“Kak, kamu harus kuat, bayi kamu membutuhkan ibunya!”
Suara seorang Adik untuk Kakaknya yang tergolek lemah di ranjang Rumah Sakit.
“Bayi kamu perlu ASI darimu, Kak. Jangan tinggalkan dia!”
mohon Ziya yang terdengar dengan jelas di indra pendengaran Zoya-sang Kakak. Gadis itu juga mengenggam erat tangan Zoya seolah tak ingin kehilangan saudara satu-satunya yang dimiliki saat ini. Tak terasa juga sudah berapa lama dia menangis sehingga matanya terlihat sembab.
“Zi-ziya, to-long jaga bayi Kakak, anggap dia anak kamu sendiri-”
“Dan jangan pernah tinggalkan a-papun yang ter-jadi!” ucap Zoya dengan terbata-bata menahan sakit. Napasnya juga tidak beraturan.
“Kak, aku mohon bertahanlah! Aku sama siapa lagi, hanya kamu yang aku punya sekarang.”
“Ma-af, Kakak tidak bisa menemanimu lagi,” ujar Zoya lemah, yang sudah tidak bertenaga.
“Aku panggil Dokter, ya?” tanpa menunggu jawaban Zoya, Ziya langsung saja berdiri, berlari dan berteriak ke luar ruangan untuk menemukan seseorang di sana.
“Dokter ....!
“Dokter, tolong, Kakak saya!”
Sang Dokter langsung datang dan memeriksa keadaan Zoya. Melihat alat yang terpasang di sisi ranjang bergerak naik turun. Terlihat di situ detak jantung Zoya yang tidak stabil dan kadang melemah apalagi napas Zoya yang tersendat-sendat membuat sang Dokter menggelengkan kepalanya. Bukan tidak paham Ziya atas sikap Dokter namun dia menolak untuk sangat mengerti.
“Tidak, jangan biarkan Kakakku pergi, tolong Dokter!” pintanya seraya memohon dan menarik lengan sang Dokter.
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi sepertinya kerja jantungnya semakin menurun. Coba dibimbing berdoa ya!” ujar sang Dokter pelan. Sang Dokter sebenarnya tidak tega juga melihat kondisi pasien namun ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan kalau sudah ketentuan sang Pencipta.
Ziya dapat melihat kalau Zoya sedang kesulitan untuk bernapas terlihat kalau dadanya naik turun dengan cepat.
“Tuntunlah untuk menyebut sang Penciptanya!” pinta sang Dokter yang melihat kondisinya semakin memburuk.
Mungkin inilah detik-detik menegangkan buat Ziya karena menghadapi sakaratul maut untuk Kakaknya. Meski sudah beberapa kali dia selalu mengusap buliran-buliran bening yang menembus pipinya. Ziya mencoba tegar agar sang Kakak tidak akan berat meninggalkannya. Meski dalam hati sebenarnya dia menolak keras kepergian Kakaknya itu namun Ziya harus menguatkan hatinya untuk membimbing sang Kakak mengucapkan kalimat Syahadat.
“Laa ilaaha illallaah.”
Dengan pelan Ziya membisikkan di telinga Zoya agar mengikuti ucapannya.
“Laa ilaaha illallaah ....”
Dengan satu tarikan napas akhirnya Zoya dapat mengikuti Ziya sebelum menutup matanya dan alat yang terpasang menjadi benar-benar bergaris horizontal.
Seketika itu juga airmata Ziya tidak terbendung lagi dan semakin deras membasahi pelupuk mata dan pipinya. Napasnya bergemuruh, dadanya terasa sesak. Kalau saja tidak ada Dokter di belakangnya dia ambruk karena tidak kuat menopang tubuhnya.
“Maaf, kamu harus ikhlas. Ini semua rencana Allah, kita semua tidak bisa menentangnya!” ucap seorang Dokter yang mendekat dan menyentuh pelan bahu Ziya.
“Kak, semoga kamu tenang di sana dan jangan khawatir bayi kamu akan aku jaga untukmu!” buliran-buliran bening itu masih saja ke luar dari sudut matanya yang sembab sambil mencium kening Zoya yang sudah tak bernyawa.
“Sekarang kamu harus fokus sama bayi ini!” ujar Dokter sebelum memberikan bayi mungil dan tampan di hadapan Ziya.
Ziya menoleh dan menatap lemas seorang bayi tak berdosa. Sejurus kemudian dia meraih dan memeluknya dalam dekapannya.
“Aku janji akan merawat bayi ini dan menjadikannya anak ku sendiri tapi aku juga akan mengenalkan Kakak sebagai Bundanya,” janji Ziya dengan terisak.
