Share

Bab 4 (Ceo vs Santriwati)

Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.

Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya.

"Kenapa berhenti?"

"Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.

Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya.

"Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga.

"Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.

Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga.

"Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu.

"Sana ikuti gadis itu untuk sholat di masjid!"

"Maksud kamu?"

"Untuk melancarkan rencana kita, pura-puralah menyukainya."

"Masalahnya aku tidak tahu bagaimana cara sholat," jawab Setya. "Kamu tahu kan, dari kecil aku sekolah di luar negeri, dan selain itu aku juga tidak pernah belajar agama."

"Mmm..." Dirga membuang nafas, dan mulai berfikir. "Begini, nanti di sana, kamu ikuti saja gerakan imam."

"Imam? Siapa Imam? Aku tidak mengenal orang-orang yang ada di sana, jadi mana aku tahu siapa orang yang bernama imam."

"Imam itu orang yang memimpin sholat, nanti di sana semua jamaah akan mengikuti gerakan pemimpin sholat atau imam," terang Dirga.

"Oooh..."

Tidak lama setelah itu Satya keluar dari dalam mobil. Kakinya melangkah menghampiri Hilya yang saat itu tengah berdiri di teras masjid.

"Aku juga mau sholat," kata Satya kepada Hilya.

"Iya silahkan!"

Gadis yang wajahnya masih terlihat basah dengan air berwudhu itu mengangguk sembari tersenyum.

"Sepatunya," kata Hilya spontan, saat laki-laki itu hendak naik ke teras masjid dengan sepatu yang belum dilepas.

Tampak wajah laki-laki berjas abu-abu itu kebingungan.

"Ini lantainya suci," tambah Hilya.

"Iya," laki-laki itu mengangguk.

"Lepas sepatumu! Lantai masjid ini suci," bisik Dirga yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.

Terlihat setelah itu Satya tersenyum manis ke arah Hilya sembari kemudian membungkuk melepas sepatunya.

"Mas Satya tidak wudhu dulu?" tanya Hilya saat kaki Satya melangkah cepat hendak masuk ke dalam masjid.

"Oh iya, berwudhu." Satya mengangguk-angguk sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Dirga yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Tempat wudhu laki-laki di sebelah sana!" Kata Hilya kemudian dengan menunjuk tempat wudhu laki-laki yang berada di pojok sebelah kanannya berdiri.

"Iya," jawab Satya seraya melangkah menuju tempat wudhu yang ditunjukkan oleh Hilya.

Tiga puluh menit kemudian jamaah sholat magrib, dan dzikir bersama di masjid itu  selesai.

"Bagaimana sholat pertama kamu?" tanya Dirga saat Satya masuk ke dalam mobilnya.

"Kacau."

"Kenapa?"

"Karena gadis itu memintaku untuk... Apa tadi ya namanya? Aku lupa,"  kata Satya dengan mengerutkan dahinya sembari memijit-mijit kepalanya seolah mengingat-ingat sesuatu.

"Apa?" tanya Dirga

"Cuci muka dan cuci kaki sebelum sholat."

"Oooh, wudhu?"

"Iya benar, itu maksudku," jawab Satya.

"Hmmh..."

Dirga menghelan nafas seraya menghempaskannya dengan keras setelah mendengar jawaban dari sahabatnya. Kedua tangannya mulai menyentuh setir dan melajukan mobilnya kembali dengan kencang.

Enam puluh menit kemudian mobilnya berhenti disebuah halaman parkir gedung berbintang. Sepertinya tujuannya telah sampai.

"Ayo masuk!" kata Satya pada gadis berhijab yang baru saja dia hampiri.

Gadis yang baru keluar dari mobil itupun mengangguk sembari berjalan mengikuti langkah Satya.

"Mas Satya jalan di depanku saja!" kata Hilya saat Satya mengurangi kecepatan langkahnya berjalan menemani Hilya.

"Kenapa?"

"Laki-laki adalah imam seorang perempuan, jadi berjalanlah di depan."

"Bukanlah lebih baik jika kita berjalan beriringan?" jawab Satya.

"Itu jika sudah dihalalkan. Jika belum, jagalah kehormatan perempuan  dengan berjalan di depannya," terang Hilya sembari tersenyum.

