Budi datang ke kediaman Zahra dan disambut dengan hangat oleh kedua orangtuanya. Mereka menikmati makan malam dengan gembira. Sesekali disertai dengan canda dan tawa.Setelah selesai merekapun pergi ke ruang keluarga untuk membicarakan tentang jawaban dari lamaran Budi.“Nak, Budi!” Ayah Zahra memulai pembicaraan.“Iya, Pak.” Jawab Budi dengan gugup dan gelisah. Dia mengusap peluh yang membasahi wajah dengan tiba-tiba. Bahkan degup jantungnyapun berdetak lebih kencang.“Apa benar ... ““Maaf, Ayah. Apa boleh kalau aku bicara dulu dengan Mas Budi sebentar saja?” Zahra memottong pembicaraan ayahnya. Dia ingin membicarakan dulu sesuatu yang ada hubungannya dengan lamaran Budi.“Bolah, Nak. Silakan.”“Terimakasih, Ayah. Ayo, Mas. Kita duduk di teras saja!” ajak Zahra kepada Budi.“Baiklah. Permisi, Pak.” Budi berpamitan kepada ayah Zahra.“Silakan!”Keduanya pun berjalan menuju teras.“Silakan duduk!” Zahra mempersilahkan budi untuk duduk di kursi yang ada di teras.Keduanya duduk bersebe
“Budi! Apa yang kalian tadi bicarakan?!” Istri mustafa terlihat cemas saat melihat putri dan calon menantunya seperti tak bahagia.“Tidak apa-apa, Bu. Semuanya baik-baik saja. Dan semua keputusan ada pada Mas Budi atas syarat yang sudah aku ajukan tadi!” jawab Zahra untuk menenangkan orangtuanya. Dia berusaha untuk menata hati yang tak bisa merespon rasa gembira yang ingin ditunjukkan. Semua karena memang tak ada rasa bahagia dari dalam hatinya.“I-iya, Bu. Semua baik-baik saja!” jawab Budi dengan gugup.“Syukurlah. Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Mustafa yang terlihat lega. Pria paruh baya itu sedikit mengulas senyum pada bibirnya.“Begini. Keinginan Zahra adalah ... “ sejenak Budi menghentikan ucapannya. Kemudian menatap ke arah sang pujaan hati. Dan di saat yang bersamaan, Zahra juga tengah menatap tajam ke arah Budi. Pria tampan itu tahu apa arti dari sorot mata itu.‘Apa yang diinginkan oleh putriku, Nak Budi?” Mustafa mulai merasa tidak enak dan mendesak Budi dengan pertanyaa
“Ada perlu apa kau mengundangku?!” tanya Elang kepada Budi yang sudah menunggunya di salah satu ruangan VIP di sebuah restoran ternama.“Silakan duduk. Terima kasih kau sudah memenuhi undanganku!” Budi mempersilakan Elang untuk duduk di bangku yang sudah dipersiapkan khusus untuknya.Seorang pelayan restoran menarik kursi untuk Elang.“Aku tak punya waktu banyak. Jadi langsung saja ke pokok pembicaraan.” “Apa kau mau memesan makanan atau ...”“Tidak! aku sudah kenyang!” Elang memutus ucapan Budi. Dia ingin segera mengetahui apa maksud Budi mengundangnya kemari.“Elang. Sekali lagi, aku mengucapkan terimakasih atas semua kebaikanmu terhadapku.”“Apa kau mengundangku hanya untuk masalah itu?! bukankah aku sudah bilang jangan pernah mengungkit hal itu! aku tak mau ada orang lain yang tahu. Kau tahu’kan kalau aku ikhlas melakukannya demi Zahra! jadi jangan pernah membicarakan hal itu lagi. Kau mengerti?!”“Oke. Aku mengerti! Baiklah. Aku ingin bertanya. Apa kau ... pernah bertemu Zahra
Elang mengecup foto Zahra yang berada di ponsel. Tanpa terasa kelopak matanya basah.“Permisi, Pak!”Elang dikagetkan oleh suara seorang wanita yang membuka pintu.Elang segera menghapus air mata dan menyimpan ponselnya di saku.“Ada apa?” tanya Elang tanpa menoleh ke arah sekretarisnya.“Ada tamu yang menunggu di ruangan Bapak!”“Oke. Tolong bereskan semuanya!” Elang segera berlalu tanpa bertanya lebih jauh siapa tamu yang sudah menunggunya.Sang sekertaris membereskan dokumen yang berceceran di meja serta tak lupa membawa laptop milik Si Bos.***Elang membuka pintu ruang kerjanya. Alangkah terkejut saat dia mendapati seseorang yang berani duduk di kursi kebesarannya dan memunggunginya. Siapapun dia, Elang tak peduli karena orang tersebut sudah tidak sopan dan membuatnya marah.“Siapa Anda?! Beraninya duduk di kursi Saya!” tanya Elang dengan nada tinggi dan terlihat begitu kesal.Alangkah terkejutnya saat melihat orang itu memutar kursi dan menghadapnya.“Halo, Sayang!” sapanya deng
