Share

Cinta karena Balas Dendam
Cinta karena Balas Dendam
Penulis: Mkarmila

Hembusan Napas Terakhir Zoya

“Kak, kamu harus kuat, bayi kamu membutuhkan ibunya!”

Suara seorang Adik untuk Kakaknya yang tergolek lemah di ranjang Rumah Sakit.

“Bayi kamu perlu ASI darimu, Kak. Jangan tinggalkan dia!”

mohon Ziya yang terdengar dengan jelas di indra pendengaran Zoya-sang Kakak. Gadis itu juga mengenggam erat tangan Zoya seolah tak ingin kehilangan saudara satu-satunya yang dimiliki saat ini. Tak terasa juga sudah berapa lama dia menangis sehingga matanya terlihat sembab.

“Zi-ziya, to-long jaga bayi Kakak, anggap dia anak kamu sendiri-”

“Dan jangan pernah tinggalkan a-papun yang ter-jadi!” ucap Zoya dengan terbata-bata menahan sakit. Napasnya juga tidak beraturan.

“Kak, aku mohon bertahanlah! Aku sama siapa lagi, hanya kamu yang aku punya sekarang.”

“Ma-af, Kakak tidak bisa menemanimu lagi,” ujar Zoya lemah, yang sudah tidak bertenaga.

“Aku panggil Dokter, ya?” tanpa menunggu jawaban Zoya, Ziya langsung saja berdiri, berlari dan berteriak ke luar ruangan untuk menemukan seseorang di sana.

“Dokter ....!

“Dokter, tolong, Kakak saya!”

Sang Dokter langsung datang dan memeriksa keadaan Zoya. Melihat alat yang terpasang di sisi ranjang bergerak naik turun. Terlihat di situ detak jantung Zoya yang tidak stabil dan kadang melemah apalagi napas Zoya yang tersendat-sendat membuat sang Dokter menggelengkan kepalanya. Bukan tidak paham Ziya atas sikap Dokter namun dia menolak untuk sangat mengerti.

“Tidak, jangan biarkan Kakakku pergi, tolong Dokter!” pintanya seraya memohon dan menarik lengan sang Dokter.

“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi sepertinya kerja jantungnya semakin menurun. Coba dibimbing berdoa ya!” ujar sang Dokter pelan. Sang Dokter sebenarnya tidak tega juga melihat kondisi pasien namun ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan kalau sudah ketentuan sang Pencipta.

Ziya dapat melihat kalau Zoya sedang kesulitan untuk bernapas terlihat kalau dadanya naik turun dengan cepat.

“Tuntunlah untuk menyebut sang Penciptanya!” pinta sang Dokter yang melihat kondisinya semakin memburuk.

Mungkin inilah detik-detik menegangkan buat Ziya karena menghadapi sakaratul maut untuk Kakaknya. Meski sudah beberapa kali dia selalu mengusap buliran-buliran bening yang menembus pipinya. Ziya mencoba tegar agar sang Kakak tidak akan berat meninggalkannya. Meski dalam hati sebenarnya dia menolak keras kepergian Kakaknya itu namun Ziya harus menguatkan hatinya untuk membimbing sang Kakak mengucapkan kalimat Syahadat.

 “Laa ilaaha illallaah.”

Dengan pelan Ziya membisikkan di telinga Zoya agar mengikuti ucapannya.

Laa ilaaha illallaah ....”

Dengan satu tarikan napas akhirnya Zoya dapat mengikuti Ziya sebelum menutup matanya dan alat yang terpasang menjadi benar-benar bergaris horizontal.

Seketika itu juga airmata Ziya tidak terbendung lagi dan semakin deras membasahi pelupuk mata dan pipinya. Napasnya bergemuruh, dadanya terasa sesak. Kalau saja tidak ada Dokter di belakangnya dia ambruk karena tidak kuat menopang tubuhnya.

“Maaf, kamu harus ikhlas. Ini semua rencana Allah, kita semua tidak bisa menentangnya!” ucap seorang Dokter yang mendekat dan menyentuh pelan bahu Ziya.

“Kak, semoga kamu tenang di sana dan jangan khawatir bayi kamu akan aku jaga untukmu!” buliran-buliran bening itu masih saja ke luar dari sudut matanya yang sembab sambil mencium kening Zoya yang sudah tak bernyawa.

“Sekarang kamu harus fokus sama bayi ini!” ujar Dokter sebelum memberikan bayi mungil dan tampan di hadapan Ziya.

Ziya menoleh dan menatap lemas seorang bayi tak berdosa. Sejurus kemudian dia meraih dan memeluknya dalam dekapannya.

“Aku janji akan merawat bayi ini dan menjadikannya anak ku sendiri tapi aku juga akan mengenalkan Kakak sebagai Bundanya,” janji Ziya dengan terisak.