"Oooh." Satya membalas senyum Hilya sembari mengangguk-angguk, dan kemudian melanjutkan langkahnya. "Jika sudah menikah boleh berjalan beriringan dan bergandengan tangan?" sejenak Satya menghentikan langkah, menoleh ke arah Hilya sembari bertanya.

"Tentu, karena seorang suami harus selalu di samping istri untuk melindunginya."

Setelah mendengar jawaban Hilya Satya kembali melanjutkan langkahnya, hingga sampailah mereka pada tempat yang dituju.

"Ayo duduk!" kata Satya pada Hilya saat mereka telah sampai di meja sebuah restoran mewah yang ada hotel bintang lima.

Hilya dan Romlah segera menarik kursi yang telah dipesan oleh Satya untuk duduk. Dan tidak lama kemudian Dirga datang menghampiri mereka.

"Maaf aku tadi masih ada urusan," kata Dirga sembari menarik kursi untuk duduk di sebelah Satya.

"Menurutku ini adalah restoran dan hotel termewah yang ada di kota ini, di sini masakannya enak, pelayanannya bagus, dan aku sangat cocok. Kalau menurut kamu bagaimana?" tanya Satya pada Hilya membuka obrolan.

"Aku tidak tahu, aku baru pertama kali kesini," jawab Hilya polos.

"Oooh," Satya mengangguk sembari tersenyum.

"Kalau dengan restoran yang lain bagaimana? Mungkin kamu punya rekomendasi restoran terbaik di kotamu ini?"

"Emmm... Tidak, aku tidak tau," jawab Hilya. "Aku jarang makan di luar," tambahnya dengan meringis.

"Oooh..."

"Jadi kamu jarang keluar rumah?" tanya Dirga menyela percakapan mereka.

"Iya, aku tinggal di pesantren, jarang pulang, dan mungkin paling cepat pulang satu tahun sekali," terang Hilya.

"Oooh..."

Dirga menjawab dengan mengangguk-angguk.

Tidak lama setelah itu pelayan datang membawa makanan, ada beberapa masakan Eropa yang dipesan oleh Satya, beberapa steak daging dengan jamur dan sayuran, spaghetti carbonara, beberapa roti khas Eropa, galota ice cream, dan masih banyak yang lainnya.

"Ayo makan!"

Satya mulai mempersilahkan Hilya untuk menyantap steak daging yang sudah terhidang di hadapannya.

Hilya tidak segera menyantap makanan itu, terlihat dia menatap hot plate, pisau dan garpu yang tertata rapi di meja.

"Kenapa hanya dilihat?" tanya Satya. "Ayo makan!"

"Mmm... Aku bingung bagaimana cara makannya," jawab Hilya polos.

Bibir Satya sedikit menganga, dia tampak heran mendengar jawaban gadis desa itu. "Di zaman modern seperti ini masih ada orang yang tidak bisa makan menggunakan pisau dan garpu," pikir Satya dalam hati.

"Sudah tampak jelas, kalau gadis kampung ini, lugu, polos, dan bodoh," bisik Dirga di telinga Satya.

Satya tersenyum tanpa menoleh ke arah Dirga, dia tetap memperhatikan Hilya yang duduk di hadapannya.

"Aku ke toilet dulu," pamit Dirga kemudian dengan menepuk lengan sahabatnya.

Dan setelah Dirga pergi, Satya mulai mengajari Hilya cara memotong steak daging menggunakan pisau dan garpu yang ada di tangannya.

"Begini caranya! Taruh pisau di sebelah kanan, dan garpu di sebelah kiri! Setelah itu potong daging seperti ini, dan kemudian ambil dagingnya dengan garpu, lalu makan!" terang Satya dengan mempraktekan memotong steak daging tersebut sembari memakannya.

"Makan dengan tangan kiri?" tanya Hilya kemudian.

"Iya, kenapa?" tanya Satya.

"Dalam agama kita, yang makan dengan tangan kiri itu setan mas," jawab Hilya.

Seketika Satya berhenti mengunyah makanannya, dan menatap gadis cantik yang disebut gadis kampung oleh sahabatnya itu.

