“Umi, apa saya bisa tinggal di sini untuk beberapa hari saja bersama Tegar?” tanya Ziya pada Umi Diana. Ucapan Ziya terjeda, lalu kembali bibirnya mulai bergerak. “Selama saya belum punya tempat tinggal.”
Wanita bernama Diana itu, alisnya terangkat menjadi tanya baginya. “Kenapa begitu? Kamu dan Tegar bebas di sini selama kamu mau.”
Ziya tersenyum ragu, dia pikir wanita itu akan keberatan dengan keberadaannya. Sungguh Ziya juga tidak tahu apa yang membuatnya nyaman sekali di tempat yang baru aja ia singgahi ini. Mungkin karena penghuni di tempat ini statusnya sama dengannya, yatim pistu. Ah, entahlah dia tidak yakin itu. Namun yang jelas di sini tidak ada dendam seperti dalam hatinya.
“Tapi saya tidak enak kalau membebani Umi dan pengurus di sini karena kehadiran saya!” kembali Ziya menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya.
“Kamu lihat!” Umi Diana menunjuk di mana ada beberapa anak sedang berse
Hari ini Ziya akan diajak oleh Umi Diana mengunjungi usaha yang sudah dirintisnya sejak lama, tepatnya sejak masih muda. Butik baju muslimah, semua baju-bajunya dirancang sendiri oleh beliau. Sebenarnya dia tidak punya bakat untuk menjadi desainer, namun karena rasa penasarannya hingga bisa menciptakan baju-baju muslim tersebut.Sebelum hijrah, Umi Diana adalah seorang pengguna baju-baju terbuka dan bisa dikatakan baju yang kurang bahan tapi karena hidayah sekarang penampilannya berubah dratis.Kehidupan Umi Diana dulu adalah seorang yang tidak patut ditiru. Kehidupan malam dan mabuk adalah kesehariannya. Memiliki harta yang berlimpah pemberian orang tuanya membuatnya lalai bahwa seorang muslim harus meninggalkan menjauhi yang dilarang Allah.Sampai kejadian itu menyadarkannya dan harus segera meninggalkannya.Kala itu dirinya yang baru pulang dari club karena sedikit mabuk, ada beberapa pemuda mengodanya. Penampilannya yang terbuka dan kesadarannya tidak
“Mommy Kiara atau Pak Kienan, Pak?” tanya Ziya sopan namun penuh penekanan disetiap kata-katanya.Setelah mengetahui kalau Ziya mengenal salah satu orang yang berada di sana, Umi Diana memutuskan untuk menerimanya. Karena dia berpikir ini adalah rejeki dari Allah dan tidak boleh ditolak.“Maaf, saya tidak berani menjawab, Non Ziya!” sesal pria itu yang sudah mengabdi pada keluarga Moreno sejak bertahun-tahun yang lalu.Ziya mengangguk cepat, seakan mengerti dengan jawaban itu. Siapa lagi kalau bukan Kienan yang akan membuat seseorang tertekan hingga tidak mau jujur seperti itu. Kalau Mommy Kiara tidak seperti itu. “Oke, saya paham. Dan anggap saja Bapak tidak bertemu saya, karena saya juga akan melakukan hal yang sama agar Bapak tidak mendapatkan masalah dari Kienan,” sahut Ziya kemudian, menekankan nama Kienan seolah tahu kalau semua ini ulah pria tersebut.Tatapan aneh langsung terlihat pada pria paruh baya tersebut,
2 bulan kemudian.“Gimana, Ziya sudah siap?” tanya Umi Diana yang melihat Ziya sudah mengemasi barang-barang Tegar ke dalam tas.Ya, hari ini semua penghuni panti akan melakukan kunjungan wisata ke kebun teh. Sekarang usia Tegar sudah 3 bulan, diusia itu Tegar sudah banyak perkembangannya. Sudah bisa ngoceh-ngoceh, sudah bisa tengkurap tetapi terkadang masih kesulitan untuk kembali dan kebiasaan barunya adalah suka memasukkan tangannya ke dalam mulut.Selama ini selain Ziya, Umi Diana juga memberi perhatian lebih pada Tegar. Serta anak-anak panti yang kadang disuruh Ziya untuk menjaga sebentar ketika dirinya harus pergi ke kamar mandi untuk tujuan tertentu.Acara hari ini sebenarnya Ziya tidak ingin ikut, dia lebih nyaman di rumah saja. “Ikutlah, itung-itung refresing. Kamu juga butuh hiburan jangan hanya mengurusi Tegar saja!” itulah ucapan Umi Diana ketika Ziya menolak ajakan wanita cantik tersebut.Semua orang sudah bersi
