Share

2, Guru Baru

Sembilan tahun lalu, 2012

“SELAMAT pagi, Anak-anak,” sapa Bu Ros ke seisi kelas ketika masuk sambil meletakkan isi tangannya ke meja. Seluruh kelas langsung hening dan merapikan duduknya ketika Bu Ros masuk.

“Selamat pagi, Bu.” Seluruh kelas menjawab sopan salam itu.

“Kenalkan, ini Bu Anna, Savannah Gayatri, guru yang akan membantu Ibu di kelas ini selama satu semester ke depan.”

Seorang wanita muda tersenyum sambil mengangguk satu kali.

“Selamat pagi, Semua.” Anna menyapa kelas ramah dengan senyum yang agak kaku, canggung, dan malu-malu.

“Selamat pagi, Bu Anna.” Seluruh kelas mengabaikan kecanggungan Anna dengan membalas salamnya khas murid. Serempak dengan tone datar.

Semua?

Seorang murid lelaki yang duduk di deret kedua dari belakang tidak menjawab salam itu. Malas, dia mengangkat kepalanya dari tangan yang bersedekap di meja sebagai tumpuan kepalanya ketika mendengar suara salam bersahut-sahutan. Dia baru bangun dari tidur ayam-ayamnya. Masih dengan mata mengantuk dia melihat ke depan, ke arah dua guru wanita.

“Pagi, Bu,” Tiba-tiba dia memberi salam sambil menguap.

“Pagi, Vlad,” jawab Bu Ros tersenyum tapi matanya menatap tajam ke Vlad. “Kemajuan kamu nggak telat loh.”

Yang ditanya hanya menggaruk kepalanya. Abai.

“Sudah mandi? Kok masih garuk-garuk?” Yang ditanya hanya mengedikkan bahunya.

“Buat apa mandi? Nanti juga bau lagi.”

“Buat apa makan? Nanti juga lapar lagi,” balas Bu Ros.

“Kalau nggak makan saya mati, Bu.”

“Kalau kamu nggak mandi sekelas yang mati kebauan,” jawab Bu Ros lagi yang diiringi tawa seluruh kelas.

“Tapi nggak ada syarat harus mandi kalau sekolah kan?”

“Pun ada, paling kamu langgar kan?”

“Iya sih.” Vlad terkekeh.

Kekeh yang membuat Bu Ros berdecak lalu melanjutkan kembali sesi perkenalannya.

“Seperti yang tadi Ibu bilang, Bu Anna akan membantu Ibu di mata pelajaran IPA untuk satu semester ke depan. Saya harap kalian juga membantu Bu Anna dengan menjadi murid yang baik. Mengerti?”

“Mengerti, Bu.” Seluruh isi kelas menjawab, kecuali Vlad. “Mengerti, Vlad?”

“Ngerti sih, Bu, Tapi kalau saya nggak mau bantu gimana?”

“Itu urusan kamu sama Bu Anna.” Kali ini Bu Ros melengos tanpa senyum. “Baik, Bu Anna, silakan,” lanjutnya pada Anna memberikan tanggung jawab pengelolaan kelas pada Anna. “Saya pamit dulu. Selamat pagi.”

“Pagi, Bu.” Seluruh kelas menjawab termasuk Vlad yang kali ini justru bersuara paling keras seakan meneriakkan kebahagiaannya karena Bu Ros pergi.

Tersisa Anna berdiri sendirian di depan kelas. Radarnya langsung terarah ke arah Vlad dengan alarm diaktifkan pada mode paling sensitif juga ke Vlad.

“Tadi siapa namanya?” tanya Vlad tiba-tiba tepat ketika mata Anna berserobok dengannya.

“Anna.”

“Lengkapnya?”

“Savannah Gayatri.”

“Coba tulis.”

Spontan Anna mengambil spidol bersiap menulis. Suara kekeh mulai terdengar, dan ketika Anna melepas tutup spidol bersiap menulis, tiba-tiba dia sadar, kenapa dia harus mengikuti perintah Vlad? Dia guru di sini. Tapi kadung posisi tangannya bersiap menulis, dia lanjutkan gerakan tangannya menulis. Dia hanya menulis satu kata saja. Nama depannya. Savannah. Setelah selesai dia berbalik.

“Kamu tau apa itu savannah?” tanyanya pada Vlad.

“Tau dong.”

“Baik. Saya mau kamu menulis sedikit essay tentang savannah. Minggu depan bisa?”

“Sekarang juga bisa. Tapi nggak usah nulis, ngomong aja.”

“Oke. Silakan.”