"Garpunya dipindah di tangan kanan boleh kan mas?" tanya Hilya kemudian.

"Mmm... Iya." Satya mengangguk sembari tersenyum. "Garpuku juga aku pindah ke tangan kanan," lanjutnya.

Satya menghelan nafas, sembari melanjutkan menyantap makanannya yang masih mengepul di atas hot plate.

"Kenapa kamu blum makan?" Tanya Satya saat melihat Hilya masih belum menyantap makanannya.

"Masih panas."

"Makanan ini memang enak dimakan saat panas," jawab Satya.

"Bukankah lebih sehat jika dimakan saat dingin, tidak merusak email gigi dan juga tidak membuat lidah kita panas."

"Mmm, iya." Jawab Satya.

Laki-laki itu kembali menghelan nafas, dan kemudian meraih tisu di samping hot platenya sembari mengusap percikan bumbu makanan di bibirnya.

"Mmm... Kamu tiup saja biar cepat dingin! Dan kamu bisa segera makan," kata Satya kemudian.

"Rasulullah tidak memperbolehkan kita meniup makanan. Selain itu, meniup makanan tidak bagus juga dalam kesehatan, kan? Aku pernah baca di buku, jika kita meniup makanan, kuman yang ada di mulut akan berpindah ke makanan, dan dapat menyebabkan kontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit." Terang Hilya.

"Iya." Satya tersenyum seraya kembali menghelan nafasnya.

Akhirnya meski tidak begitu menyenangkan, makan malam Satya dan gadis desa bernama Hilya itupun selesai.

Setelah mengantar Hilya dan pembantunya masuk ke dalam mobil, Satya segera melangkah menuju mobil miliknya, dan terlihat Dirga sudah ada di dalam mobil BMW X4 warna hitam itu.

"Bagaimana makan malamnya?" tanya Dirga.

"Mmm... Sepertinya kita harus pertimbangkan kembali rencana pernikahanku dengan anak pak haji itu."

"Kenapa?"

"Dirga, dia tidak sebodoh seperti yang kamu pikirkan, mungkin dia memang gadis desa yang masih polos dan lugu, tapi dia bukan gadis yang bodoh. Dan aku lihat dia gadis yang cukup cerdas dan pintar," jelas Satya.

"Satya! Dengarkan aku! Gadis itu hanya sekolah di pesantren, pergaulannya terbatas, pengalaman hidupnya juga pasti terbatas, karena dia hanya belajar ilmu agama saja di sana," jawab Dirga dengan menekan suaranya. "Mungkin dia hanya pintar ilmu agama, tapi untuk yang lain, noool," lanjut Dirga. "Jadi kamu tenang, kamu tidak perlu khawatir, rencana kita tetap harus berjalan seperti semula, dan aku optimis kalau rencana ini akan berhasil. Okey!"

Dirga berusaha meyakinkan Satya kalau rencana mereka akan berhasil.

"Okey! Terserah kamu saja! Tapi aku minta semuanya harus berjalan dengan rapi. Aku tidak mau ada kata gagal setelah rencana ini kita jalankan."

Terlihat Dirga mengangguk-angguk saat mendengarkan jawaban Satya.

"Dan satu hal lagi, aku tidak mau ada orang yang tahu tentang pernikahan konyol ini. Kolegaku, keluargaku. Dan yang terpenting adalah tunanganku. Aku tidak ingin Clarissa sampai tahu tentang pernikahan yang kita rencanakan ini."

Rencana licik yang di prakarsai oleh Dirga yang tidak lain adalah pengacara perusahaan sekaligus sahabatnya ini cukup membuat Satya ragu dan khawatir. Namun dia tetap mengiyakannya, karena selama ini ide dan masukan yang diberikan oleh pengacaranya itu selalu berhasil.

Bersambung

Ditengah perjalanan mengikuti mobil BMW X4 warna hitam milik Satya dan Dirga, tiba-tiba mobil yang dinaiki Hilya berhenti di pintu gerbang sebuah masjid ketika kumandang adzan magrib terdengar.

Seorang laki-laki berbaju seragam hitam menghampiri mobil Hilya untuk bertanya.

"Kenapa berhenti?"