Setelah semua administrasi diselesaikan. Kebetulan Ziya mempunyai teman di Rumah Sakit tersebut dan dia yang membantunya. Zoya dibawa pulang ke kontrakan. Dan saat jenazah Zoya sampai sudah banyak orang-orang yang bertaziah. Semasa hidupnya Zoya dikenal sebagai pribadi yang kalem, tidak banyak menuntut dan suka menolong jika ada yang membutuhkan bantuan makanya sewaktu meninggal banyak orang yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa dengan membawa sembako dan uang. Meski Zoya dan Ziya hanya menempati rumah kotrakan tetapi semua sangat baik padanya seakan seperti keluarga sendiri.
Ziya tidak pernah jauh dari jenazah sang Kakak, dia duduk di samping Zoya dengan mendekap bayi Zoya yang baru lahir. Beberapa tetangga ada yang menawarkan untuk menggantikan Ziya mengendong bayi tersebut namun selalu ditolak.
Pikiran Ziya tidak tenang dan sangat terpukul sekali harus kehilangan orang paling dekat dengannya, separuh hidupnya telah pergi dan sekarang dia harus bertanggung jawab atas hidup satu nyawa lagi.
Ziya terus menatap jenasah Zoya dengan berurai airmata tanpa mengeluarkan suara dengan sesekali menatap bayi tampan di pangkuannya yang selalu tidur. Ingin sekali menolak kenyataan ini tapi mulutnya seakan tidak dapat bersuara.
“Yang Ikhlas ya! biarkan Zoya tenang di sana. Kalau kamu seperti ini, itu artinya kamu menolak ketetapan Allah,” ungkap seorang Ustazah yang biasanya memimpin pengajian di kampungnya itu.
Ziya tidak dapat bersuara seolah bibirnya penuh dengan kesedihan yang dia lakukan hanya memandang dengan lemah ke arah Ustazah tersebut. Tanpa diminta sang Ustazah pun langsung memeluk dari samping Ziya yang sedang mengendong bayinya.
Ziya memaksa ikut dalam proses pemakaman Ziya dengan mengendong bayinya. Padahal beberapa orang sudah menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah saja, melihat kondisi Ziya yang sangat memprihatinkan. Ziya ingin mengantarkan Zoya ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Setelah melalui beberapa proses akhirnya pemakaman itu sudah dilakukan. Dari awal prosesi Ziya selalu menangis apalagi saat melihat gundukan tanah disertai taburan bunga itu, namun sosok Bu Dewi yang selalu ada di sampingnya. Memberikan pelukan untuk menguatkan hatinya.
“Kamu harus ikhlas ya, agar Zoya tenang di sana!” ujar Bu Dewi sambil mengusap-usap bahu Ziya dan perlahan mengambil bayi dalam gendongan gadis itu.
Semua orang sudah meninggalkan pemakaman tersisa Ziya dan Bu Dewi. Ziya masih setia memandangi batu nisan di depannya yang tertulis nama Zoya Azzahra. Rasanya sulit dipercaya kalau Zoya sudah pergi dari hidupnya secepat ini.
Bu Dewi membiarkan Ziya melakukan keinginannya saat ini untuk yang terakhir kalinya dan selalu menemaninya dengan mengendong bayi Zoya.
***
Tujuh hari setelah meninggalnya Zoya.
Rumah kontrakan Ziya ramai oleh tetangga-tetangga yang akan mengikuti pengajian. Sejak pagi hingga sore tetangga saling membantu untuk membuatkan makanan dan kue untuk acara nanti malam. Di rumah kontrakan itu sebenarnya Ziya tidak punya barang-barang untuk memasak namun di sekitar rumah itu banyak tetangga yang baik hati untuk meminjamkan alat-alat memasak sehingga mereka bekerja sama untuk membantu Ziya. Sungguh Ziya sangat beruntung memiliki mereka yang sangat peduli dengan dirinya.
Sementara beberapa tetangga memasak dan membuat kue, Ziya sendiri sedang mengurus bayi Zoya yang sudah dianggap anak sendiri olehnya. Ziya begitu telaten dan sabar merawat keponakannya itu. Meskipun dia belum mempunyai pengalaman untuk mengurus anak, Ziya banyak bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan sudah memiliki anak dan mereka dengan senang hati mengajari Ziya yang masih terasa kaku itu.
Sungguh Ziya harus berjuang demi keponakannya itu agar mendapatkan kasih sayang, meski bukan dari orang tua kandungnya karena dia berjanji akan mencurahkan hidupnya untuk bayi tampan itu.
