Share

Penawaran menjadi Ayah Sambung

“Alhamdulillah, Tegar tidak rewel dan aku tidur pulas, Bu.”

Ziya tersenyum dan memeluk bahu Bu Dewi yang sedang duduk.

“Makasih ya, Bu, sudah sangat perhatian sama aku. Tidak tahu bagaimana caraku membalas kebaikan Ibu.”

“Sudah, kamu jangan dipikirkan hal itu. Semua orang peduli sama kamu, jadi jangan merasa sendirian ya!” tegur Bu Dewi menumpuh tangannya pada tangan Ziya yang berada di bahunya.

Ziya mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda sejak seminggu yang lalu. Sekarang karena acara untuk Zoya sudah selesai makanya sudah saatnya dia bersih-bersih rumah. Sementara Bu Dewi yang sudah membantu menjaga Tegar.

Akhirnya semua pekerjaan sudah terselesaikan semua. Mencuci baju, bersih-bersih kamar, dapur dan menyiapkan baju-baju Tegar dan bajunya. Ziya menselonjorkan kakinya dan menyandarkan punggungnya pada tembok ruang tamu.

“Gimana capek ya?” tanya Bu Dewi yang sedang mengendong Tegar dan mengajaknya berjemur ke teras agar bayi itu tidak kena penyakit kuning.

“Lumayan, Bu,” jawab Ziya yang sedang mengatur napas.

Kini, keduanya sedang di ruang tamu duduk di lesehan dengan santai. Dan bayi tampan itu sedang tertidur. Ziya sengaja menidurkannya di bawah beralaskan tikar dan kasur bayi kecil. Untungnya Zoya sudah mempersiapkan semua perlengkapan bayi sebelum persalinan.

“Lalu apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Bu Dewi menatap dalam Ziya yang sedang ikut berbaring di samping Tegar yang sedang tidur.

“Lanjut kerja, Bu-”

Ziya belum memotong ucapannya karena gak yakin apa masih bisa bekerja di tempat itu, sementara dia sudah lama minta cuti.

“Kenapa?”

Ziya menoleh pada Bu Dewi setelah mendengar pertanyaan itu.

“Apa aku masih boleh kerja di sana? Apalagi sekarang sudah ada Tegar.”

“Ya boleh lah, kenapa ragu begitu? Ibu yakin Mas Bian akan bisa menerima kamu lagi.”

Ziya tertawa canggung. Menyadari statusnya sekarang bukan gadis sendiri lagi tapi gadis yang mempunyai anak tanpa suami.

“Lalu apa kamu tidak mau memberitahu ayah kandungnya Tegar?”

Pertanyaan Ibu Dewi ragu-ragu takut membuat amarah Ziya karena setiap kali bertanya tentang mantan iparnya itu Ziya selalu tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Entah apa jadinya kalau mereka sampai bertemu.

Ziya tidak menjawab ataupun memandang ke arah Ibu Dewi setelah pertanyaan yang menurutnya tidak mau didengarnya itu. Ziya malah sibuk menciumi dan menimang-nimang bayi tampan di dekapannya.

Begitupun dengan Ibu Dewi yang tidak mendapatkan respon dari bibir Ziya membuatnya menyesali ucapannya sendiri. Kenapa tadi dia bertanya seperti itu, namun hati kecilnya merasa perlu memberitahu Ziya agar kelak dia tidak menyesal menyembunyikan kebenaran.

“Ibu tahu kamu masih sangat sakit hati dengan Kienan, tapi mungkin suatu saat kamu harus memberitahu yang sebenarnya pada Tegar!” ungkap Bu Dewi saat melihat Ziya sedang memeluk keponakannya itu.

“Maaf, Bu. Saya tidak akan mau memberitahukan pada Tegar kalau dia mempunyai orang tua yang jahat seperti itu, anggap saja Tegar anak saya. Kienan dan keluarganya tidak perlu tahu akan itu.” Mata Ziya menyiratkan amarah yang besar.

Ziya sangat membenci pria bernama Kienan, bahkan Ziya menyebutnya hanya dengan namanya saja tanpa menambahkan Kak di depan namanya.

“Ah, sepertinya Tegar sudah nyenyak tidurnya. Biar Ibu pangku saja ya? Pasti semalam tidurmu kurang nyenyak ya?” ucap Ibu Dewi yang hanya mengalihkan perhatian Ziya seraya mengambil Tegar dari dekapan Ziya padahal jelas tadi Ziya mengatakan tidur pulas.

Belum juga Ibu Dewi mengambil Tegar, Ziya sudah menghentikannya. “Tidak usah Bu, saya masih bisa koq. Saya tidak mau jauh dari Tegar,” ujar Ziya dengan raut wajah kesedihan.

Itulah Ziya ketika mendengar nama Kienan, gadis itu akan sensitif dan moodnya mendadak buruk. Seakan ada ketakutan tersendiri kalau Kienan akan mengambil Tegar darinya.

“Ziya, kamu harus istirahat juga, kalau kamu kurang istirahat kamu akan sakit. Kalau kamu sakit kamu tidak akan bisa menjaga dan merawat Tegar.”