"Mbak Hilya mau solat magrib dulu mas," jawab Pak Jamal sopir Hilya.

Terlihat kemudian laki-laki berbaju hitam itu menghampiri mobil Satya.

"Masih mau sholat magrib katanya pak," kata laki-laki tersebut pada Satya dan Dirga.

"Ya," sahut Dirga seraya mengangkat tangan kanannya seolah memberi isyarat agar laki-laki itu pergi.

Setelah laki-laki berbaju hitam itu pergi, Satya mulai mengajukan pertanyaan pada Dirga.

"Bagaimana ini?" tanya laki-laki berkulit bersih berambut hitam lurus itu.

"Sana ikuti gadis itu untuk sholat di masjid!"

"Maksud kamu?"

"Untuk melancarkan rencana kita, pura-puralah menyukainya."

"Masalahnya aku tidak tahu bagaimana cara sholat," jawab Setya. "Kamu tahu kan, dari kecil aku sekolah di luar negeri, dan selain itu aku juga tidak pernah belajar agama."

"Mmm..." Dirga membuang nafas, dan mulai berfikir. "Begini, nanti di sana, kamu ikuti saja gerakan imam."

"Imam? Siapa Imam? Aku tidak mengenal orang-orang yang ada di sana, jadi mana aku tahu siapa orang yang bernama imam."

"Imam itu orang yang memimpin sholat, nanti di sana semua jamaah akan mengikuti gerakan pemimpin sholat atau imam," terang Dirga.

"Oooh..."

Tidak lama setelah itu Satya keluar dari dalam mobil. Kakinya melangkah menghampiri Hilya yang saat itu tengah berdiri di teras masjid.

"Aku juga mau sholat," kata Satya kepada Hilya.

"Iya silahkan!"

Gadis yang wajahnya masih terlihat basah dengan air berwudhu itu mengangguk sembari tersenyum.

"Sepatunya," kata Hilya spontan, saat laki-laki itu hendak naik ke teras masjid dengan sepatu yang belum dilepas.

Tampak wajah laki-laki berjas abu-abu itu kebingungan.

"Ini lantainya suci," tambah Hilya.

"Iya," laki-laki itu mengangguk.

"Lepas sepatumu! Lantai masjid ini suci," bisik Dirga yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.

Terlihat setelah itu Satya tersenyum manis ke arah Hilya sembari kemudian membungkuk melepas sepatunya.

"Mas Satya tidak wudhu dulu?" tanya Hilya saat kaki Satya melangkah cepat hendak masuk ke dalam masjid.

"Oh iya, berwudhu." Satya mengangguk-angguk sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Dirga yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Tempat wudhu laki-laki di sebelah sana!" Kata Hilya kemudian dengan menunjuk tempat wudhu laki-laki yang berada di pojok sebelah kanannya berdiri.

"Iya," jawab Satya seraya melangkah menuju tempat wudhu yang ditunjukkan oleh Hilya.

Tiga puluh menit kemudian jamaah sholat magrib, dan dzikir bersama di masjid itu  selesai.

"Bagaimana sholat pertama kamu?" tanya Dirga saat Satya masuk ke dalam mobilnya.

"Kacau."

"Kenapa?"

"Karena gadis itu memintaku untuk... Apa tadi ya namanya? Aku lupa,"  kata Satya dengan mengerutkan dahinya sembari memijit-mijit kepalanya seolah mengingat-ingat sesuatu.

"Apa?" tanya Dirga

"Cuci muka dan cuci kaki sebelum sholat."

"Oooh, wudhu?"

"Iya benar, itu maksudku," jawab Satya.

"Hmmh..."

Dirga menghelan nafas seraya menghempaskannya dengan keras setelah mendengar jawaban dari sahabatnya. Kedua tangannya mulai menyentuh setir dan melajukan mobilnya kembali dengan kencang.

Enam puluh menit kemudian mobilnya berhenti disebuah halaman parkir gedung berbintang. Sepertinya tujuannya telah sampai.

"Ayo masuk!" kata Satya pada gadis berhijab yang baru saja dia hampiri.

Gadis yang baru keluar dari mobil itupun mengangguk sembari berjalan mengikuti langkah Satya.

