“Ada perlu apa kau mengundangku?!” tanya Elang kepada Budi yang sudah menunggunya di salah satu ruangan VIP di sebuah restoran ternama.“Silakan duduk. Terima kasih kau sudah memenuhi undanganku!” Budi mempersilakan Elang untuk duduk di bangku yang sudah dipersiapkan khusus untuknya.Seorang pelayan restoran menarik kursi untuk Elang.“Aku tak punya waktu banyak. Jadi langsung saja ke pokok pembicaraan.” “Apa kau mau memesan makanan atau ...”“Tidak! aku sudah kenyang!” Elang memutus ucapan Budi. Dia ingin segera mengetahui apa maksud Budi mengundangnya kemari.“Elang. Sekali lagi, aku mengucapkan terimakasih atas semua kebaikanmu terhadapku.”“Apa kau mengundangku hanya untuk masalah itu?! bukankah aku sudah bilang jangan pernah mengungkit hal itu! aku tak mau ada orang lain yang tahu. Kau tahu’kan kalau aku ikhlas melakukannya demi Zahra! jadi jangan pernah membicarakan hal itu lagi. Kau mengerti?!”“Oke. Aku mengerti! Baiklah. Aku ingin bertanya. Apa kau ... pernah bertemu Zahra
Elang mengecup foto Zahra yang berada di ponsel. Tanpa terasa kelopak matanya basah.“Permisi, Pak!”Elang dikagetkan oleh suara seorang wanita yang membuka pintu.Elang segera menghapus air mata dan menyimpan ponselnya di saku.“Ada apa?” tanya Elang tanpa menoleh ke arah sekretarisnya.“Ada tamu yang menunggu di ruangan Bapak!”“Oke. Tolong bereskan semuanya!” Elang segera berlalu tanpa bertanya lebih jauh siapa tamu yang sudah menunggunya.Sang sekertaris membereskan dokumen yang berceceran di meja serta tak lupa membawa laptop milik Si Bos.***Elang membuka pintu ruang kerjanya. Alangkah terkejut saat dia mendapati seseorang yang berani duduk di kursi kebesarannya dan memunggunginya. Siapapun dia, Elang tak peduli karena orang tersebut sudah tidak sopan dan membuatnya marah.“Siapa Anda?! Beraninya duduk di kursi Saya!” tanya Elang dengan nada tinggi dan terlihat begitu kesal.Alangkah terkejutnya saat melihat orang itu memutar kursi dan menghadapnya.“Halo, Sayang!” sapanya deng
Elang membuang undangan ke lantai. Lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Hatinya terasa perih, bagai tersayat ribuan pedang. Kelopak matanya mulai berembun menggambarkan betapa terluka saat harus menghadapi kenyataan.Mungkinkah semua ini hanya mimpi Ya Tuhan. Bangunkan aku segera dari mimpi buruk ini. aku tidak percaya kalau semua ini nyata.Elang menangis terisak. Dia menggigit bibirnya kuat untuk menahan tangis supaya tak terdengar. Namun usahanya tak membuahkan hasil hingga suara tangisannya terdengar sampai ke telinga Arneta.Gadis itu tersenyum dan melangkah dengan elegan. Lalu duduk di samping elang dengan mengangkat satu kaki hingga terlihat kulitnya yang putih mulus. Dia sengaja ingin memancing birahi sang pria tampan untuk menghapus lukanya.Arneta memandang pujaan hati yang masih saja menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan.Hei, pria sombong. Sebentar lagi kau akan menjadi milikku. Aku pastikan kau akan bertek
“Bu. Aku mau pergi sebentar.” Zahra berpamitan kepada ibunya.“Mau kemana, Nak?”“Mau bertemu seseorang.”“Kamu ini lagi dipingit lho! Lihat tenda di depan rumah yang sudah terpasang rapih. Besok itu hari pernikahanmu. Apa kata orang nanti kalau kau bertemu dengan orang lain! Apa kau mau bertemu dengan Elang?’ tanya Ibu Zahra penuh selidik. Dia tak menyangka jika putrinya akan menemui mantan suami seperti dugaannya.“Tidak, Bu. Yang mau aku temui juga Mas Budi. Bukan Elang!”“Lho! Apalagi Budi. Kalian itu gak boleh bertemu sampai besok. Pamali. Besok juga kalian akan menjadi suami istri setelah ijab kabul. Sabar sedikit. Bilang sama Budi suruh bicara lewat telpon saja.”“Tadi aku juga sudah bilang begitu. Tapi kata Mas Budi gak bisa kalau bicara di telpon, karena yang akan dibicarakan sebuah rahasia besar yang aku harus tahu sebelum pernikahan!” Zahra tetap berusaha meyakinkan sang ibu supaya mendapatkan ijin.“Rahasia besar?!” Ibu Zahra mengulang ucapan sang putri.“Iya. Katanya sih
