Entah bagaimana caranya hingga Kienan bisa mendatangkan, seorang designer terkenal di rumah ini. Hanya untuk mengukur dan memberikan masukan baju kebaya yang terbaik untuk dikenakan Ziya.
Buat sebagian orang mungkin tersanjung dengan tindakan itu, namun tidak bukan Ziya. Karena gadis itu hanya menganggap, kalau Kienan tidak mau memberikan Ziya kebebasan di luar rumahnya. Seorang Kienan tidak mau mencari masalah dengan mengajak Ziya keluar rumah, karena posisi Ziya sekarang ini layaknya sebagai seorang tawanan.
“Kien ... dapat darimana sih, calon kamu ini cantik banget lho!”
Larasati Gunawan, seorang designer yang sudah terkenal dan mempunyai beberapa butik yang tersebar di beberapa kota serta ada juga di beberapa luar negeri.
Hubungan Larasati dengan Kienan cukup dekat, mengingat sang Mommy adalah pelangan tetap butik Larasati. Dari seringnya Kienan mengantar sang Mommy di butik tersebut mereka berkenalan. Larasati adalah wanita cantik dan suk
“Kak ...!”Panggil Ziya pada Kienan lembut, pertama kalinya Ziya memanggil dengan sebutan itu. Kienan yang sedang fokus dengan layar laptopnya, buyar seketika. Ruang kerja yang semua orang tidak bisa masuk, namun Ziya memilih nekat karena berhubungan dengan nyawa.“Apa?” balas Kienan dengan lembut juga. Rasanya dia tengah di kelilingi dengan kebahagiaan.Kali ini Ziya mengatakan dengan cepat seraya menatap ke mata Kienan dengan sendu. “Kak, Tegar demam. Tolong bawa ke rumah sakit!”Kienan langsung berdiri dan mendekat ke arah Ziya, namun hal tak terduga yang dilakukan Ziya adalah menarik tangan Kienan dan menepuk-nepuk punggung tangannya seolah memohon.“Tolong ... Tegar ... aku takut dia kenapa-kenapa!” tambah Ziya kali ini dengan mata berkaca-kaca.Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Kienan entah sudah berapa kali memberikan ancaman-ancaman agar Ziya tidak berniat kabur darinya.&ldqu
“Man, siapkan semua berkas yang harus saya tanda tangani dan kirim ke rumah sakit sekarang,” perintah Kienan pada Arman, asistennya.Semalam, Kienan sengaja tidak pulang karena ingin menemani Ziya menjaga Tegar yang harus di rawat. Senyum di bibirnya nampak jelas ketika melihat Ziya yang masih tidur di samping Tegar. Kienan bahkan belum tidur sama sekali karena matanya sulit dipejamkan. Entah rasanya dia takut kalau Ziya akan kabur. Padahal harusnya dia sadar, Ziya tidak bisa melakukan hal itu disaat kondisinya seperti ini.“Selamat pagi?” sapa seorang Dokter tersenyum ramah ketika memasuki ruangan VIP itu. Kienan sengaja memilih ruangan yang private itu untuk membuat Ziya dan Tegar nyaman karena tidak harus bercampur dengan orang lain.“Pagi, Dokter!” balas Kienan berbalas tersenyum ramah juga.“Wah, mamanya mungkin semalam tidak bisa tidur ya?” seloroh Dokter tampan tersebut melihat posisi Ziya yang sedang
“Makanlah, biar aku yang jaga Tegar,” ucap Kienan memberikan 2 kotak nasi yang dia beli di kantin rumah sakit.Ziya tampak malas menerima kotak makanan itu. Sebenarnya Ziya masih tidak bernafsu untuk makan, mengingat Tegar yang masih belum sehat. Tadi sore sudah keluar test darahnya. Tegar yang masih bayi itu di diagnosis terkena deman berdarah. “Ziya ...!” panggil Kienan lembut sambil menyentuh bahunya sebelum meletakkan nasi kotak tadi di nakas.Ziya mendongak menatap Kienan sebentar kemudian kembali menunduk. Dia tahu apa yang akan dilakukan Kienan, karena Ziya sudah meliriknya. Kienan menyendok nasi dan ikan dari kotak makan itu. Menyodorkannya di depan mulut Ziya.“Makanlah, aku suapi ya!”Perlahan Ziya menepis sendok itu dan menimbulkan decakan pada bibirnya. Melihat hal itu Kienan tidak sabar. Ziya yang sudah tidak bertenaga dan pastinya mungkin kelaparan. Semalam tidak makan dan harus menjaga Tegar
“Sudah lama saya mencari kamu, Ziya. Saya mendatangi rumah Zoya yang ternyata dia juga sudah bercerai dengan suaminya,” papar pria yang dulu dia kenal dengan baik sebagai orang kepercayaan keluarganya.“Iya, Pak. Kakak Zoya sudah bercerai.” Ziya membernarnya ucapan mantan pengacara keluarganya, yang bernama Pak Dirman.Sesaat Ziya sadar kalau meninggalkan Tegar makanya tidak bisa berlama-lama. “Maaf. Ada apa ya Bapak mencari saya?”“Ada yang ingin saya jelaskan sama kamu soal surat wasiat, tapi saya tidak bisa bicara di sini. Ah, ini ada kartu nama saya. Hubungi saya kapanpun kamu bisa, tapi secepatnya ya!” Pak Dirman memberikan sebuah kartu nama pada Ziya.Ziya menerima kartu nama tersebut dan langsung memasukkan ke dalam saku celananya meskipun banyak pertanyaan di pikirannya. “Baik, Pak.”“Tapi kalau bisa jangan sama Zoya ya! Karena ini antara saya dan kamu,” tambah Pak Dirm
