Bian melirik pergelangan tangannya, sudah hampir 2 jam dia berada di tempat itu dan sepertinya Ziya juga sedang tidak dalam keadaan baik untuk diajak bicara.
“Sepertinya saya harus pamit karena sudah lama juga saya di sini,” ujar Bian sambil tersenyum tipis sebelum berdiri untuk meninggalkan rumah itu.
“Iya. Terimakasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk datang dan saya minta maaf atas sikap Ziya ya, Pak?” ungkap Bu Dewi, merasa tidak enak hati dengan Bian.
“Tidak pa-pa, Bu. Biarkan dia menjernihkan pikirannya dulu. Nanti kapan-kapan saya akan datang lagi,” balas Bian seraya menyunggingkan senyum ramah kemudian berpamitan pada Bu Dewi.
Bu Dewi mengantar kepergian Bian sampai menghilang dari pandangannya setelah masuk ke dalam mobilnya.
“Andai, pria itu mau menjadi suami Ziya. Pasti mereka akan menjadi keluarga yang bahagia,” gumam Bu Dewi yang tidak tahu kalau Bian sudah menawarkan menjadi Ayah sambung bagi Tegar, tapi tidak ditanggapi oleh Ziya.
Sementara di dalam kamar, Ziya sedang merebahkan dirinya bersama dengan Tegar. Keponakannya itu sedang tertidur pulas setelah minum susu. Belum banyak yang dilakukan bayi itu mengingat umurnya yang masih 7 hari. Paling hanya menangis dan merengek yang bisa dilakukan.
Meski matanya terpejam, namun pikiran Ziya terganggu dengan ucapan Bu Dewi tadi. Ibu pemilik rumah kontrakan itu tidak memperbolehkan membawa Tegar di tempat kerja. Sedangkan dia butuh kerja untuk melanjutkan hidupnya dan Tegar. Di lain sisi dia juga tidak bisa berada jauh dari keponakannya itu.
Tapi mendadak dia bimbang, di mana pekerjaan yang boleh membawa serta bayi. Bian saja yang sudah mengenal baik dan lama tidak mengijinkan apalagi untuk orang yang baru saja dia kenal.
Ziya bekerja di restoran milik Bian. Pertemuan dengan Bian waktu itu juga bukan kesengajaan. Waktu itu Ziya yang berencana ingin mencari pekerjaan, dia melihat sebuah restoran yang akan buka. Di depan restoran tersebut ada seorang pria yang sedang membersihkan lantai. Entah keberanian darimana tiba-tiba Ziya mendekati orang tersebut dan menanyakan apa ada lowongan pekerjaan. Ziya juga menambahkan kata-kata, semua pekerjaan dia akan lakukan meski dia belum tentu bisa melakukannya. Dalam pikirannya, yang penting dia dapat pekerjaan dulu. Kalau ternyata dia tidak bisa, itu urusan belakangan karena dia akan mencobanya dan belajar untuk bisa.
“Maaf, Mbk. Saya kurang tahu, tapi kalau mau silahkan tanya di dalam saja!” usul pria tersebut sebelum memberikan senyuman ramah pada Ziya.
Dengan percaya diri, Ziya masuk ke dalam restoran yang masih belum buka itu. Setelah sampai di dalam dia bertemu dengan seorang pramusaji terlihat dari baju seragam yang ia kenakan, “Maaf Mbk, restoran belum buka,” ucapnya sopan.
“Mbk maaf, saya bukan mau makan tapi mau tanya apa ada lowongan di sini? Jadi tukang cuci piringpun gak papa,” tambah Ziya memasang wajah memelas agar bisa diterima.
“Ada apa ini?” tiba-tiba suara Bian hadir di antara kedua orang gadis itu.
“Pak Bian, ini Mbk nya cari lowongan pekerjaan,” jawab pramuniaga tersebut menunjuk ka arah Ziya yang berdiri di depannya.
Bian memandang gadis tersebut dan melihatnya intens. Dari wajah, cara berpakaian dan kulitnya dia bukan dari orang susah yang kebanyakan Bian lihat saat seseorang meminta pekerjaan darinya. Bagaimanapun Bian sering bertemu dengan orang baru, dari kalangan bawah, menengah sampai elite. Jabatannya sebagai CEO pada perusahaan yang baru dia rintis selama 5 tahun ini, membuatnya bisa dengan mudah menilai orang yang baru dia kenal.
“Saya pemilik restoran ini dan kamu saya terima menjadi waitres di tempat ini.” Itulah ucapan Bian atas pertanyaan Ziya. Gadis itu sampai melongo mendengarnya, dia langsung diterima bekerja.
“Kenapa? Apa ada yang salah?”
“Ehm ... gak ada, Pak. Terimakasih,” ucap Ziya gugup seraya menganggukan kepalanya, masih belum sepenuhnya percaya karena dia bisa langsung diterima saat dia sangat membutuhkannya.
