicara, Lang!’ Baskoro memutus pembicaraan putranya. Dia tak ingin ada kesalahpahamna jika putranya yang menyampaikan kepada Mustafa.“Baiklah, Pah!”Baskoro mulai menceritakan dengan detail setiap kejadian dengan jelas. Tak ada satupun yang terlewat. Mulai dari keadaan Budi setelah kecelakaan dan rasa bersalah Zahra hingga ingin merawat Budi hingga kecemburuan Elang yang berakibat tuduhan yang tak beralasan.Mustafa mengerutkan kening setelah mendengar semuanya. Pantas saja putrinya pulang dalam keadaan menangis. Jelas saja hatinya pasti terluka.“Bagaimana menurut kamu, Mus?” tanya Baskoro kepada besannya yang terlihat terdiam dengan tatapan mata yang tidak fokus.“Entahlah. Aku sendiri
Mustafa masuk ke dalam rumah sembari menutup pintu dengan kasar. Amarahnya benar-benar memuncak. Pria sabar itu tak pernah semarah ini. Namun ketika mendengar putri satu-satunya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang disakiti oleh menantunya, dia tak bisa menahan amarahnya.“Sabar, Yah!” istri tercinta mengusap-usap dada sang suami untuk meredakan amarahnya.“Bagaimana aku bisa sabar. Seenaknya saja Elang memukul putri kita. Kita saja yang membesarkannya tak pernah sedikitpun melayangkan tangan kepadanya. Dia baru saja ngasih makan anak kita, sudah berani memukulnya!” Mustafa merasa geram.“Yah. Kenapa ayah tadi memukul Elang? Kasihan dia!” tanya Zahra dengan cemas.“Kasihan kamu bilang? Jangan bodoh kamu. Itu balasan yang setimpal karena sudah berani memukulmu!”“Tapi Elang melakukannya karena sedang mabuk. Kalau dia tidak mabuk, tidak mungkin dia memukulku. Itu juga karena aku melakukan sesuatu yang tidak dia suka. Dan selama pernikahan Elang selalu memperlakukan aku dengan baik