Share

Tidak Ada Hak

“Kondisi Mbk Ziya, Alhamdulillah sudah membaik dan tolong dijaga kesehatannya ya. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup,” ucap sang Dokter tersenyum tipis pada Ziya yang sekarang sudah terlihat segar daripada sebelumnya. Mungkin karena pengaruh infus yang membuatnya terlihat lebih baik dari sebelumnya.

“Terimakasih, Dok?” ucap Ziya seraya menganggukan kepalanya.

“Lalu apakah bisa pulang sekarang, Dok?” Bian yang tadinya ikut menganggukan kepala sekarang bertanya. Pertanyaan yang sama dibenak Ziya.

“Boleh,” jawab Dokter tegas kemudian memandang bergantian ke arah Ziya dan Bian.

“Tapi tolong selesaikan administrasinya dulu,” kali ini sang Dokter sedikit memberikan tawa tipis.

“Baik, Dok. Terimakasih,” balas Bian menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dan disambut oleh sang Dokter.

Setelahnya sang Dokter pergi meninggalkan ruangan tersebut. Bian berpesan kepada Ziya jangan keluar ruangan dulu tunggu sampai dirinya kembali dari menyelesaikan administrasinya. Ziya memberikan beberapa uang untuk biayanya, namun Bian menolaknya.

Hampir 15 menit kemudian, Bian kembali dengan membawa satu tas kresek di tangannya.

“Ayo, kita pulang!” ajaknya kemudian refleks mengulurkan tangannya untuk membantu Ziya bangun.

Ziya langsung menepis tangan Bian. Sedangkan Bian sadar bahwa sudah tanpa ijin menyentuh Ziya menjauhkan tangannya, padahal tanpa Ziya ketahui Bian tadi sudah memeluknya saat pingsan. Senyum tipis tersunging di bibir Bian.

“Bapak, kenapa tersenyum?” tanya Ziya dengan muka tegang.

“Ah ... gak ... ada,” jawab Bian gugup menatap Ziya dengan canggung.

Ziya menyipitkan matanya menyadari sesuatu yang aneh pada diri Bian, “Jangan bilang kalau Bapak tadi yang mengendong saya saat pingsan?”

Bian melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar pada pintu, bersiap menunggu Ziya yang masih belum juga beranjak dari ranjang setelah Bian mencoba mau membantunya tadi.

“Menurut kamu?”

“Ah, menyebalkan sekali Anda telah memanfaatkan kesempatan itu,” gerutu Ziya mulai bangun dari ranjang dan hendak berjalan menuju pintu keluar.

“Hey ... dari tadi saya belum dengar kamu mengucapkan terimakasih sama saya lho!”

Belum juga Ziya menjawab ucapan Bian, seorang perawat sudah berdiri di depan pintu dengan wajah tegang membawa kantong plastik.

“Ehm, maaf ini ada vitamin yang tertinggal di apotik tadi,” ucapnya dengan menyodorkan bungkusan tersebut pada Bian karena jarak yang paling dekat dengan Bian daripada Ziya.

“Ya, terimakasih,” jawab Bian dingin kemudian mengambil kasar bungkusan tersebut dan berjalan mendahului sang perawat yang masih tertegun itu.

Ziya merasa sikap Bian tidak sopan tapi ingin menanyakan ternyata langkah Bian sudah jauh di depan. “Maaf mungkin perlakuan Pak Bian kurang sopan?”

“Pak Bian?” ulang Maya merasa aneh dengan cara panggil gadis di depannya itu. Bukankah mereka sepasang kekasih, kenapa memanggil Pak.

“Suster Maya, maaf menganggu. Ada tamu di depan katanya ada yang harus di sampaikan karena Anda tidak menjawab panggilannya,” beritahu Suster Eli teman Maya di bagian yang sama.

“Oh ... ya, sebentar saya ke sana. Terima kasih, Sus,” jawab Maya seraya menganggukan kepala dengan sopan.

“Permisi saya tinggal dulu,” ucap Maya pada Ziya yang kemudian berjalan meninggalkan Ziya di depan pintu.

Ziya melanjutkan langkahnya untuk menghampiri Bian yang menunggunya dari kejauhan. Pria itu sedang duduk di salah satu kursi tunggu karena tadi sedang menghindari Maya.

Saat mata Ziya tidak sengaja melihat seseorang yang ia kenal, sedang berjalan menghampiri Suster yang tadi diajak bicara. “Apa hubungannya Suster itu dengan pria brengsek itu?” batin Ziya mengeratkan rahang dengan sorot mata tajam penuh kebencian.