Dari situ Ziya mulai belajar bagaimana melayani pengunjung yang akan makan di tempat. Parasnya yang cantik dan ramah, seakan menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik banyak pengunjung. Terbukti baru satu bulan Ziya bekerja, banyak pengunjung yang datang ke restoran untuk makan di tempat dan itu berimbas pada pendapatan yang meningkat.
Setelah berselancar dengan mengingat masa lalu, mendadak Ziya bangun dan menuju ke lemari yang berada di sisi ranjangnya. Membuka sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang. Uang dari hasil para pelayat yang datang untuk taziah.
“Semakin lama uang ini akan habis. Untuk biaya makan, beli susu, pampers Tegar dan biaya sehari-hari. Tapi ke mana lagi aku harus mencari kerja,” lirihnya seraya menghitung ulang jumlah uang tersebut yang ternyata jumlahnya ada 2 juta rupiah. Dulu uang 2 juta hanya sedikit baginya, tapi sekarang uang itu sangat besar sekali.
Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan Ziya dan berdiri, Ibu Dewi di ambang pintu.
“Masuk, Bu!”
Bu Dewi masuk ke dalam kamar dan menuju ranjang, di mana Tegar masih terlelap. Mendudukkan diri di tepi ranjang.
“Kamu masih marah sama Ibu?” tanya Bu Dewi tersenyum simpul menatap Ziya yang berjalan mendekatinya.
“Aku cuman gak mau jauh dari Tegar!” pandangan Ziya ke arah Tegar yang masih tidak terusik dengan adanya obrolan dua orang dewasa itu.
“Ibu tahu dan paham tapi bagaimana kamu akan mencari pekerjaan kalau membawa Tegar? Tolong kamu pikirkan itu juga!”
Ziya mengembuskan napas kasar. Pikirannya sekarang jadi bimbang antara berjualan atau bekerja kembali pada restoran Bian. Lalu pandangan mata Ziya tertuju pada amplop di tangannya. Rencana dia akan memakai sedikit uang tersebut untuk berjualan, dengan begitu dia masih tetap bisa bersama dengan Tegar.
“Apa isi amplop itu, Ziya?” tanya Bu Dewi penasaran karena Ziya meletakkan di pangkuannya.
Ziya langsung mengikuti arah pandang Bu Dewi di pangkuannya. “Ini isinya uang yang dari tetangga-tetangga, Bu. Saya ada rencana mau berjualan tapi masih binggung jualan apa.”
“Jualan?” Bu Dewi menyipitkan mata memastikan ucapan Ziya.
“Iya, maksudnya saya mau berjualan saja daripada harus kerja di restoran.”
Ada guratan kesedihan di mata sendu itu. Keputusan untuk berjualan demi bisa bersama dengan Tegar.
“Kamu mau jualan apa? Di mana?”
“Belum tahu, Bu. Ini masih dipikirkan.”
Tiba-tiba pandangan Ziya beralih pada bayi tampan yang sedang merengek. Langsung saja berdiri dan membuatkan susu setelah itu menyodorkan pada bibirnya mungilnya yang sudah tidak sabar untuk mengenyot ujung botol tersebut.
“Sabar, sayang! Minumnya pelan-pelan saja tidak ada yang minta koq!” ucap Ziya seraya membelai kening sang bayi di tengah aktifitasnya minum susu dalam botol.
Melanjutkan pembicaraan dengan Bu Dewi, sekilas Ziya menoleh pada Ibu paruh baya tersebut. Namun sebelum Ziya sempat berucap, Bu Dewi melanjutkan pembicaraannya.
“Ibu rasa kamu kembali saja kerja di restoran, biar Tegar Ibu yang jaga. Dan lagi Pak Bian orang baik kalau sewaktu-waktu kamu ingin pulang untuk melihat Tegar, pasti beliau tidak akan keberatan!”
“Tolong kamu jangan egois, Tegar butuh kamu untuk menjaganya. Namun itu bisa digantikan oleh orang lain yang bisa kamu percaya. Tegar juga butuh susu untuk bertahan hidup, kalau kamu tidak bisa membeli susu bagaimana dengannya?” imbuh Bu Dewi.
Ziya hanya bergeming menanggapi semua ucapan Bu Dewi. Entah dia berpikir atau cuek saja tidak ada yang tahu. Semua pikirannya hanya dipenuhi oleh pesan terakhir Zoya. Paling tidak dia ingin memberikan kebahagiaan untuk Zoya dengan tidak meninggalkan anaknya dan hati kecilnya mengatakan dia akan selalu berada di samping bayi tampan ini.
“Bu, aku akan coba berjualan dulu. Untuk selanjutnya nanti aku pikirkan lagi.”
