Share

3, Lelaki Serba Tahu

“KAMU masih ada urusan?”

“Hah?” Aku tergagap mendadak ditanya.

“Masih ada yang mau dikerjain nggak? Aku lihat semua sudah ambil rapot nih.” Matanya bergerak dari atas ke bagian bawah kertas yang dia pegang dengan sebelah tangan.

“Eh, iya. Sudah selesai semua.” Aku masih tergagap. Gagap yang membuat gerakan tanganku terasa kasar tak beraturan ketika mengumpulkan berkas. Aku harus segera pergi dari hadapannya.

“Ya sudah, ayo aku antar pulang.” Dia langsung berdiri, menjulurkan tangannya membantuku berdiri. Gesture yang spontan kusambut dan membuat aku tertarik ke masa sembilan tahun lalu. Tercekat, aku menarik napas lalu terburu menarik napas panjang. Segera kusambar tas sebagai alasan melepaskan pegangan tangannya.

“Eh, aku bawa kendaraan sendiri. Terima kasih, tapi nggak usah diantar.”

“Ck.” Dia berdecak lalu berjalan di sampingku. Terlalu dekat sehingga membuat aku merasa tak nyaman. Aku melirik ke sekitar, memastikan tidak ada mata, mata, dan mata yang bisa menjadi mata-mata lalu menyebarkan berita aneh.

Fyuhh…

Siapalah aku ni.

Kami berjalan melintasi lapangan menuju tempat parkir motor. Aku bergegas menuju motorku dan dia tetap mengikut sedepa di sampingku. Gagapku membuat mencari kunci motor pun menjadi drama. Kunci itu jatuh dan dia yang mengambilnya. Kujulurkan tanganku meminta kunci itu, tapi dia malah menyerahkan pada seseorang yang ternyata sudah bersiap di dekat kami. Tanpa banyak bicara, orang itu mengeluarkan motorku dan aku hanya bisa diam sementara dia bekerja.

“Ayo,” ajaknya lagi.

“Hah?”

“Apa sih dari tadi hah-hah terus?” Dia tidak bisa menutupi suara jengkel dan tak sabarnya. Dan seingatku, dia memang seperti itu. Tak suka menunggu.

Dan tak suka menunggunya itu membuat dia menarikku di siku sampai aku berjengit terkejut. Dia membuka sebuah pintu SUV di sisi penumpang dan dengan gesturenya menyuruhku masuk.

Entah apa yang dia lakukan padaku, aku begitu penurut saat ini. Tanpa banyak kata, aku duduk dan diam saja ketika dia membantu memasang safety belt lalu dia berjalan memutar menuju sisi pengemudi dan tanpa banyak kata langsung mengemudi.

Embusan AC dan suara musik lembut tidak membuatku nyaman. Dudukku terlalu tegang di mobil senyaman ini. Vlad malah mengemudi sangat santai dengan jari mengetuk-ngetuk kemudi seirama musik. Jarak yang biasa kutempuh sendirian kali ini berteman tapi tetap dalam diam. Dia mengemudi begitu santai seakan ini rutenya setiap hari. Semakin mendekati rumah aku semakin terhenyak ketika aku semakin yakin bahwa dia sudah tahu rumahku.

Memasuki gerbang perumahan aku semakin tegang. Dan aku hanya bisa diam ketika dia memarkirkan mobil tepat di depan rumahku.

“Ayo.” Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dengan pintu mobil terbuka. Bahkan dia yang melepas safety belt.

“Hah?” Aku lagi-lagi tergagap. Dan dia lagi-lagi berdecak.

“Mau turun nggak? Apa mau langsung jalan aja?”

“Mau ke mana?” Pertanyaan bodoh.

“Ya kamu mau ke mana? Sudah di depan rumah nggak mau turun.” Dia melepas aviatar sunglasses lalu melempar asal ke dashboard. “Ayo.”

Fyuhhh…

Seakan stok bodoh, terkejut, dan terkesima tidak habis dari diriku, aku terus mempermalukan diri sendiri di depannya. Termasuk ketika aku tidak bisa membuka pintu rumah sendiri dan dia gesit mengambil alih.

