Ziya menghentikan tangannya yang sedang mengusap pipi Tegar dan langsung mengalihkan pandangan ke mata Bian yang juga memandangnya.
Untuk sesaat kedua mata saling memandang dalam diam.
Oek ... oek ... oek ...
Suara tangis Tegar membuyarkan dua orang yang saling terdiam itu.
“Cup, cup, sayang. Ini minum susu dulu ya!”
Ziya memberikan botol berisi susu pada mulut Tegar, dengan gerakan cepat Tegar mengenyot ujung botol susu tersebut. Seakan lupa dengan ucapan Bian, Ziya tidak mempertanyakan kembali.
“Saya boleh gendong?” tanya Bian dengan wajah tulus membuat Ziya lagi-lagi hanya bisa tertegun.
“Bapak bisa?” Ziya bertanya untuk memastikan keinginan Bian.
“Saya pernah gendong anak yang lebih besar dari Tegar, kalau seumuran dia belum tapi saya mau mencobanya,” sahut Bian penuh percaya diri.
“Kalau kamu gak boleh juga tidak masalah koq,” imbuh Bian lagi karena menunggu Ziya tidak juga menyerahkan bayinya.
Ziya memberikan Tegar pada Bian, refleks Bian langsung menerimanya. Secera tidak sadar wajah mereka saling berdekatan. Ziya langsung memundurkan diri saat sadar jarakna terlalu dekat. Dia selalu tidak percaya diri ketika ada seseorang menatapnya apalagi dari jarak dekat bukan tidak cantik tapi dia lebih cantik dari gadis pada umumnya di kampung itu.
“Menurut kamu, apa saya sudah pantas menjadi Ayah sambungnya ...?”
Bian tidak sempat berpikir panjang ketika kata-kata itu meluncur bebas tanpa hambatan dari bibirnya.
Ziya langsung membola matanya mendengar penuturan Bian. Secepat kilat dia membuang pandangan ke sembarang arah untuk menghindari tatapan Bian.
Namun sepertinya Tegar tidak bisa mudah beradaptasi dengan orang baru, buktinya bayi itu beberapa kali mengeliat dan sedikit merenggek.
Ziya langsung mengambil Tegar dalam gendongan Bian. Sikap yang sama ketika waktu itu Bu Dewi mengendong Tegar tapi keponakannya itu menangis.
Bian memahami situasi yang sedang dihadapi Ziya cuman ada kekhawatiran juga kalau nanti Ziya akan sulit percaya sama orang lain sedangkan dia mesti butuh bantuan orang lain. Seakan larut dalam pemikirannya sendiri Bian tidak mendengar panggilan Ziya.
“Pak ....”
Ziya memanggil pelan nama pria di depannya yang sepertinya sedang melamun itu.
“Pak Bian.” Ziya mengulangi panggilannya dan melambaikan tangannya di depan muka Bian. Baru seketika itu Bian tersadar.
“Eh, maaf,” ucap Bian cepat seraya memperbaiki posisi duduknya, merutuki dirinya sendiri bisa-bisanya dia melamun saat berada gadis yang dia sukai.
Keduanya saling terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya Ziya gadis yang periang namun ketika berhadapan dengan seorang pria dia jadi sulit mengexpresikan dirinya sendiri. Perlakuan tidak baik sang Kakak ipar pada Kakaknya membuat dia jadi ketakutan sendiri kalau dia akan mengalami nasib sang sama dengan Zoya. Makanya Ziya selalu membatasi pergaulannya dengan lawan jenis apalagi dalam agamanya tidak dibenarkan juga.
Bu Dewi mendekat dan ikut duduk di samping Ziya ketika melihat dua orang yang saling terdiam.
“Pak Bian, silahkan dicicipi jangan dianggurin saja!” celetuk Bu Dewi yang membuat Ziya dan Bian kaget dan langsung menoleh pada sumber suara.
“Ah, iya,” jawab Bian tersenyum canggung pada Bu Dewi.
Bu Dewi dulu yang mencicipi kuenya di susul Bian. Merasa tidak enak hati, sudah disugguhkan tapi belum juga dimakan. Dengan adanya Bu Dewi suasana menjadi berubah sedikit santai tidak canggung seperti tadi.
“Restorannya bagaimana, Pak? Pasti kekurangan tenaga karena Ziya tidak masuk kerja?” terka Bu Dewi seraya melirik ke arah Ziya yang berwajah datar.
“Saya bisa memaklumin kondisi Ziya sekarang masih sedih Bu, jadi tidak usah khawatir masalah pekerjaan karena saya masih bisa menghandlenya,” balas Bian meyakinkan Ziya kalau semuanya baik-baik saja.