“Bayi Zoya sangat tampan ya, setampan ayahnya,” gumam salah satu Ibu tetangga sebelah rumah yang terdengar oleh Ziya.
Bersambung.......
“Tegar sayang, kamu haus ya? Ini Tante buatkan susu untuk kamu.”Ziya tersenyum manis sambil mengocok-ngocok sebentar kemudian menyodorkan botol susu pada mulut mungil Rendi yang sudah terbuka sambil menangis.“Tegar?” ulang Bu Dewi yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Ziya.Mungkin hanya Ibu Dewi yang bisa masuk kamar Ziya dengan tidak sungkan. Selain beliau adalah pemilik rumah yang dikontrak oleh Ziya, Ibu Dewi juga sudah menganggap Ziya seperti anaknya sendiri. Ibu Dewi tidak mempunyai anak perempuan dan ketiganya anak laki-laki saja, makanya sejak kedatangan Ziya sudah dianggap seperti anaknya sendiri.“Ah Bu Dewi, iya aku kasih nama Tegar Wijaya.”Ziya menjawab ucapan Bu Dewi dan tersenyum lebar tanpa beban dan terlihat sangat bahagia dengan keponakannya itu.Tentunya Bu Dewi paham nama Wijaya adalah nama Papanya Ziya dan Zoya. Sebenarnya penasaran kenapa Ziya memberi nama itu, tapi karena tidak
Namun setelah satu persatu tetangga meninggalkan rumah, sekarang Ziya hanya ditemani oleh Bu Dewi. Sejak hari pertama Zoya meninggal, Bu Dewi selalu menginap di rumah Ziya.“Bu, kalau mau pulang tidak apa! Kasihan Bapak kalau ditinggalkan terus,” ucap Ziya pada Bu Dewi.Ziya sadar mungkin Bu Dewi ingin pulang tapi kasihan dengannya. Bagaimanapun Bu Dewi mempunyai suami yang harus diurus juga.“Ibu gak tega harus meninggalkan kamu sendirian dengan Tegar,” jawab Bu Dewi cepat.“Tidak masalah, Bu. Aku bisa menjaga Tegar dengan baik koq.”Ziya meyakinkan Bu Dewi agar mau pulang karena dia sudah terlalu banyak merepotkan wanita paruh baya yang sudah baik itu.“Ya sudah, nanti malam Ibu akan pulang tapi kamu janji kalau ada apa-apa langsung telepon Ibu ya?”Ziya mengangguk dan tersenyum haru mendapat perhatian seperti itu, mungkin kalau orangtuanya masih ada akan melakukan hal yang
“Alhamdulillah, Tegar tidak rewel dan aku tidur pulas, Bu.”Ziya tersenyum dan memeluk bahu Bu Dewi yang sedang duduk.“Makasih ya, Bu, sudah sangat perhatian sama aku. Tidak tahu bagaimana caraku membalas kebaikan Ibu.”“Sudah, kamu jangan dipikirkan hal itu. Semua orang peduli sama kamu, jadi jangan merasa sendirian ya!” tegur Bu Dewi menumpuh tangannya pada tangan Ziya yang berada di bahunya.Ziya mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda sejak seminggu yang lalu. Sekarang karena acara untuk Zoya sudah selesai makanya sudah saatnya dia bersih-bersih rumah. Sementara Bu Dewi yang sudah membantu menjaga Tegar.Akhirnya semua pekerjaan sudah terselesaikan semua. Mencuci baju, bersih-bersih kamar, dapur dan menyiapkan baju-baju Tegar dan bajunya. Ziya menselonjorkan kakinya dan menyandarkan punggungnya pada tembok ruang tamu.“Gimana capek ya?” tanya Bu Dewi yang sedang mengendong Tegar dan men
Ziya menghentikan tangannya yang sedang mengusap pipi Tegar dan langsung mengalihkan pandangan ke mata Bian yang juga memandangnya.Untuk sesaat kedua mata saling memandang dalam diam.Oek ... oek ... oek ...Suara tangis Tegar membuyarkan dua orang yang saling terdiam itu.“Cup, cup, sayang. Ini minum susu dulu ya!”Ziya memberikan botol berisi susu pada mulut Tegar, dengan gerakan cepat Tegar mengenyot ujung botol susu tersebut. Seakan lupa dengan ucapan Bian, Ziya tidak mempertanyakan kembali.“Saya boleh gendong?” tanya Bian dengan wajah tulus membuat Ziya lagi-lagi hanya bisa tertegun.“Bapak bisa?” Ziya bertanya untuk memastikan keinginan Bian.“Saya pernah gendong anak yang lebih besar dari Tegar, kalau seumuran dia belum tapi saya mau mencobanya,” sahut Bian penuh percaya diri.“Kalau kamu gak boleh juga tidak masalah koq,” imbuh Bian lagi karena menungg