“Ini permintaan kamu!” Suara tegas dan dingin Kienan. Menyodorkan map berwarna merah di hadapan Ziya.“Apaan?”“Terima, bukalah dan baca ... kalau mau tahu.”Ziya sengaja belum mau menerima map itu. Akhirnya Kienan hanya bisa meletakkan di hadapannya, di depan meja saat ini Ziya duduk.Tatapan mata Ziya seolah enggan bertemu dengan pemilik rumah itu. Mengingat kejadian semalam, yang membuat dia kesal dan marah. Dengan santainya Kienan melabuhkan bibirnya di semua sisi wajahnya. Kalau saja Tegar tidak terbangun mungkin pria itu akan meneruskan aksinya.“Kamu masih marah soal semalam?”Tanpa mau menjawab, sebenarnya Ziya tidak tertarik dengan yang Kienan tunjukan. Ziya lebih tertarik dengan pikirannya sendiri, bagaimana caranya agar dia bisa bertemu dengan Pak Dirman tanpa sepengetahuan Kienan. Kalau meminta waktu untuk keluar pasti tidak akan diijinkan.“Ayo, berpikirlah, Ziya! Mung
Ziya terbangun karena dering suara adzan dari ponselnya. Buru-buru dia raih supaya Tegar tidak terbagun, karena Ziya akan melakukan sholat Subuh dulu. 10 menit kemudian Ziya sudah selesai dengan kewajibannya sebagai umat muslim.Kakinya berjalan mondar-mandir untuk berpikir, mewujudkan rencananya. Dia mulai menuju balkon di luar kamarnya. Berdiri di sana yang menghubungkan dengan pemandangan luar rumah. Pemandangan yang harusnya indah, namun hanya di batas luar saja. Saat memasuki rumahnya, hanya dendam yang ada.Ziya menuju outdoor AC di kamarnya yang kebetulan terletak di samping balkonnya. Entah apa yang dia tarik hingga kabel di sana terlepas. Tak lupa dia menancapkan kembali tetapi dengan tidak benar. Setelah itu dia akan coba menyalakan AC-nya, alhasil suhunya tidak dingin sama sekali. Mungkin yang dia cabut tadi adalah yang membuat menjadi dingin.Senyum mengembang, setelah ini dia akan bilang pada Kienan kalau AC nya tidak dingin dan memanggil tukang AC.
Seorang pria tampan sedang berulang kali melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu yang disepakati telah berlalu. Tak tanggung-tanggung, telatnya hampir 1 jam. Sedangkan sang asisten terlihat gusar dengan ponsel yang masih tertanjam di telinganya.Ya, pria itu adalah Kienan dan Arman. Pertemuannya dengan pimpinan Gemilang Group mengalami keterlambatan.“Gimana, Man?” tanya Kienan frustasi, sudah hilang kesabaran. Mungkin benar yang orang bicarakan. Pekerjaan paling membosankan adalah menunggu.Arman mengelengkan kepala. “Belum bisa tersambung, Pak!”“Oke, batalkan saja!” perintah Kienan tegas. Dia sudah terlanjur kecewa.Hendak berdiri dan melangkah pergi. Namun, kedatangan Bian menghentikannya.“Maaf, saya terlambat! Tadi ada sedikit masalah di jalan,” ujar Bian dengan mengatur napasnya. Dia yakin pimpinan Moreno Group itu pasti kecewa dengan keterlambatannya.&
Ziya berhasil keluar dari kamar Kienan, setelah dia berhasil menendang senjata pria itu dengan lututnya. “Hem ... siapa suruh main-main denganku. Tunggu saja kalau kamu berani berbuat macam-macam lagi, akan aku keluarkan jurus-jurus andalan!” desis Ziya yang tidak bisa hanya pasrah terhadap semua perlakuan Kienan. Meskipun tidak pernah digunakan lagi, Ziya dulu pernah mengikuti beladiri sewaktu sekolah SMA.Biarlah malam ini tidur tanpa AC dan dia akan memakai kipas tangan saja, toh besok siang pasti AC nya sudah selesai diperbaiki. Ziya tadi mendapatkan informasi dari sang ART kalau tukang AC nya datang sekitar jam 11an. Ziya juga sudah memberitahu Pak Dirman agar stanby jam itu.“Ya Allah, lancarkanlah rencana hamba ini!” mohon Ziya pada Allah. Pemberi semua keputusan di dunia ini.Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tiba-tiba pintu kamar diketuk seseorang. Ziya berpikir tidak mungkin ART akan berani, dan hanya satu orang yang bi