Elang membuang undangan ke lantai. Lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Hatinya terasa perih, bagai tersayat ribuan pedang. Kelopak matanya mulai berembun menggambarkan betapa terluka saat harus menghadapi kenyataan.Mungkinkah semua ini hanya mimpi Ya Tuhan. Bangunkan aku segera dari mimpi buruk ini. aku tidak percaya kalau semua ini nyata.Elang menangis terisak. Dia menggigit bibirnya kuat untuk menahan tangis supaya tak terdengar. Namun usahanya tak membuahkan hasil hingga suara tangisannya terdengar sampai ke telinga Arneta.Gadis itu tersenyum dan melangkah dengan elegan. Lalu duduk di samping elang dengan mengangkat satu kaki hingga terlihat kulitnya yang putih mulus. Dia sengaja ingin memancing birahi sang pria tampan untuk menghapus lukanya.Arneta memandang pujaan hati yang masih saja menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan.Hei, pria sombong. Sebentar lagi kau akan menjadi milikku. Aku pastikan kau akan bertek
“Bu. Aku mau pergi sebentar.” Zahra berpamitan kepada ibunya.“Mau kemana, Nak?”“Mau bertemu seseorang.”“Kamu ini lagi dipingit lho! Lihat tenda di depan rumah yang sudah terpasang rapih. Besok itu hari pernikahanmu. Apa kata orang nanti kalau kau bertemu dengan orang lain! Apa kau mau bertemu dengan Elang?’ tanya Ibu Zahra penuh selidik. Dia tak menyangka jika putrinya akan menemui mantan suami seperti dugaannya.“Tidak, Bu. Yang mau aku temui juga Mas Budi. Bukan Elang!”“Lho! Apalagi Budi. Kalian itu gak boleh bertemu sampai besok. Pamali. Besok juga kalian akan menjadi suami istri setelah ijab kabul. Sabar sedikit. Bilang sama Budi suruh bicara lewat telpon saja.”“Tadi aku juga sudah bilang begitu. Tapi kata Mas Budi gak bisa kalau bicara di telpon, karena yang akan dibicarakan sebuah rahasia besar yang aku harus tahu sebelum pernikahan!” Zahra tetap berusaha meyakinkan sang ibu supaya mendapatkan ijin.“Rahasia besar?!” Ibu Zahra mengulang ucapan sang putri.“Iya. Katanya sih
“Mas. Apa kau baik-baik saja?” tanya Zahra saat melihat Budi terlihat begitu gelisah. Pria itu memainkan telapak tangannya dan sesekali mengusap peluh pada keningnya.“Aku ... aku baik-baik saja.” Jawab Budi sembari menarik napas panjang dan meniupkannya perlahan. Terlihat sekali jika dia merasa terbebani dengan apa yang akan diceritakan olehnya.“Mas Budi. Kalau memang kau merasa berat untuk bercerita, dan kau juga takut akan mempengaruhi keputusanku, lebih baik kau tak usah cerita saja. Aku akan menerima kelebihan dan juga kekuranganmu.” Ucap Zahra dengan berhati-hati. Kali ini dia sepemikiran dengan ibunya. Benarkah jika Budi ... impoten.“Tidak, Zahra. Aku harus bercerita kepadamu. Aku juga menyerahkan keputusan kepadamu jika kau sudah tahu nanti.”Zahra menarik napas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.“Ceritalah. Aku ingin mendengarnya.”“Baiklah. Kau tahu kalau aku pernah berobat di luar negeri sampai keadaanku bisa seperti ini. Bahkan kepercayaan diriku juga
“Tidak! dia tidak mencintai wanita ttu. Dan satu-satunya wanita yang dia cintai adalah dirimu. Sadarlah Zahra. kalau memang pria itu sangat mencintaimu dengan tulus. Sebenarnya Elang tak ingin kau tahu akan hal ini. Tapi aku tidak bisa menyimpannya lagi. Aku tak mau kalau pernikahan kita di awali dengan sebuah kebohongan dan tanpa didasari oleh rasa cinta. Sekarang aku bertanya padamu, apa kau mencintaiku?!”Zahra terdiam dan tak bisa menjawab pertanyaan budi. Air matanya masih mengalir dengan deras. Berita ini benar-benar membuat Zahra syok. Dan yang disayangkan kenapa dia tahu disaat waktu yang tidak tepat.Jika aku berani jujur, aku pasti akan jawab jika aku tak mencintaim, Mas Budi. Hingga saat ini, hatiku sudah terisi sepenuhnya oleh hati Elang. Pernikahan denganmu, juga aku lakukan hanya untuk kebahagiaan Elang, supaya dia berhenti mengejarku. Aku tak menyangka ternyata pengorbanan kami sama, hanya caranya saja yang berbeda. Namun rasanya tak mungkin jika aku terus terang kepada