“Mas. Apa kau baik-baik saja?” tanya Zahra saat melihat Budi terlihat begitu gelisah. Pria itu memainkan telapak tangannya dan sesekali mengusap peluh pada keningnya.“Aku ... aku baik-baik saja.” Jawab Budi sembari menarik napas panjang dan meniupkannya perlahan. Terlihat sekali jika dia merasa terbebani dengan apa yang akan diceritakan olehnya.“Mas Budi. Kalau memang kau merasa berat untuk bercerita, dan kau juga takut akan mempengaruhi keputusanku, lebih baik kau tak usah cerita saja. Aku akan menerima kelebihan dan juga kekuranganmu.” Ucap Zahra dengan berhati-hati. Kali ini dia sepemikiran dengan ibunya. Benarkah jika Budi ... impoten.“Tidak, Zahra. Aku harus bercerita kepadamu. Aku juga menyerahkan keputusan kepadamu jika kau sudah tahu nanti.”Zahra menarik napas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.“Ceritalah. Aku ingin mendengarnya.”“Baiklah. Kau tahu kalau aku pernah berobat di luar negeri sampai keadaanku bisa seperti ini. Bahkan kepercayaan diriku juga
“Tidak! dia tidak mencintai wanita ttu. Dan satu-satunya wanita yang dia cintai adalah dirimu. Sadarlah Zahra. kalau memang pria itu sangat mencintaimu dengan tulus. Sebenarnya Elang tak ingin kau tahu akan hal ini. Tapi aku tidak bisa menyimpannya lagi. Aku tak mau kalau pernikahan kita di awali dengan sebuah kebohongan dan tanpa didasari oleh rasa cinta. Sekarang aku bertanya padamu, apa kau mencintaiku?!”Zahra terdiam dan tak bisa menjawab pertanyaan budi. Air matanya masih mengalir dengan deras. Berita ini benar-benar membuat Zahra syok. Dan yang disayangkan kenapa dia tahu disaat waktu yang tidak tepat.Jika aku berani jujur, aku pasti akan jawab jika aku tak mencintaim, Mas Budi. Hingga saat ini, hatiku sudah terisi sepenuhnya oleh hati Elang. Pernikahan denganmu, juga aku lakukan hanya untuk kebahagiaan Elang, supaya dia berhenti mengejarku. Aku tak menyangka ternyata pengorbanan kami sama, hanya caranya saja yang berbeda. Namun rasanya tak mungkin jika aku terus terang kepada
“Zahra! ikulah denganku!” Budi mengulurkan tangannya.“Ke mana?” “Bertemu dengan seseorang!”“Siapa?”“Nanti kau juga akan tahu! Ayo!”Dengan ragu Zahra menyambut uluran tangan calon suaminya. Keduanyapun berjalan berdampingan. Tak ada kesan romantis. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Sesampainya mereka di lantai atas resto, Budi menghentikan langkah. Begitu juga dengan Zahra yang hampir saja menabrak Budi yang berada di hadapan.Semilir angin menerpa wajah nan ayu. Gadis itu mengedarkan pandangan. Tak terlihat seseorangpun di sana. Bangku yang berjajar terlihat kosong.“Kok kosong. Sebenarnya kita mau ketemu siapa sih?” bisik Zahra lirih. Sepertinya dia merasa takut dengan suasana yang begitu sunyi. Dia makin erat menggenggam jemari Budi.“Kau lihat pria yang berdiri dan bersandar pada pembatas kaca itu?” Budi menunjuk ke arah seorang pria yang sedang memandang ke arah jalan. Tatapan pria itu begitu kosong, seolah tanpa harapan.Zahra menatap ke arah mana telunjuk Budi. D
Zahra masih terus menangis. Hatinya diliputi oleh keraguan. Satu sisi, dia bisa saja membatalkan pernikahan dengan Budi dan menikah dengan elang. Namun Zahra tahu betul jika Budi sangat mencintainya. Tentu saja hal itu akan membuatnya sedih dan kecewa.Dan bagaimana dengan rasa malu yang harus ditanggung oleh keluarganya. Bagaimana keluarganya harus memberikan alasan kepada keluarga Budi. Sungguh semua menjadi dilema.“Sekarang, hapus air matamu. Temuilah Elang dan bicarakan apa yang ingin kau katakan padanya. Aku tunggu kau di bawah. Oke?” Budi menghapus air mata di pipi Zahra. Setelah itu dia pun melangkahkan kakinya. Namun baru saja selangkah, Zahra menghentikan dengan menarik tangannya.“Mas Budi, jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau bertemu dengan Elang! Tolonglah!” Zahra berteriak cukup keras hingga membuat Elang mendengarnya.Pria itu mengerutkan kening untuk memastikan siapa wanita yang berteriak. Elang memperhatikan kedua orang yang sepertinya sedang bertengkar. Cahaya remang