Setelah semua administrasi diselesaikan. Kebetulan Ziya mempunyai teman di Rumah Sakit tersebut dan dia yang membantunya. Zoya dibawa pulang ke kontrakan. Dan saat jenazah Zoya sampai sudah banyak orang-orang yang bertaziah. Semasa hidupnya Zoya dikenal sebagai pribadi yang kalem, tidak banyak menuntut dan suka menolong jika ada yang membutuhkan bantuan makanya sewaktu meninggal banyak orang yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa dengan membawa sembako dan uang. Meski Zoya dan Ziya hanya menempati rumah kotrakan tetapi semua sangat baik padanya seakan seperti keluarga sendiri.

Ziya tidak pernah jauh dari jenazah sang Kakak, dia duduk di samping Zoya dengan mendekap bayi Zoya yang baru lahir. Beberapa tetangga ada yang menawarkan untuk menggantikan Ziya mengendong bayi tersebut namun selalu ditolak.

Pikiran Ziya tidak tenang dan sangat terpukul sekali harus kehilangan orang paling dekat dengannya, separuh hidupnya telah pergi dan sekarang dia harus bertanggung jawab atas hidup satu nyawa lagi.

Ziya terus menatap jenasah Zoya dengan berurai airmata tanpa mengeluarkan suara dengan sesekali menatap bayi tampan di pangkuannya yang selalu tidur. Ingin sekali menolak kenyataan ini tapi mulutnya seakan tidak dapat bersuara.

“Yang Ikhlas ya! biarkan Zoya tenang di sana. Kalau kamu seperti ini, itu artinya kamu menolak ketetapan Allah,” ungkap seorang Ustazah yang biasanya memimpin pengajian di kampungnya itu.

Ziya tidak dapat bersuara seolah bibirnya penuh dengan kesedihan yang dia lakukan hanya memandang dengan lemah ke arah Ustazah tersebut. Tanpa diminta sang Ustazah pun langsung memeluk dari samping Ziya yang sedang mengendong bayinya.

Ziya memaksa ikut dalam proses pemakaman Ziya dengan mengendong bayinya. Padahal beberapa orang sudah menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah saja, melihat kondisi Ziya yang sangat memprihatinkan. Ziya ingin mengantarkan Zoya ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Setelah melalui beberapa proses akhirnya pemakaman itu sudah dilakukan. Dari awal prosesi Ziya selalu menangis apalagi saat melihat gundukan tanah disertai taburan bunga itu, namun sosok Bu Dewi yang selalu ada di sampingnya. Memberikan pelukan untuk menguatkan hatinya.

“Kamu harus ikhlas ya, agar Zoya tenang di sana!” ujar Bu Dewi sambil mengusap-usap bahu Ziya dan perlahan mengambil bayi dalam gendongan gadis itu.    

Semua orang sudah meninggalkan pemakaman tersisa Ziya dan Bu Dewi. Ziya masih setia memandangi batu nisan di depannya yang tertulis nama Zoya Azzahra. Rasanya sulit dipercaya kalau Zoya sudah pergi dari hidupnya secepat ini.

Bu Dewi membiarkan Ziya melakukan keinginannya saat ini untuk yang terakhir kalinya dan selalu menemaninya dengan mengendong bayi Zoya.

***

Tujuh hari setelah meninggalnya Zoya.

Rumah kontrakan Ziya ramai oleh tetangga-tetangga yang akan mengikuti pengajian. Sejak pagi hingga sore tetangga saling membantu untuk membuatkan makanan dan kue untuk acara nanti malam. Di rumah kontrakan itu sebenarnya Ziya tidak punya barang-barang untuk memasak namun di sekitar rumah itu banyak tetangga yang baik hati untuk meminjamkan alat-alat memasak sehingga mereka bekerja sama untuk membantu Ziya. Sungguh Ziya sangat beruntung memiliki mereka yang sangat peduli dengan dirinya.

Sementara beberapa tetangga memasak dan membuat kue, Ziya sendiri sedang mengurus bayi Zoya yang sudah dianggap anak sendiri olehnya. Ziya begitu telaten dan sabar merawat keponakannya itu. Meskipun dia belum mempunyai pengalaman untuk mengurus anak, Ziya banyak bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan sudah memiliki anak dan mereka dengan senang hati mengajari Ziya yang masih terasa kaku itu.

Sungguh Ziya harus berjuang demi keponakannya itu agar mendapatkan kasih sayang, meski bukan dari orang tua kandungnya karena dia berjanji akan mencurahkan hidupnya untuk bayi tampan itu.

“Bayi Zoya sangat tampan ya, setampan ayahnya,” gumam salah satu Ibu tetangga sebelah rumah yang terdengar oleh Ziya.

Bersambung.......

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status