"Mas Satya jalan di depanku saja!" kata Hilya saat Satya mengurangi kecepatan langkahnya berjalan menemani Hilya.

"Kenapa?"

"Laki-laki adalah imam seorang perempuan, jadi berjalanlah di depan."

"Bukanlah lebih baik jika kita berjalan beriringan?" jawab Satya.

"Itu jika sudah dihalalkan. Jika belum, jagalah kehormatan perempuan  dengan berjalan di depannya," terang Hilya sembari tersenyum.

"Oooh." Satya membalas senyum Hilya sembari mengangguk-angguk, dan kemudian melanjutkan langkahnya. "Jika sudah menikah boleh berjalan beriringan dan bergandengan tangan?" sejenak Satya menghentikan langkah, menoleh ke arah Hilya sembari bertanya.

"Tentu, karena seorang suami harus selalu di samping istri untuk melindunginya."

Setelah mendengar jawaban Hilya Satya kembali melanjutkan langkahnya, hingga sampailah mereka pada tempat yang dituju.

"Ayo duduk!" kata Satya pada Hilya saat mereka telah sampai di meja sebuah restoran mewah yang ada hotel bintang lima.

Hilya dan Romlah segera menarik kursi yang telah dipesan oleh Satya untuk duduk. Dan tidak lama kemudian Dirga datang menghampiri mereka.

"Maaf aku tadi masih ada urusan," kata Dirga sembari menarik kursi untuk duduk di sebelah Satya.

"Menurutku ini adalah restoran dan hotel termewah yang ada di kota ini, di sini masakannya enak, pelayanannya bagus, dan aku sangat cocok. Kalau menurut kamu bagaimana?" tanya Satya pada Hilya membuka obrolan.

"Aku tidak tahu, aku baru pertama kali kesini," jawab Hilya polos.

"Oooh," Satya mengangguk sembari tersenyum.

"Kalau dengan restoran yang lain bagaimana? Mungkin kamu punya rekomendasi restoran terbaik di kotamu ini?"

"Emmm... Tidak, aku tidak tau," jawab Hilya. "Aku jarang makan di luar," tambahnya dengan meringis.

"Oooh..."

"Jadi kamu jarang keluar rumah?" tanya Dirga menyela percakapan mereka.

"Iya, aku tinggal di pesantren, jarang pulang, dan mungkin paling cepat pulang satu tahun sekali," terang Hilya.

"Oooh..."

Dirga menjawab dengan mengangguk-angguk.

Tidak lama setelah itu pelayan datang membawa makanan, ada beberapa masakan Eropa yang dipesan oleh Satya, beberapa steak daging dengan jamur dan sayuran, spaghetti carbonara, beberapa roti khas Eropa, galota ice cream, dan masih banyak yang lainnya.

"Ayo makan!"

Satya mulai mempersilahkan Hilya untuk menyantap steak daging yang sudah terhidang di hadapannya.

Hilya tidak segera menyantap makanan itu, terlihat dia menatap hot plate, pisau dan garpu yang tertata rapi di meja.

"Kenapa hanya dilihat?" tanya Satya. "Ayo makan!"

"Mmm... Aku bingung bagaimana cara makannya," jawab Hilya polos.

Bibir Satya sedikit menganga, dia tampak heran mendengar jawaban gadis desa itu. "Di zaman modern seperti ini masih ada orang yang tidak bisa makan menggunakan pisau dan garpu," pikir Satya dalam hati.

"Sudah tampak jelas, kalau gadis kampung ini, lugu, polos, dan bodoh," bisik Dirga di telinga Satya.

Satya tersenyum tanpa menoleh ke arah Dirga, dia tetap memperhatikan Hilya yang duduk di hadapannya.

"Aku ke toilet dulu," pamit Dirga kemudian dengan menepuk lengan sahabatnya.

Dan setelah Dirga pergi, Satya mulai mengajari Hilya cara memotong steak daging menggunakan pisau dan garpu yang ada di tangannya.

"Begini caranya! Taruh pisau di sebelah kanan, dan garpu di sebelah kiri! Setelah itu potong daging seperti ini, dan kemudian ambil dagingnya dengan garpu, lalu makan!" terang Satya dengan mempraktekan memotong steak daging tersebut sembari memakannya.