Mungkin benar yang dikatakan Ibu Dewi kalau Ziya harus punya banyak tenaga agar bisa menjaga dan merawat Tegar.

 “Kamu percayakan sama Ibu? Ibu akan menjaga Tegar dengan sebaiknya. Sekarang kamu coba istirahat dulu, paling tidak tidur 2 atau 3 jam agar kamu punya tenaga lebih banyak lagi!” ucap Ibu Dewi dengan senyum merekah.

Tidak lama setelah perdebatan itu, ada seseorang yang datang dan mengucapkan salam.

“Assalamualaikum?” sapa seseorang yang sudah pasti dikenali oleh Ziya.

Ziya langsung menoleh ke sumber suara dan dengan tersenyum pria itu sudah berdiri di depan pintu. Ya, pria kalem itu bernama Biantara Mahesa. CEO  salah satu perusahaan dan pemilik restoran tempat Ziya bekerja.

“Waalaikumussalam,” jawab Ziya seraya tersenyum melihat kedatangan Bian-Bos ditempat kerjanya.

Bian mendekat ke arah Ziya dan memberikan tote bag berisi kue dan makanan yang ia bawa dari restorannya.

“Wah, saya merepotkan Bapak ini,” keluh Ziya sambil menatap barang bawaan Bian.

“Terimakasih, Pak Bian,” Bu Dewi ikut menimpali.

“Sama-sama, Bu.” Bian tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai rasa hormat.

Ziya mempersilahkan Bian untuk duduk dan disetujui oleh lelaki tampan berlesung pipi itu. Siapa saja mungkin tidak akan berpaling ketika melihat senyum di wajahnya.

Bian termasuk pria yang banyak di idolakan di kampung itu karena parasnya yang tampan dan sopan membuat siapa saja menginginkan jadi pendamping hidupnya. Di usianya sudah menginjak ke 28 tahun tapi masih melajang, sebenarnya bukan tidak ingin menikah namun Bian belum menemukan seseorang yang dapat membuat jantungnya berdetak dengan kencang selain Ziya.

Hanya Ziya gadis yang bisa membuat jantung Bian tidak sehat. Namun Bian terlalu pengecut untuk mengatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta pada gadis cantik itu. Bagi Bian, Ziya adalah gadis yang sulit digapai karena selalu menghindarinya. Entah, apa yang membuat Ziya seperti itu. Bian hanya bisa menunggu keajaiban datang dan mempertemukan dirinya dan Ziya. Mungkin konyol sekali menunggu, sedangkan yang ditunggu tidak tahu. Bian percaya suatu saat dia akan bisa memiliki Ziya dengan selalu menyelipkan nama Ziya dalam doa di sepertiga malamnya.

Keduanya kini duduk berhadapan di karpet, Ziya tidak meyangka Bos-nya itu akan datang. Bian sempat tertegun dengan penglihatannya, Ziya gadis yang belum pernah menikah dan punya anak tapi dia tidak canggung saat mengendong keponakannya itu. Belum sempat berbicara tiba-tiba Bu Dewi sudah datang dengan membawa minuman dan kue basah di dalam piring. 

“Silahkan diminum dan cicipin!” ujar Bu Dewi seraya menjulurkan jari jempolnya menunjuk hidangannya dengan sopan.

“Terima kasih Bu.”

Bian berbicara dengan sopan seraya diangguki oleh Ibu Dewi sebelum pergi meninggalkan ruang tamu itu.

“Maaf ya, Pak? Saya sudah lama liburnya.”

Ziya memulai pembicaraan setelah saling terdiam beberapa saat dengan wajah sendu, merasa bersalah.

“Sudah kamu gak perlu pikirkan itu! Bagaimanapun kamu masih dalam kondisi berkabung dan saya pasti akan mengerti,” balas Bian santai sesekali memandang Ziya yang kadang memandangnya kadang memandang bayi dalam gendongannya.

Bian tahu sekarang Ziya memiliki tugas untuk menjaga keponakannya itu, mungkin dia juga tidak tahu apa Ziya setelah ini akan bekerja lagi di tempatnya.

“Siapa namanya?”

Ziya mendongakkan kepalanya memandang Bian yang sedang memandang Tegar.

“Tegar Wijaya,” jawab Ziya tersenyum tipis.

“Nama yang bagus,” gumam Bian yang masih belum mengalihkan pandangan dari bayi tampan dalam gendongan Ziya.

Ziya ikut tersenyum mendengar pujian dari Bian namun detik kemudian raut wajahnya berubah sedih. “Tapi sayang, Kak Zoya tidak ada bersama anaknya ini!” keluh Ziya seraya membelai pipi Tegar kemudian mengecup keningnya yang sedang tertidur.

Bian sangat paham dan mengerti atas semua yang menimpa Ziya dan Kakaknya-Zoya karena memang Bian masih tinggal di kampung yang sama dengan mereka. Hanya status Bian yang lebih baik dari mereka.

“Kalau kamu perbolehkan ... saya mau jadi Ayah sambungnya!”

Bersambung.......

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status