“Maaf ya, Pak. Saya juga tidak tahu apa masih bisa bekerja lagi di restoran. Tapi saya juga butuh-”
Ziya tidak mengatupkan ucapannya dan memandangi bayi tampannya. Seakan mengatakan bagaimana dengan Tegar kalau dia bekerja.
“Sudah, kamu tidak perlu pikirkan. Tegar biar Ibu yang jaga nanti kalau kamu pulang baru sama kamu. Bagaimana?” Bu Dewi langsung paham yang dimaksud Ziya. Gadis itu butuh kerja untuk mendapatkan uang tapi dia juga harus menjaga Tegar.
Mungkin benar juga yang dikatakan Bu Dewi, tapi apa dia bisa percaya dengan Bu Dewi untuk menjaga Tegar sedangkan dia sudah berjanji pada Zoya untuk tidak meninggalkan anaknya apapun yang terjadi.
“Maaf, Bu ...,” Ziya memandang ke arah Bu Dewi dan tidak melanjutkan ucapannya sambil menggigit bibir bawahnya tidak yakin mau membantah adalah pilihan yang benar. Setelah itu langsung beralih menatap Bian yang sedang menatapnya juga.
“Pak, mohon maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya ini keterlaluan buat Anda?”
“Apa itu, Ziya?” tanya Bian penasaran melihat wajah Ziya yang cemas.
“Bisa tidak kalau saya bawa Tegar ke restoran?”
Bian memutar bola matanya mendengar ucapan Ziya. Masih belum paham pola pikir gadis di depannya ini. “Trus bagaimana kamu akan bekerja kalau Tegar bersamamu?” tanya Bian dengan hati-hati takut akan membuat Ziya berprasangka tidak baik. Karena umumnya perempuan akan sensitif ketika sedang bersedih.
“Tidak bisa Ziya!” seru Bu Dewi sedikit menaikkan suaranya tidak menyetujui ide Ziya yang konyol.
“Kamu mau gendong sama melayani tamu yang mau makan, hah?” imbuh Bu Dewi sedikit kesal dengan ola pikir Ziya.
“Bu, saya tidak bisa meninggalkan Tegar! Bagaimana janji saya dengan Kak Zoya,” jawab Ziya ketus.
“Iya, Ibu tahu tapi, Ziya. Tapi itu sama saja kamu mencelakakan Tegar kalau seperti itu!” bantah Bu Dewi dengan emosi. Dia tidak akan menyangka kalau Ziya begitu keras kepala.
“Sudah deh, Bu. Ini jadi urusan saya, dan jangan campuri lagi,” tegas Ziya dengan mengernyitkan kening sebelum memutar bola mata malas memandang Bu Dewi.
Bian dari tadi hanya diam saja tanpa bersuara, tapi melihat Ziya yang keras kepala begitu membuatnya gerah juga.
“Maaf, kalau mungkin saya akan ikut campur di sini. Akan tetapi yang dibilang sama Bu Dewi itu benar, kamu bisa membuat Tegar tidak terlindungi kalau seperti itu. Harusnya Tegar tetap di rumah dan di jaga dengan baik.”
“Oh, jadi Bapak tidak setuju juga saya kerja membawa Tegar?” tanya Ziya dengan wajah sinisnya.
“Bukan begitu maksuk saya, Zi-“
“Ya sudah deh, saya tidak akan kerja lagi di tempat Bapak. Saya akan cari kerja di tempat lain yang bisa memperbolehkan membawa Tegar,” putus Ziya kemudian pergi dari ruangan itu.
“Ziya, bukan maksud saya seperti itu.”
Ziya masih bisa mendengar teriakan Bian untuknya tapi hati Ziya sudah terlanjur sakit hati makanya dia memilih pergi dengan membawa kekecewaan. Dia hanya memastikan bisa bersama-sama dengan Tegar apapun yang terjadi sesuai yang dia janjikan pada Zoya.
“Sudahlah, Pak. Percuma bicara sekarang sama Ziya. Kondisinya sedang sangat buruk jadi dia hanya memikirkan dengan hati bukan dengan yang seharusnya, dia pikir itu yang terbaik padahal itu sama saja menjerumuskan dirinya dan Tegar ke dalam penderitaan,” ujar Bu Dewi merasa sedih dan juga kecewa dengan Ziya secara bersamaan.
“Itulah yang saya takutkan, Bu. Dia tidak akan mudah percaya dengan orang lain dan bertindak semaunya sendiri,” sambung Bian menatap tajam ke ruangan dalam, di mana Ziya berada.
