Ternyata tanpa disadari, waktu sudah menjelang Subuh mereka baru menyelesaikan acara mandinya. Yang pada akhirnya tidak tidur karena menunggu sholat Subuh sekalian. Kedua pasangan suami istri itu memanfaatkan waktu yang ada itu untuk mengobrol, duduk di atas ranjang sembari menyandarkan punggungnya.
“Mas ...”
“Hm.”
“Memang sejak kapan kamu tahu kalau Kak Zoya selingkuh?” tanya Ziya tiba-tiba karena dia penasaran akan hal itu.
Kienan menghela napas panjang, sebenarnya dia telah menutup masalah itu tapi kalau melihat Ziya seperti itu pasti dia tidak akan berhenti bertanya. Masih bertahan dengan diam membuat Ziya menoleh untuk melihat wajahnya.
“Mas, koq gak dijawab sih?” tutur Ziya ketus sambil memalingkan wajahnya menjauh dari Kienan.
Kienan memiringkan posisi duduknya agar bisa melihat wajah Ziya yang kesal itu. Sambil tersenyum pria itu berkata. “ Sebenarnya, sudah Mas tutup masalah itu,
Sesuai pembicaraan dengan Kienan, Ziya akan mendatangi tempat mantan pengacara sang Papa. Sekedar ingin mengetahui apa yang belum dia tahu. Kienan sebenarnya akan ikut mengantarkan istrinya itu, namun karena ada meeting yang tidak bisa ditunda akhirnya Ziya batal pergi.“Mas, aku berangkat sendiri bisa koq!” rengek Ziya pada sambungan telepon pada Kienan. Rasa penasaran sudah membuncah begitu tahu suaminya membatalkannya dia sangat kecewa.“Mas, bilang jangan ya jangan. Kamu bandel amat sih!” jawab Kienan dengan sedikit teriak karena Ziya membantah ucapannya.“Mas, ih ... jahat banget sampai bentak-bentak aku. Ya sudah nanti kamu tidur di kamar tamu saja, aku lagi males ketemu kamu!” putus Ziya hendak menutup ponselnya.“Iya, iya deh!” sela Kienan cepat yang membuat Ziya menyungingkan senyum.“Kenapa? Takut ya, tidur sendiri,” cibir Ziya sembari tertawa terbahak.Kienan tidak menjaw
“Ini surat wasiat yang saya bilang sama kamu, Ziya,” Pak Dirman memberikan map berwarna coklat di hadapan Ziya.“Isinya apa, Pak?”“Bukalah dulu, nanti kalau ada yang tidak jelas saya jelaskan!” perintah Pak Dirman.Ziya menoleh ke arah Kienan dan mendapatkan anggukan pelan dari suaminya tersebut. Gadis itu mulai membuka dan membaca dengan detail lalu tiba-tiba menutup mulutnya karena kaget. Kienan yang mulai binggung mengambil alih map tersebut. Setelahnya tersenyum tipis.“Kamu, koq gak kaget, Mas?”“Saya dan Pak Kienan sudah tahu penyebab Pak Zain melakukan itu,” sindir Pak Dirman dengan tersenyum.Ziya menatap aneh pada suaminya itu seakan meminta penjelasan.“Ziya, biar saya jelaskan saja!” ucap Pak Dirman yang langsung mengalihkan atensi Ziya.Lalu Pak Dirman mulai menjelaskan yang seperti dijelaskan suami tadi malam. Ziya mengangguk-anggukan kepalany
“Kak, kamu harus kuat, bayi kamu membutuhkan ibunya!”Suara seorang Adik untuk Kakaknya yang tergolek lemah di ranjang Rumah Sakit.“Bayi kamu perlu ASI darimu, Kak. Jangan tinggalkan dia!”mohon Ziya yang terdengar dengan jelas di indra pendengaran Zoya-sang Kakak. Gadis itu juga mengenggam erat tangan Zoya seolah tak ingin kehilangan saudara satu-satunya yang dimiliki saat ini. Tak terasa juga sudah berapa lama dia menangis sehingga matanya terlihat sembab.“Zi-ziya, to-long jaga bayi Kakak, anggap dia anak kamu sendiri-”“Dan jangan pernah tinggalkan a-papun yang ter-jadi!” ucap Zoya dengan terbata-bata menahan sakit. Napasnya juga tidak beraturan.“Kak, aku mohon bertahanlah! Aku sama siapa lagi, hanya kamu yang aku punya sekarang.”“Ma-af, Kakak tidak bisa menemanimu lagi,” ujar Zoya lemah, yang sudah tidak bertenaga.“Aku panggil Dokter, ya?&rdq
“Tegar sayang, kamu haus ya? Ini Tante buatkan susu untuk kamu.”Ziya tersenyum manis sambil mengocok-ngocok sebentar kemudian menyodorkan botol susu pada mulut mungil Rendi yang sudah terbuka sambil menangis.“Tegar?” ulang Bu Dewi yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Ziya.Mungkin hanya Ibu Dewi yang bisa masuk kamar Ziya dengan tidak sungkan. Selain beliau adalah pemilik rumah yang dikontrak oleh Ziya, Ibu Dewi juga sudah menganggap Ziya seperti anaknya sendiri. Ibu Dewi tidak mempunyai anak perempuan dan ketiganya anak laki-laki saja, makanya sejak kedatangan Ziya sudah dianggap seperti anaknya sendiri.“Ah Bu Dewi, iya aku kasih nama Tegar Wijaya.”Ziya menjawab ucapan Bu Dewi dan tersenyum lebar tanpa beban dan terlihat sangat bahagia dengan keponakannya itu.Tentunya Bu Dewi paham nama Wijaya adalah nama Papanya Ziya dan Zoya. Sebenarnya penasaran kenapa Ziya memberi nama itu, tapi karena tidak