Mata Ziya seolah menyiratkan keyakinan penuh dan sekarang Bu Dewi yang tidak bisa melakukan apa-apa lagi kalau Ziya sudah berkeras seperti itu. 2 tahun mengenal Ziya Bu Dewi sudah bisa membaca watak Ziya yang keras kepala, dia akan mencoba sesuai dengan keyakinannya dulu sebelum memutuskan menggunakan ide orang lain.
“Semoga kamu mendapatkan jodoh orang baik sehingga bisa menjagamu dan Tegar nantinya,” gumam Bu Dewi seraya menyentuh punggung tangan Ziya.
“Aku tidak berminat untuk menikah, Bu.”
Bersambung....
Semalaman Ziya tidak bisa tidur karena memikirkan akan berjualan apa. Mendadak ide berjualan kue Donat langsung ada dipikirannya.“Oke, aku akan jualan kue Donat.” Berseru dalam hati.Tidak lama terdengar suara rengekkan Tegar. Dan ini yang ke lima kalinya bayi itu merengek. Setelah sebelumnya haus dan pampersnya yang minta diganti karena sudah penuh. Dengan cekatan Ziya mengecek apa yang terjadi dengan keponakannya itu. Melihat pampersnya masih kering, dia buru-buru membuatkan susu dan ternyata memang dia sedang menginginkan susu.Susu sudah habis tapi Tegar masih belum tenang. Terpaksa Ziya bangun, melihat jam di dinding juga sudah mau Subuh. Ziya mengendongnya dan membawa ke teras depan. Perlahan matanya terbuka dan mulutnya yang mungil itu beberapa kali menguap.“Mungkin dia masih mengantuk dan minta digendong,” suara Bu Dewi sudah berada di samping Ziya yang melihat Tegar yang kemudian membelai pipinya.“Bu
Ziya sudah berhasil ditangani oleh Dokter dan itu membuat Bian bernapas lega. Dia sendiri binggung kenapa dirinya sampai sekhawatir itu padahal secara tidak langsung gadis itu sudah menolaknya, saat Bian menawarkan menjadi Ayah sambung bagi Tegar.Namun ingatan Bian kembali pada seseorang yang dicintainya di masa lalu. Kenapa dia harus bertemu di sini. Seakan Bian melupakan sesuatu, dia baru tersadar bahwa di rumah sakit ini tempat kerjanya. Tadi tanpa pikir panjang langsung saja membawa Ziya ke rumah sakit terdekat dan ternyata sama dengan tempat kerjanya.“Hai, apa kabar Bi?”Suara merdu yang tidak akan pernah Bian lupakan sejak kepergiannya 3 tahun yang lalu. Mendekat ke arah Bian yang sedang duduk di depan ruang ICU. Gadis itu dengan teganya meninggalkannya demi obsesi orangtuanya. Mungkin dulu dia pernah tidak terima diperlakukan tidak baik tapi sekarang dia sudah berdamai dengan hatinya untuk menerimanya.“Baik.” Bian mengelu
“Kondisi Mbk Ziya, Alhamdulillah sudah membaik dan tolong dijaga kesehatannya ya. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup,” ucap sang Dokter tersenyum tipis pada Ziya yang sekarang sudah terlihat segar daripada sebelumnya. Mungkin karena pengaruh infus yang membuatnya terlihat lebih baik dari sebelumnya.“Terimakasih, Dok?” ucap Ziya seraya menganggukan kepalanya.“Lalu apakah bisa pulang sekarang, Dok?” Bian yang tadinya ikut menganggukan kepala sekarang bertanya. Pertanyaan yang sama dibenak Ziya.“Boleh,” jawab Dokter tegas kemudian memandang bergantian ke arah Ziya dan Bian.“Tapi tolong selesaikan administrasinya dulu,” kali ini sang Dokter sedikit memberikan tawa tipis.“Baik, Dok. Terimakasih,” balas Bian menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dan disambut oleh sang Dokter.Setelahnya sang Dokter pergi meninggalkan ruangan tersebut. Bian berpesan
“Kenapa melamun?” sentak Bian yang memandang Ziya sejak beberapa menit yang lalu.Ziya terlihat binggung harus mengatakan apa, yang bisa dilakukan adalah diam tanpa menjawab dengan pandangan ke jalanan di depannya.“Ah, belanjaanku bagaimana? Apa aku tanyakan saja ya?” batin Ziya.“Pak Bian, Di mana menolong saya pingsan tadi?”“Kenapa?”“Ah, saya cuman penasaran saja kenapa bisa ketemu Bapak?” ucap Ziya berbohong sebenarnya dia ingin tahu keberadaan barang belanjaannya saja. Kalau dia belanja lagi pasti butuh uang lagi, sedangkan dia harus menghemat pengeluaran.“Saya tidak sengaja melihatmu di toko sembako pinggir jalan. Lalu saya ikuti kamu dari jauh dan tiba-tiba kamu pingsan,” jelas Bian.“Lalu barang belanjaan saya, bagaimana?” seru Ziya keceplosan.“Oh, jadi kamu mau bertanya barang belanjaan tadi itu?”“Ah, bukan