“Ibu juga binggung bagaimana cara menyadarkannya. Kalau sudah keras kepala tidak ada yang berani mendekat,” keluh Bu Dewi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ziya dulu tidak begitu, setiap tindakan yang dia ambil harus dipikirkan benar-benar antara positif dan negatifnya. Tetapi sejak perceraian Zoya dan sikap Kienan yang buruk itu, mempengaruhi pola pikir Ziya,” gumam Bu Dewi dengan menghela napas berat.
Bian melirik pergelangan tangannya, sudah hampir 2 jam dia berada di tempat itu dan sepertinya Ziya juga sedang tidak dalam keadaan baik untuk diajak bicara.“Sepertinya saya harus pamit karena sudah lama juga saya di sini,” ujar Bian sambil tersenyum tipis sebelum berdiri untuk meninggalkan rumah itu.“Iya. Terimakasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk datang dan saya minta maaf atas sikap Ziya ya, Pak?” ungkap Bu Dewi, merasa tidak enak hati dengan Bian.“Tidak pa-pa, Bu. Biarkan dia menjernihkan pikirannya dulu. Nanti kapan-kapan saya akan datang lagi,” balas Bian seraya menyunggingkan senyum ramah kemudian berpamitan pada Bu Dewi.Bu Dewi mengantar kepergian Bian sampai menghilang dari pandangannya setelah masuk ke dalam mobilnya.“Andai, pria itu mau menjadi suami Ziya. Pasti mereka akan menjadi keluarga yang bahagia,” gumam Bu Dewi yang tidak tahu kalau Bian sudah menawarkan menjadi Ayah sa
Semalaman Ziya tidak bisa tidur karena memikirkan akan berjualan apa. Mendadak ide berjualan kue Donat langsung ada dipikirannya.“Oke, aku akan jualan kue Donat.” Berseru dalam hati.Tidak lama terdengar suara rengekkan Tegar. Dan ini yang ke lima kalinya bayi itu merengek. Setelah sebelumnya haus dan pampersnya yang minta diganti karena sudah penuh. Dengan cekatan Ziya mengecek apa yang terjadi dengan keponakannya itu. Melihat pampersnya masih kering, dia buru-buru membuatkan susu dan ternyata memang dia sedang menginginkan susu.Susu sudah habis tapi Tegar masih belum tenang. Terpaksa Ziya bangun, melihat jam di dinding juga sudah mau Subuh. Ziya mengendongnya dan membawa ke teras depan. Perlahan matanya terbuka dan mulutnya yang mungil itu beberapa kali menguap.“Mungkin dia masih mengantuk dan minta digendong,” suara Bu Dewi sudah berada di samping Ziya yang melihat Tegar yang kemudian membelai pipinya.“Bu
Ziya sudah berhasil ditangani oleh Dokter dan itu membuat Bian bernapas lega. Dia sendiri binggung kenapa dirinya sampai sekhawatir itu padahal secara tidak langsung gadis itu sudah menolaknya, saat Bian menawarkan menjadi Ayah sambung bagi Tegar.Namun ingatan Bian kembali pada seseorang yang dicintainya di masa lalu. Kenapa dia harus bertemu di sini. Seakan Bian melupakan sesuatu, dia baru tersadar bahwa di rumah sakit ini tempat kerjanya. Tadi tanpa pikir panjang langsung saja membawa Ziya ke rumah sakit terdekat dan ternyata sama dengan tempat kerjanya.“Hai, apa kabar Bi?”Suara merdu yang tidak akan pernah Bian lupakan sejak kepergiannya 3 tahun yang lalu. Mendekat ke arah Bian yang sedang duduk di depan ruang ICU. Gadis itu dengan teganya meninggalkannya demi obsesi orangtuanya. Mungkin dulu dia pernah tidak terima diperlakukan tidak baik tapi sekarang dia sudah berdamai dengan hatinya untuk menerimanya.“Baik.” Bian mengelu
“Kondisi Mbk Ziya, Alhamdulillah sudah membaik dan tolong dijaga kesehatannya ya. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup,” ucap sang Dokter tersenyum tipis pada Ziya yang sekarang sudah terlihat segar daripada sebelumnya. Mungkin karena pengaruh infus yang membuatnya terlihat lebih baik dari sebelumnya.“Terimakasih, Dok?” ucap Ziya seraya menganggukan kepalanya.“Lalu apakah bisa pulang sekarang, Dok?” Bian yang tadinya ikut menganggukan kepala sekarang bertanya. Pertanyaan yang sama dibenak Ziya.“Boleh,” jawab Dokter tegas kemudian memandang bergantian ke arah Ziya dan Bian.“Tapi tolong selesaikan administrasinya dulu,” kali ini sang Dokter sedikit memberikan tawa tipis.“Baik, Dok. Terimakasih,” balas Bian menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dan disambut oleh sang Dokter.Setelahnya sang Dokter pergi meninggalkan ruangan tersebut. Bian berpesan