Namun setelah satu persatu tetangga meninggalkan rumah, sekarang Ziya hanya ditemani oleh Bu Dewi. Sejak hari pertama Zoya meninggal, Bu Dewi selalu menginap di rumah Ziya.“Bu, kalau mau pulang tidak apa! Kasihan Bapak kalau ditinggalkan terus,” ucap Ziya pada Bu Dewi.Ziya sadar mungkin Bu Dewi ingin pulang tapi kasihan dengannya. Bagaimanapun Bu Dewi mempunyai suami yang harus diurus juga.“Ibu gak tega harus meninggalkan kamu sendirian dengan Tegar,” jawab Bu Dewi cepat.“Tidak masalah, Bu. Aku bisa menjaga Tegar dengan baik koq.”Ziya meyakinkan Bu Dewi agar mau pulang karena dia sudah terlalu banyak merepotkan wanita paruh baya yang sudah baik itu.“Ya sudah, nanti malam Ibu akan pulang tapi kamu janji kalau ada apa-apa langsung telepon Ibu ya?”Ziya mengangguk dan tersenyum haru mendapat perhatian seperti itu, mungkin kalau orangtuanya masih ada akan melakukan hal yang
“Alhamdulillah, Tegar tidak rewel dan aku tidur pulas, Bu.”Ziya tersenyum dan memeluk bahu Bu Dewi yang sedang duduk.“Makasih ya, Bu, sudah sangat perhatian sama aku. Tidak tahu bagaimana caraku membalas kebaikan Ibu.”“Sudah, kamu jangan dipikirkan hal itu. Semua orang peduli sama kamu, jadi jangan merasa sendirian ya!” tegur Bu Dewi menumpuh tangannya pada tangan Ziya yang berada di bahunya.Ziya mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda sejak seminggu yang lalu. Sekarang karena acara untuk Zoya sudah selesai makanya sudah saatnya dia bersih-bersih rumah. Sementara Bu Dewi yang sudah membantu menjaga Tegar.Akhirnya semua pekerjaan sudah terselesaikan semua. Mencuci baju, bersih-bersih kamar, dapur dan menyiapkan baju-baju Tegar dan bajunya. Ziya menselonjorkan kakinya dan menyandarkan punggungnya pada tembok ruang tamu.“Gimana capek ya?” tanya Bu Dewi yang sedang mengendong Tegar dan men
Ziya menghentikan tangannya yang sedang mengusap pipi Tegar dan langsung mengalihkan pandangan ke mata Bian yang juga memandangnya.Untuk sesaat kedua mata saling memandang dalam diam.Oek ... oek ... oek ...Suara tangis Tegar membuyarkan dua orang yang saling terdiam itu.“Cup, cup, sayang. Ini minum susu dulu ya!”Ziya memberikan botol berisi susu pada mulut Tegar, dengan gerakan cepat Tegar mengenyot ujung botol susu tersebut. Seakan lupa dengan ucapan Bian, Ziya tidak mempertanyakan kembali.“Saya boleh gendong?” tanya Bian dengan wajah tulus membuat Ziya lagi-lagi hanya bisa tertegun.“Bapak bisa?” Ziya bertanya untuk memastikan keinginan Bian.“Saya pernah gendong anak yang lebih besar dari Tegar, kalau seumuran dia belum tapi saya mau mencobanya,” sahut Bian penuh percaya diri.“Kalau kamu gak boleh juga tidak masalah koq,” imbuh Bian lagi karena menungg
Bian melirik pergelangan tangannya, sudah hampir 2 jam dia berada di tempat itu dan sepertinya Ziya juga sedang tidak dalam keadaan baik untuk diajak bicara.“Sepertinya saya harus pamit karena sudah lama juga saya di sini,” ujar Bian sambil tersenyum tipis sebelum berdiri untuk meninggalkan rumah itu.“Iya. Terimakasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk datang dan saya minta maaf atas sikap Ziya ya, Pak?” ungkap Bu Dewi, merasa tidak enak hati dengan Bian.“Tidak pa-pa, Bu. Biarkan dia menjernihkan pikirannya dulu. Nanti kapan-kapan saya akan datang lagi,” balas Bian seraya menyunggingkan senyum ramah kemudian berpamitan pada Bu Dewi.Bu Dewi mengantar kepergian Bian sampai menghilang dari pandangannya setelah masuk ke dalam mobilnya.“Andai, pria itu mau menjadi suami Ziya. Pasti mereka akan menjadi keluarga yang bahagia,” gumam Bu Dewi yang tidak tahu kalau Bian sudah menawarkan menjadi Ayah sa