Bian melirik pergelangan tangannya, sudah hampir 2 jam dia berada di tempat itu dan sepertinya Ziya juga sedang tidak dalam keadaan baik untuk diajak bicara.“Sepertinya saya harus pamit karena sudah lama juga saya di sini,” ujar Bian sambil tersenyum tipis sebelum berdiri untuk meninggalkan rumah itu.“Iya. Terimakasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk datang dan saya minta maaf atas sikap Ziya ya, Pak?” ungkap Bu Dewi, merasa tidak enak hati dengan Bian.“Tidak pa-pa, Bu. Biarkan dia menjernihkan pikirannya dulu. Nanti kapan-kapan saya akan datang lagi,” balas Bian seraya menyunggingkan senyum ramah kemudian berpamitan pada Bu Dewi.Bu Dewi mengantar kepergian Bian sampai menghilang dari pandangannya setelah masuk ke dalam mobilnya.“Andai, pria itu mau menjadi suami Ziya. Pasti mereka akan menjadi keluarga yang bahagia,” gumam Bu Dewi yang tidak tahu kalau Bian sudah menawarkan menjadi Ayah sa
Semalaman Ziya tidak bisa tidur karena memikirkan akan berjualan apa. Mendadak ide berjualan kue Donat langsung ada dipikirannya.“Oke, aku akan jualan kue Donat.” Berseru dalam hati.Tidak lama terdengar suara rengekkan Tegar. Dan ini yang ke lima kalinya bayi itu merengek. Setelah sebelumnya haus dan pampersnya yang minta diganti karena sudah penuh. Dengan cekatan Ziya mengecek apa yang terjadi dengan keponakannya itu. Melihat pampersnya masih kering, dia buru-buru membuatkan susu dan ternyata memang dia sedang menginginkan susu.Susu sudah habis tapi Tegar masih belum tenang. Terpaksa Ziya bangun, melihat jam di dinding juga sudah mau Subuh. Ziya mengendongnya dan membawa ke teras depan. Perlahan matanya terbuka dan mulutnya yang mungil itu beberapa kali menguap.“Mungkin dia masih mengantuk dan minta digendong,” suara Bu Dewi sudah berada di samping Ziya yang melihat Tegar yang kemudian membelai pipinya.“Bu
Ziya sudah berhasil ditangani oleh Dokter dan itu membuat Bian bernapas lega. Dia sendiri binggung kenapa dirinya sampai sekhawatir itu padahal secara tidak langsung gadis itu sudah menolaknya, saat Bian menawarkan menjadi Ayah sambung bagi Tegar.Namun ingatan Bian kembali pada seseorang yang dicintainya di masa lalu. Kenapa dia harus bertemu di sini. Seakan Bian melupakan sesuatu, dia baru tersadar bahwa di rumah sakit ini tempat kerjanya. Tadi tanpa pikir panjang langsung saja membawa Ziya ke rumah sakit terdekat dan ternyata sama dengan tempat kerjanya.“Hai, apa kabar Bi?”Suara merdu yang tidak akan pernah Bian lupakan sejak kepergiannya 3 tahun yang lalu. Mendekat ke arah Bian yang sedang duduk di depan ruang ICU. Gadis itu dengan teganya meninggalkannya demi obsesi orangtuanya. Mungkin dulu dia pernah tidak terima diperlakukan tidak baik tapi sekarang dia sudah berdamai dengan hatinya untuk menerimanya.“Baik.” Bian mengelu
“Kondisi Mbk Ziya, Alhamdulillah sudah membaik dan tolong dijaga kesehatannya ya. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup,” ucap sang Dokter tersenyum tipis pada Ziya yang sekarang sudah terlihat segar daripada sebelumnya. Mungkin karena pengaruh infus yang membuatnya terlihat lebih baik dari sebelumnya.“Terimakasih, Dok?” ucap Ziya seraya menganggukan kepalanya.“Lalu apakah bisa pulang sekarang, Dok?” Bian yang tadinya ikut menganggukan kepala sekarang bertanya. Pertanyaan yang sama dibenak Ziya.“Boleh,” jawab Dokter tegas kemudian memandang bergantian ke arah Ziya dan Bian.“Tapi tolong selesaikan administrasinya dulu,” kali ini sang Dokter sedikit memberikan tawa tipis.“Baik, Dok. Terimakasih,” balas Bian menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dan disambut oleh sang Dokter.Setelahnya sang Dokter pergi meninggalkan ruangan tersebut. Bian berpesan