Mungkin langkah awal aku harus cari tahu tentang Suster itu. Senyum menyeringai terpancar di bibir Ziya. Akan ada sedikit usaha untuk mendekatinya.

“Kamu, sampai kapan mau berdiri di situ?” suara teguran Bian membuyarkan lamunan Ziya. Tanpa banyak bicara dia melangkahkan kakinya lagi menuju pintu keluar rumah sakit.

Bian sengaja berjalan di belakang Ziya karena mengetahui kalau gadis itu pasti tidak akan nyaman berada di sebelah mantan Bos nya ini.

“Kamu tunggu di sini, saya ambil mobil dulu!” pinta Bian seraya menunjuk bangku di teras rumah sakit seolah menyuruh Ziya untuk duduk.

Dari posisi duduk Ziya saat ini, dia bisa melihat sepasang pria dan wanita yang sedang serius terlibat pembicaraan. “Kalau saja kamu tidak menceraikan Kak Zoya, mungkin dia akan meninggal dengan tenang karena ada Ayah kandungnya yang akan merawat anaknya. Tapi sekarang aku tidak akan mau menyerahkan keponakanku itu sama kamu. Jangankan menyerahkan, melihatpun tidak akan aku ijinkan kamu,” ujar Ziya melihat ke arah Kienan dengan tersenyum sinis.

Tin ... tin ... tin ...

Bunyi klakson mobil yang berhenti tepat di depan Ziya membuatnya kaget.

“Ck, dasar mantan Bos nyebelin. Aku koq baru tahu ya, kalau Pak Bian itu tidak sekalem yang aku kenal,” gerutu Ziya tak urung dia juga menghampiri mobil tersebut dan membuka pintu belakang.

Namun, hendak mendudukan diri tiba-tiba suara Bian menghentikan aktifitasnya, “Saya bukan supir kamu, Ziya. Apa perlu  diingatkan lagi kalau sa-”

“Iya, Anda adalah Bos saya, Pak Bian.” Ziya sudah memotong ucapan Bian.

“Lah itu tahu,” jawab Bian singkat.

Tanpa banyak protes lagi, selain itu dia juga ingin segera bertemu dengan Tegar. Baru beberapa jam saja sudah membuat Ziya seperti kebakaran jenggot. Ziya duduk di sebelah Bian yang sedang mengemudi.

Hening.

Sampai Ziya merasa bosan karena hanya berdiam diri saja. Mengingat perlakukan Bian terhadap Suster tadi membuat Ziya merasa gatal bibirnya untuk bertanya.

“Pak?”

“Hm ....”

“Apa Bapak mengenal Suster tadi?”

Bian menatap Ziya sekilas kemudian kembali menatap jalanan di depan.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Ya, saya merasa ... sikap Bapak tadi ...  tidak sopan ...,” ucap Ziya ragu-ragu sambil melirik Bian.

“Sikap mana yang menurut kamu tidak sopan?” tanya Bian tanpa menolah pada Ziya.

“Memang Bapak tidak merasa ya?”

Obrolan keduanya terhenti karena dering ponsel Bian.

“Iya, ada apa Rama?” Bian menjawab panggilan tersebut.

Rama adalah asisten Bian di PT Galaxi, perusahaan yang bergerak di bidang furniture. Selain sebagai pemilik restoran, Bian juga sebagai CEO di PT Galaxy.

“Ya, satu jam lagi saya sampai kantor,” ucap Bian lagi.

“Kalau Bapak repot saya bisa pulang sendiri koq,” celetuk Ziya setelah Bian memutus panggilan teleponnya.

“Saya antar kamu!”

Sesaat terjeda.

“Memang apa yang terjadi sehingga kamu pingsan seperti itu?”

Ziya berpikir sesaat, mencoba mengingat kejadian sebelum pingsan.

“Semalaman, saya tidak bisa tidur. Dan juga ditambah Tegar sering bangun minta susu dan saya mengganti popoknya.”

“Memangnya apa yang kamu pikirkan sampai tidak bisa tidur? Kalau Tegar tidur, harusnya kamu juga tidur.”

“Ah, saya cuman ... sulit tidur saja.” Ziya terlihat gugup kalau saja Bian tahu semalaman tidak tidur karena memikirkan mau jualan apa, pasti mantan Bos nya ini akan memarahinya.

Eh, marah? Memang ada hak apa Bian memarahinya, dia juga tidak bergantung hidup dengan Bian. Gejolak batin Ziya sampai berpikiran negatif seperti itu. Mereka tidak ada hubungan apa-apa dan tidak seharusnya Bian marah atas semua tindakan yang dilakukan Ziya.

Bersambung........

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status