“Kenapa melamun?” sentak Bian yang memandang Ziya sejak beberapa menit yang lalu.Ziya terlihat binggung harus mengatakan apa, yang bisa dilakukan adalah diam tanpa menjawab dengan pandangan ke jalanan di depannya.“Ah, belanjaanku bagaimana? Apa aku tanyakan saja ya?” batin Ziya.“Pak Bian, Di mana menolong saya pingsan tadi?”“Kenapa?”“Ah, saya cuman penasaran saja kenapa bisa ketemu Bapak?” ucap Ziya berbohong sebenarnya dia ingin tahu keberadaan barang belanjaannya saja. Kalau dia belanja lagi pasti butuh uang lagi, sedangkan dia harus menghemat pengeluaran.“Saya tidak sengaja melihatmu di toko sembako pinggir jalan. Lalu saya ikuti kamu dari jauh dan tiba-tiba kamu pingsan,” jelas Bian.“Lalu barang belanjaan saya, bagaimana?” seru Ziya keceplosan.“Oh, jadi kamu mau bertanya barang belanjaan tadi itu?”“Ah, bukan
Penolakan Ziya, membuat Kienan meradang. Sekarang ia semakin penasaran tentang kehidupan mantan istri dan adik iparnya itu. Masih di tempat yang sama, secara tegas Kienan memerintah pada asistennya yang bernama, Bram untuk menyelidiki semua yang berkaitan dengan mantan istrinya itu.“Secepatnya cari informasinya. Dan besok pagi informasi itu harus sudah saya terima,” ucap Kienan pada sang asisten. Setelah itu dia bergerak meninggalkan rumah yang menurutnya berukuran seperti kamar pribadinya.Tentunya bukan sesuatu yang sulit bagi Kienan untuk menyelidiki seseorang, karena kuasa dan uang ada ditanggannya.Sosok Kienan Moreno adalah, pria tampan, mapan dan berwatak dingin. Setelah menikah dengan Zoya sifatnya tidak berubah bahkan terkadang menyebalkan juga. Tak jarang Zoya selalu mengeluhkan sikap suami yang sering mengacuhkannya seolah dia menikah dengan Zoya adalah keterpaksaan, padahal Ziya tahu kalau Kienan sendiri yang meminta langsung pada sang P
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan membaur dengan mobil-mobil lain yang kondisinya sedikit macet. Di belakang mobil Ziya ada 2 mobil lagi yang sedang mengawalnya. Tidak mau terjadi sesuatu dengan Ziya, sang Tuan memberikan pengaman ekstra. Sedangkan Ziya patuh saja dengan mobil yang membawanya meski tidak paham dengan arah jalanan yang dilaluinya dan tidak menaruh curiga sedikitpun pada mobil di belakangnya yang selalu mengikuti. Semua dia serahkan pada seseorang di balik kemudinya.Ziya sempat bertanya dalam hati, sang pengemudi mengenakan seragam seperti seorang driver. Namun dia tidak ambil pusing. Bisa jadi ini adalah suami dari teman pengajian Bu Dewi.“Terimakasih ya, Pak. Atas bantuannya meski saya tidak mengenal Bapak ataupun istri Bapak, tapi saya yakin istri Bapak pasti sebaik Bu Dewi,” ucap Ziya tersenyum seraya membenarnya posisi tidur Tegar.Sang driver hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan karena dia sudah dibe
Entah bagaimana Kienan menyiapkan semuanya ini. Ketika Ziya masuk ke dalam kamar sesuai arahan asisten rumah tangga yang tadi membawa barang-barang Ziya, matanya takjub melihat isi dalam kamar tersebut. Dia bukan tidak pernah melihat semua barang-barang mewah ini bahkan dulu dia pernah memilikinya. Namun sekarang kemewahan itu sudah tidak penting lagi, mengingat toh dia juga tidak akan memilikinya lagi. Kamar yang luas, ada box bayi, ada lemari bayi dan beberapa peralatan mandi bayi.“Non Ziya bisa saya bantu saja buatkan susunya?” tawar asisten rumah tangga tersebut, yang diperkirakan umurnya di bawahnya. Sementara Ziya sedang menenangkan Tegar dalam gendongan.Sang asisten itu dengan cekatan langsung membuatkan susu sesuai dengan arahan Ziya. Tak lama susu sudah siap dan langsung diberikan pada Tegar. Bayi itu dengan sangat cepat menghabiskan satu botol susu itu, mungkin karena rasa hausnya yang sudah tidak bisa ditahan. Setelah itu, perlahan matany