"Makan dengan tangan kiri?" tanya Hilya kemudian.

"Iya, kenapa?" tanya Satya.

"Dalam agama kita, yang makan dengan tangan kiri itu setan mas," jawab Hilya.

Seketika Satya berhenti mengunyah makanannya, dan menatap gadis cantik yang disebut gadis kampung oleh sahabatnya itu.

"Garpunya dipindah di tangan kanan boleh kan mas?" tanya Hilya kemudian.

"Mmm... Iya." Satya mengangguk sembari tersenyum. "Garpuku juga aku pindah ke tangan kanan," lanjutnya.

Satya menghelan nafas, sembari melanjutkan menyantap makanannya yang masih mengepul di atas hot plate.

"Kenapa kamu blum makan?" Tanya Satya saat melihat Hilya masih belum menyantap makanannya.

"Masih panas."

"Makanan ini memang enak dimakan saat panas," jawab Satya.

"Bukankah lebih sehat jika dimakan saat dingin, tidak merusak email gigi dan juga tidak membuat lidah kita panas."

"Mmm, iya." Jawab Satya.

Laki-laki itu kembali menghelan nafas, dan kemudian meraih tisu di samping hot platenya sembari mengusap percikan bumbu makanan di bibirnya.

"Mmm... Kamu tiup saja biar cepat dingin! Dan kamu bisa segera makan," kata Satya kemudian.

"Rasulullah tidak memperbolehkan kita meniup makanan. Selain itu, meniup makanan tidak bagus juga dalam kesehatan, kan? Aku pernah baca di buku, jika kita meniup makanan, kuman yang ada di mulut akan berpindah ke makanan, dan dapat menyebabkan kontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit." Terang Hilya.

"Iya." Satya tersenyum seraya kembali menghelan nafasnya.

Akhirnya meski tidak begitu menyenangkan, makan malam Satya dan gadis desa bernama Hilya itupun selesai.

Setelah mengantar Hilya dan pembantunya masuk ke dalam mobil, Satya segera melangkah menuju mobil miliknya, dan terlihat Dirga sudah ada di dalam mobil BMW X4 warna hitam itu.

"Bagaimana makan malamnya?" tanya Dirga.

"Mmm... Sepertinya kita harus pertimbangkan kembali rencana pernikahanku dengan anak pak haji itu."

"Kenapa?"

"Dirga, dia tidak sebodoh seperti yang kamu pikirkan, mungkin dia memang gadis desa yang masih polos dan lugu, tapi dia bukan gadis yang bodoh. Dan aku lihat dia gadis yang cukup cerdas dan pintar," jelas Satya.

"Satya! Dengarkan aku! Gadis itu hanya sekolah di pesantren, pergaulannya terbatas, pengalaman hidupnya juga pasti terbatas, karena dia hanya belajar ilmu agama saja di sana," jawab Dirga dengan menekan suaranya. "Mungkin dia hanya pintar ilmu agama, tapi untuk yang lain, noool," lanjut Dirga. "Jadi kamu tenang, kamu tidak perlu khawatir, rencana kita tetap harus berjalan seperti semula, dan aku optimis kalau rencana ini akan berhasil. Okey!"

Dirga berusaha meyakinkan Satya kalau rencana mereka akan berhasil.

"Okey! Terserah kamu saja! Tapi aku minta semuanya harus berjalan dengan rapi. Aku tidak mau ada kata gagal setelah rencana ini kita jalankan."

Terlihat Dirga mengangguk-angguk saat mendengarkan jawaban Satya.

"Dan satu hal lagi, aku tidak mau ada orang yang tahu tentang pernikahan konyol ini. Kolegaku, keluargaku. Dan yang terpenting adalah tunanganku. Aku tidak ingin Clarissa sampai tahu tentang pernikahan yang kita rencanakan ini."

Rencana licik yang di prakarsai oleh Dirga yang tidak lain adalah pengacara perusahaan sekaligus sahabatnya ini cukup membuat Satya ragu dan khawatir. Namun dia tetap mengiyakannya, karena selama ini ide dan masukan yang diberikan oleh pengacaranya itu selalu berhasil.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status