Bus seketika berhenti karena melihat kejadian di depannya. Dari kejauhan Umi Diana langsung berlari menghampiri, mengendong dan mendekap Tegar. Tidak peduli panasnya aspal wanita itu terduduk di sana. Butuh beberapa detik hingga Ziya sadar, harusnya dia bisa lebih cepat menolong Tegar nyatanya tidak dia lakukan.“Tolong panggilan ambulans,” teriak Umi Diana dengan suara seraknya. Ziya juga sudah sampai di sebelah Umi Diana berniat mengambil Tegar, namun dicegah oleh wanita itu. “Ziya, biar Umi saja, ya?” Pasalnya dia tahu Ziya pasti terguncang dengan kejadian itu takutnya nanti dia tidak akan sanggup melihat keponakannya ini.Benar saja, Ziya tidak berkata-kata hanya terduduk di sebelah Umi Diana, mematung diri tapi pandangannya terus menatap Tegar hingga airmatanya sudah mengucur deras tak tertahankan. Melihat banyaknya darah yang keluar itu, tak berselang lama, pandangannya buram. Tiba-tiba dia ambruk dan semua menjadi gelap.“Ziy
“Kenapa? Benar kan yang aku ucapkan!” tuduh Ziya dengan seringainya.Kienan cukup memberi bentakan tadi, sepertinya kalau dibiarkan Ziya akan semakin kurang ajar padanya. Lebih baik dia pergi dari sana.“Terserah apa pemikiranmu, aku tidak peduli!” jawab Kienan tegas sebelum pergi meninggalkan Ziya yang masih dengan kekesalannya. Dalam situasi seperti ini, dia tidak akan bisa berpikir normal jadi meninggalkannya itu lebih baik.“Andai kamu tahu, apa yang sudah dilakukan Zoya! Apa kamu masih menyalahkanku juga seperti ini, Ziya!” batin Kienan.“Mas, aku belum selesai bicara! Mau ke mana kamu?” teriak Ziya yang tidak ditanggapi Kienan. Pria itu lebih memilih melanjutkan langkahnya menjauh.“Kamu bahkan tidak bisa menjawabnyanya, Mas!” gumam Ziya seketika tubuhnya merosot ke bawah dan wajahnya tertunduk sembari memeluk lututnya. Tangis yang ditahannya tadi pecah dan tampak bahunya berge
Ziya mengeleng sembari memejamkan mata, rasanya tidak sanggup kalau harus menatap pria di depannya ini. “Maaf ... maafkan aku yang sudah buruk sangka padamu, Mas. Aku binggung kepalaku terasa berat untuk bisa menerima semua ini,” ungkapnya tercekat.Kienan menarik bahu Ziya dan membawa ke dalam pelukannya. “Maaf, sudah membuatmu berada di situasi seperti ini,” sahut Kienan mengelus kepala gadis itu sembari mengecupnya beberapa kali lalu memeluknya erat lagi. Ziya membalas pelukan itu semakin erat.Pelukan mereka terhenti ketika ponsel Kienan berdering. “Angkatlah, Mas!” Ziya mengurai pelukan dan memberi perintah pada Kienan.“Ya, Halo ... oke, langsung ke rumah sakit ya, sebentar saya kirim alamatnya!” perintahnya pada seseorang di ujung teleponnya.Ziya mengernyit, pasti ini ada hubungannya dengan dirinya karena Kienan menyebut rumah sakit. Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Ziya. “Saya sudah suru
5 jam kemudian.Keadaan Tegar sudah membaik, masa kritis sudah terlewati. Ziya tersenyum bahagia mendengar ucapan sang Dokter.“Berarti, sebentar lagi pernikahan kita bisa dilangsungkan ya,” bisik Kienan yang berdiri di sampingnya ikut mendengarkan ucapan sang Dokter. Sontak Ziya langsung melirik dengan tajam dan itu mengundang kekehan dari bibir pria itu.“Bisa-bisanya di hadapan Dokter bicara pernikahan, gak sabaran amat sih,” gerutu Ziya dalam hati.“Kira-kira kapan bisa dibawa pulang, Dok?” kali ini bukan Ziya yang bertanya tapi Kienan.“Saya sarankan jangan dibawa pulang dulu ya, karena kondisi pasien masih bayi jadi masih perlu pemeriksaan yang intensif,” ungkap sang Dokter.“Maaf, kalau dipindahkan ke rumah sakit di Ibukota apa bisa ya?” Kienan masih terus banyak bertanya pada sang Dokter.“Boleh, tapi masih harus dalam pengawasan kami sampai di pindahkan ke ruma
“Saya terima nikah dan kawinnya Ziya Azzahra binti Zain Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Bagaimana, saksi?”“Sah.”“SAH.”“Alhamdulillah.” sahut semuanya.Setelah itu, lantunan doa dibacakan oleh seorang Ustad hingga selesai.Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah Kienan sedangkan Ziya masih malu-malu. Mungkin dia masih tidak percaya bahwa telah melakukan pernikahan dengan Kienan di rumah sakit, bukan tempat yang seharusnya ia harapkan. Namun ini adalah keinginan Kienan jadi dia pasrah saja dengan suaminya itu.“Boleh dicium keningnya, Mas,” celetuk sang penghulu dengan tersenyum mengoda.Sesuai perintah Kienan, Jodi-sang asisten sengaja membawa penghulu ke rumah sakit dan membawa semua berkas yang dulu pernah disiapkan untuk pernikahannya dengan Ziya. Jadi pernikahan mereka sudah sah secara agama dan hukum.Kienan mendengar perinta