Share

Kemunculan Kienan Moreno

“Kenapa melamun?” sentak Bian yang memandang Ziya sejak beberapa menit yang lalu.

Ziya terlihat binggung harus mengatakan apa, yang bisa dilakukan adalah diam tanpa menjawab dengan pandangan ke jalanan di depannya.

“Ah, belanjaanku bagaimana? Apa aku tanyakan saja ya?” batin Ziya.

“Pak Bian, Di mana menolong saya pingsan tadi?”

“Kenapa?”

“Ah, saya cuman penasaran saja kenapa bisa ketemu Bapak?” ucap Ziya berbohong sebenarnya dia ingin tahu keberadaan barang belanjaannya saja. Kalau dia belanja lagi pasti butuh uang lagi, sedangkan dia harus menghemat pengeluaran.

“Saya tidak sengaja melihatmu di toko sembako pinggir jalan. Lalu saya ikuti kamu dari jauh dan tiba-tiba kamu pingsan,” jelas Bian.

“Lalu barang belanjaan saya, bagaimana?” seru Ziya keceplosan.

“Oh, jadi kamu mau bertanya barang belanjaan tadi itu?”

“Ah, bukan begitu tapi ....”

“Apa?”

“Sa-saya perlu belanjaan saya itu,” ucap Ziya jujur meski terbata.

“Memang itu belanja apa? Biar saya antar kamu, ke tempat tadi?”

“Gak usah, nanti saya belanja sendiri saja,” tolak Ziya pelan dengan sopan.

Tanpa banyak bicara Bian langsung berhenti pada toko swalayan.

“Ayo?”

Kalau sudah seperti ini Ziya sudah tidak bisa berbohong lagi. Bian sudah bersiap mau keluar tapi Ziya masih belum mau menggerakkan tubuhnya untuk keluar.

“Itu tadi bahan untuk jualan kue donat,” seru Ziya menghentikan langkah Bian yang akan keluar dari mobilnya.

Bian memutar badannya untuk menghadap Ziya dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Apa kamu bilang? Jualan? Terus Tegar bagaimana? Ternyata kamu masih keraskepala juga ya?”

“Pak Bian, bukan siapa-siapa saya. Jadi jangan pengaruhi pikiran saya, biarkan saya menentukan hidup saya sendiri tanpa campur tangan orang lain,” bantah Ziya kali ini dengan emosi.

Bian kembali memasukkan kakinya yang sempat keluar tadi, tidak jadi masuk toko swalayan sebelum melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah Ziya. Setelahnya tidak ada obrolan lagi hingga sampai di rumah kontrakan tersebut

“Tegar!” panggil Ziya kemudian berhambur mencium pipinya. Keponakannya itu sekarang dalam gendongan Bu Dewi, sedang tertidur.

“Bagaimana keadaan kamu, Ziya?” tanya Bu Dewi yang terlihat khawatir.

Ziya mengelengkan kepalanya, “Aku baik-baik saja, Bu.”

Bian berjalan mendekat ke arah Ziya dan Bu Dewi sekalian akan berpamitan.

“Pak Bian, terimakasih ya, sudah menolong Ziya dan membawanya ke rumah sakit,” tutur Bu Dewi ketika melihat Bian berjalan menuju ke arahnya.

“Tidak masalah, Bu. Bagaimanapun Ziya pernah jadi karyawan saya,” ungkap Bian jujur dengan senyuman tipis. Padahal dalam hati Bian menginginkan lebih, tidak hanya sebagai karyawan saja.

“Iya, tapi tetap saja kalau tidak ada Pak Bian saya tidak tahu bagaimana keadaan Ziya sekarang,” sahut Bu Dewi lagi.

Bu Dewi layaknya Ibu kandung Ziya yang sangat menyayanginya dan takut kehilangan Ziya.

“Iya, Bu sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu ya,” ucap Bian meraih tangan Bu Dewi untuk bersalaman.

“Tidak masuk dulu, Pak.”

“Pak Bian ada urusan di kantornya, Bu.” Ziya mengucapkan dengan suara pelan pada Bu Dewi sambil melirik ke arah Bian yang ternyata juga menatapnya. Ziya cuman tidak mau terlalu lama kebersamaan dengan mantan Bos nya itu.

“Wah, kalau begitu maaf Ziya sudah merepotkan.”

“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang memang ingin mengantar Ziya sampai rumah dan memastikan dia baik-baik saja,” ucap Bian seraya tersenyum.

Bian berjalan menuju mobilnya tapi Ziya mengikutinya dari belakang. Ziya sadar pria ini sudah baik padanya, setidaknya ia harus membalasnya.