Penolakan Ziya, membuat Kienan meradang. Sekarang ia semakin penasaran tentang kehidupan mantan istri dan adik iparnya itu. Masih di tempat yang sama, secara tegas Kienan memerintah pada asistennya yang bernama, Bram untuk menyelidiki semua yang berkaitan dengan mantan istrinya itu.“Secepatnya cari informasinya. Dan besok pagi informasi itu harus sudah saya terima,” ucap Kienan pada sang asisten. Setelah itu dia bergerak meninggalkan rumah yang menurutnya berukuran seperti kamar pribadinya.Tentunya bukan sesuatu yang sulit bagi Kienan untuk menyelidiki seseorang, karena kuasa dan uang ada ditanggannya.Sosok Kienan Moreno adalah, pria tampan, mapan dan berwatak dingin. Setelah menikah dengan Zoya sifatnya tidak berubah bahkan terkadang menyebalkan juga. Tak jarang Zoya selalu mengeluhkan sikap suami yang sering mengacuhkannya seolah dia menikah dengan Zoya adalah keterpaksaan, padahal Ziya tahu kalau Kienan sendiri yang meminta langsung pada sang P
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan membaur dengan mobil-mobil lain yang kondisinya sedikit macet. Di belakang mobil Ziya ada 2 mobil lagi yang sedang mengawalnya. Tidak mau terjadi sesuatu dengan Ziya, sang Tuan memberikan pengaman ekstra. Sedangkan Ziya patuh saja dengan mobil yang membawanya meski tidak paham dengan arah jalanan yang dilaluinya dan tidak menaruh curiga sedikitpun pada mobil di belakangnya yang selalu mengikuti. Semua dia serahkan pada seseorang di balik kemudinya.Ziya sempat bertanya dalam hati, sang pengemudi mengenakan seragam seperti seorang driver. Namun dia tidak ambil pusing. Bisa jadi ini adalah suami dari teman pengajian Bu Dewi.“Terimakasih ya, Pak. Atas bantuannya meski saya tidak mengenal Bapak ataupun istri Bapak, tapi saya yakin istri Bapak pasti sebaik Bu Dewi,” ucap Ziya tersenyum seraya membenarnya posisi tidur Tegar.Sang driver hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan karena dia sudah dibe
Entah bagaimana Kienan menyiapkan semuanya ini. Ketika Ziya masuk ke dalam kamar sesuai arahan asisten rumah tangga yang tadi membawa barang-barang Ziya, matanya takjub melihat isi dalam kamar tersebut. Dia bukan tidak pernah melihat semua barang-barang mewah ini bahkan dulu dia pernah memilikinya. Namun sekarang kemewahan itu sudah tidak penting lagi, mengingat toh dia juga tidak akan memilikinya lagi. Kamar yang luas, ada box bayi, ada lemari bayi dan beberapa peralatan mandi bayi.“Non Ziya bisa saya bantu saja buatkan susunya?” tawar asisten rumah tangga tersebut, yang diperkirakan umurnya di bawahnya. Sementara Ziya sedang menenangkan Tegar dalam gendongan.Sang asisten itu dengan cekatan langsung membuatkan susu sesuai dengan arahan Ziya. Tak lama susu sudah siap dan langsung diberikan pada Tegar. Bayi itu dengan sangat cepat menghabiskan satu botol susu itu, mungkin karena rasa hausnya yang sudah tidak bisa ditahan. Setelah itu, perlahan matany
Ziya kembali ke kamar yang sempat ia tinggali beberapa jam yang lalu. Harapannya untuk bisa keluar dari rumah itu musnah sudah setelah Kienan mengerakkan beberapa orang untuk melakukan penjagaan ketat. Sedangkan Ziya untuk sekarang tidak mempunyai pilihan selain bertahan di rumah itu.“Oke, karena sekarang aku sudah ada di sini maka akan aku manfaatkan untuk mencari kelemahanmu. Dengan begitu akan lebih mudah aku membalas dendam atas nama Kak Zoya,” lirih Ziya tersenyum sinis.“Aku sungguh tidak sabar menunggu kehancuranmu, Kienan Moreno,” batin Ziya.“Jangan kamu pikir bisa melarikan diri dari rumah ini, Ziya!”Ziya tahu suara siapa orang yang berada di belakangnya saat ini, bahkan Ziya tidak ingin hanya untuk menoleh saja.“Jangan urusi saya, lebih baik urusi saja masalah, Anda!” balas Ziya sedang malas berdebat dengan Kienan.Dari ucapa