“Savannah adalah nama guru IPA di kelasku. Bertubuh mungil, berambut panjang dengan wajah cantik dan senyum manis, terlebih kalau matanya berkedip indah. Dia akan—”

“Cukup!”

“Tapi itu baru prolog, Bu.”

“Tapi saya mau penjelasan tentang savannah sebagai ekosistem.”

“Tapi Ibu harus tau bagaimana Savannah Gayatri di mata saya.”

Ini tidak bisa dibiarkan. Jika dilanjutkan, materi akan bertumpuk.

“Teriima kasih. Saya tidak perlu itu. Dan essay tentang ekosistem savannah akan jadi tugas perdana kamu di semester ini dari saya. Sekarang kita akan masuk ke materi,” Anna berkata tanpa jeda sambil menghapus namanya dari papan tulis. Terdengar suara helaan napas dari Vlad. Terdengar dalam tone bosan.

Sepertinya dia harus menambah stok sabar menghadapi murid yang satu ini.

***

“Gimana, Na?” tanya Bu Ros ketika Anna baru melewati pintu ruang guru. “Saya lupa info soal Vlad.”

Anna hanya tertawa kecil lalu menarik napas malas. “Ya begitu deh, Bu. Sepanjang waktu bikin saya harus tarik napas. Kok dia bisa masuk kelas ungulan ya, Bu?” Ada lima kelas paralel tiap level. Sekolah ini berusaha mengumpulkan kemampuan anak di kelompok yang sama.

Ganti Bu Ros yang tertawa.

“Dia tuh pinter loh, Na. Cerdas. Dia nggak pernah belajar, kalau di kelas gayanya ngeselin gitu. Tapi nilainya tinggi terus.”

“Tau dari mana dia nggak pernah belajar?”

“Kasih aja tugas, kalau dia kerjain berarti dia lagi iseng tuh.”

Anna membanting punggungnya ke sandaran kursi.

And it was happened.”

“Hah?”

“Saya sudah kasih tugas.”

Bu Ros dan guru lain di ruangan itu terbahak mendengar cerita Anna.

“Dia itu pintar, tapi sudah dua kali nggak naik kelas. Waktu SD sekali, Ini tahun kedua dia di kelas tiga.”

“Pasti deh karena attitude-nya.”

“Ya begitu deh.”

“Biasanya anak nggak naik dipindahin sama orangtuanya ke sekolah lain,” ujarnya berupa pertanyaan sebagai kebiasaan banyak orangtua dan sekolah.

“Vlad nggak mau pindah.”

“Orangtuanya nggak masalah?” Anna bertanya sampai berkerut kening.

“Vlad kalau punya mau ya begitu. Nggak bisa dipaksa. Kalau dipaksa dia bakal bolos sampai kemauannya diikuti. Kalau dia bilang nggak mau pindah, ya dia nggak akan pindah. Bahkan dia yang mau tetap tinggal kelas meski orangtuanya sudah maksa sekolah naikin. Nantangin orangtuanya gitu.”

“Kenapa?”

“Vlad itu prinsipnya yang penting nentang orang apalagi orang itu orangtuanya.”

“Hah?”

Sepertinya Anna mulai tahu akar masalahnya apa.

Teett… teett….

Bel tanda jam istirahat sudah habis berbunyi. Nyaris seluruh isi ruang guru bersiap ke kelas. Termasuk Anna. Kali ini dia tidak bertugas di kelas. Dia sudah menghafal jadwalnya. Melenggang, dia berjalan ke arah depan sekolah. Meja guru piket. Dia tahu tidak boleh ada guru memegang ponsel selama jam belajar, tapi membaca tentu boleh. Mungkin bukan novel. Non fiksi pasti boleh. Baiklah. Tugas berikutnya dia akan menyiapkan buku untuk menemaninya membunuh waktu.

Kali ini, karena tidak ada yang dia kerjakan, dia membalik-balik lembar buku log piket. Matanya tertuju pada satu nama.

Vladimir Darmawangsa.

Pasti ini si Vlad.

Kemarin memang dia membaca absen murid yang akan dia pegang, tapi tentu saat itu nama Vlad akan lewat begitu saja tanpa sempat singgah di memorinya.

Dan tanpa sadar matanya mencari nama yang sama. Bahkan dia membalik buku itu untuk mencari nama itu. Tapi itu bukan sebuah prestasi yang layak dapat hadiah. Semakin sering nama siswa ada di buku itu berarti prestasinya adalah juara membolos minimal juara terlambat masuk sekolah.

Tanpa sadar Anna menarik napas.

Anak ini akan sering membuarnya menarik napas lelah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status