“Pak Bian, terimakasih!” ucap Ziya menjajari Bian yang akan membuka pintu mobil.

Bian memutar badannya untuk bisa menghadap Ziya, matanya menatap tajam. “Kalau mau berterimakasih datang ke restoran, dan kita bicara baik-baik di sana.”

Tanpa menunggu jawaban Bian langsung masuk ke dalam mobilnya. Entah kenapa dia bisa marah pada Ziya yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Mungkin hatinya sakit menerima penolakan dari Ziya.

Ziya hanya terdiam memandang mantan Bos nya sampai menghilang dari pandangannya meski mempunyai pertanyaan atas ucapannya tadi.

“Ada apa dengannya?” desisnya.

“Maaf ya, Bu. Sudah merepotkan dan harus menjaga Tegar?” ucap Ziya saat sudah berada di samping Bu Dewi. Ziya berniat mengambil Tegar dalam gendongan untuk dia bawa ke kamar. Beberapa jam tidak bertemu membuat rasa kangennya sudah mengunung.

“Tidak apa, Ibu juga sayang sama Tegar dan sudah menganggap cucu sendiri,” balas Bu Dewi. Lalu keduanya menuju pintu masuk untuk masuk ke rumah.

“Ziya?”

Merasa namanya dipanggil dia menoleh ke sumber suara.

“Anda!”

Ibu masuk, Bu!” sentak Ziya mendorong Bu Dewi untuk masuk ke dalam dan hendak menutup pintu.

“Tunggu, Ziya!” pekiknya menahan pintu dengan kakinya  sementara tangannya menyentuh lengan Ziya.

“Lepaskan tangan Anda,” teriak Ziya dengan sorot mata yang tajam.

Perlahan dia melepaskan tangan Ziya tapi kakinya masih belum berpindah sehingga Ziya belum bisa menutup pintunya.

“Apa perlu saya teriak maling biar orang satu kampung menghajar Anda?” tanya Ziya ketus.

“Terserah kamu mau lakukan apa saja, yang penting saya bisa bicara denganmu!”

“Kienan Moreno,” sentak Ziya kesal karena pria di depannya ini begitu keras kepala.

Ya, Kienan sengaja mengikuti Ziya. Secara tidak sengaja Kienan melihat Ziya di rumah sakit tadi, tentunya pria itu masih mengingat siapa Ziya, mantan Adik iparnya. Tujuan Kienan adalah ingin meminta maaf pada mantan istrinya. Sekarang dia sadar bahwa hanya Zoya yang bisa sangat mengerti akan dirinya.

Kesalahannya yang dulu, sempat tidak percaya dan mengikuti kemauan orang tuanya untuk bercerai tidak membuatnya bahagia. Dia berpikir seiring berjalannya waktu dia bisa melupakan Zoya, tapi ternyata pikirannya salah. Sampai sekarangpun dia masih mencintai Zoya. Namun dia sadar Zoya pasti tidak akan mau memaafkannya.

“Bagaimana, bisa kita bicara sebentar?” tanya Kienan berharap Ziya menyetujui keinginannya.

Ziya masih menatap tajam seolah semua kebencian ada pada Kienan yang berdiri di depannya saat ini.

“Tidak!”

Setelahnya Ziya langsung menendang lutut Kienan hingga terlepas dari pintu, bahkan dia hampir tersungkur di lantai. Langsung saja Ziya tutup pintunya. Meski teriakan pria itu masih bisa Ziya dengar, namun Ziya tidak peduli. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan rasa kasihan pada pria itu. Bahkan kalau bisa dia akan musnahkan dia dari rumah ini, kalau perlu dari muka bumi ini sekalian.

Gedoran pintu dan panggilan namanya masih terdengar di luar rumah, Ziya mengambil langkah menjauh dan menuju kamar untuk melihat Tegar.

“Siapa dia, Ziya?” tanya Bu Dewi yang sempat ketakutan tapi karena Ziya yang pemberani sedikit melegakan hatinya.

“Pria brengsek!”

Bu Dewi sedikit paham maksud Ziya, untuk sekarang hanya satu pria yang bisa membuat Ziya benci dia adalah mantan Kakak iparnya.

“Kamu yang sabar ya?” ujar Bu Dewi mengusap punggung Ziya untuk menenangkannya.

Ziya mengalihkan pandangan pada Tegar yang sudah berada di ranjang. Setelah sampai di dalam kamar, Bu Dewi langsung merebahkan bayi itu takut tubuhnya terlalu capek dalam gendongan.

“Tante akan selalu menjagamu, apapun yang terjadi. Bahkan sekalipun Kienan ayah kandungmu dia tidak berhak memilikimu!”

Bersambung.........

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status