“Kamu tuh dari dulu masih aja suka ngumpulin kunci kayak penjaga sekolah begini.” Serenceng kunci itu berisi semua kunci di rumah ini. Termasuk kunci lemari. Dia sudah berhasil membuka pintu dan tanpa diundang dan dipersilakan langsung masuk mendahului pemilik rumah. Aku. “Ngapain sih segala kunci dibawa ke mana-mana? Bikin berat tas aja.” Dia berkata sambil menjatuhkan bokongnya ke kursi tamu.

“Savannah, kamu nggak perlu bawa semua printilan di tas. Kita hidup di era milenial di mana semua kebutuhan kita dijual di pinggir jalan. Kalau pun nggak ada, kita bisa cepat order lalu diantar.” Dia mengambil bungkus rokok dari sakunya, mengambil sebatang, dan santai menyalakan lalu mengembuskan asapnya.

Sementara itu, aku hanya berdiri mematung di depannya.

“Kayak sekarang nih. Aku pegang HP. Kalau kamu nggak ambilin aku minum walau cuma segelas air mineral, ya aku tinggal order aja. Apalagi pin point rumah ini sudah aku save.”

Tergagap, aku bergegas ke dapur menyiapkan segelas sirup. Tuhan, tolong kembalikan kecerdasanku segera. Aku lelah menjadi orang bodoh di depan mantan muridku.

Sambil menyiapkan minuman aku berusah menata hati dan menyiapkan mental. Berjuta pertanyaan hadir dan semua tidak ada jawabannya. Kelebat kibasan memori mengentak menganggu dan semua tentang dia.

“Savannah, kamu bikin apa sih? Lama amat. Freshwater its okay. Nggak usah bikin cocktail. Aku nggak minum alkohol kok.”

“Sebentar,” jawabku sambil mendesah dan memutar bola mata.

“Aku cuma haus, kamu nggak usah masak. Nanti kita order atau keluar aja kalau lapar.”

Astaga.

Manusia ini…

Aku tidak bisa menemukan kata yang cocok. Aku hanya mempercepat gerakanku saja.

“Kok cuma satu? Minum kamu mana? But its okay. Segelas berdua.” Dia langsung menyorongkan gelas ke bibirku.

Thanks God! Kali ini spontanitas mendorong bahuku ke belakang, menolak sodorannya. Dia hanya terkekeh lalu bibirnya langsung ribut menyeruput isi gelas.

Tapi setelahnya sunyi. Dia tidak bersuara lagi. Dia hanya menatap lurus ke arah foto pernikahan kami—aku dan Bhagavad Antares. Caranya melihat membuatku jengah tapi tidak mengubah posisi dudukku di sisi lain kursi yang dia duduki.

Kudengar helaan napas panjang dan tubuhnya merosot turun.

“Kenapa kamu nggak sabar, Savannah? Kenapa kamu nikah? Sekarang aku harus merebut kamu dari Bhaga. Aku nggak mau nyakitin dia. Tapi kalau nggak, aku yang sakit lihat kalian.”

Mendengar itu, tiba-tiba aku siuman dari mantranya.

“Vlad, aku sudah nikah, dan kedatangan kamu nggak akan mengubah itu.”

No, Savannah, aku akan mengubah itu. Dan itu akan berhasil seperti aku berhasil mengubah diriku sendiri.”

Dia seperti berbicara sendiri sambil tetap menatap foto pernikahan kami. Tapi ucapannya membuatku terkekeh meremehkan, dan kekeh itu membuat perhatiannya teralihkan. Dia menoleh dan kali ini dia menatapku tanpa penghalang apa pun dan dengan kenangan yang utuh atas mata itu.

Percayalah, jika kalian berada di posisiku saat ini, kalian pun akan sebodoh aku. Aku berusaha memanggil kembali semua isi otak ini agar bisa menguasai keadaan. Tapi itu sungguh sulit. Keterkejutan yang tidak bisa segera hilang membuatku sulit berpikir.

Tolong bayangkan posisiku saat ini. Bayangkan. Apa yang kau rasa jika ada mantan muridmu tiba-tiba datang setelah sembilan tahun berlalu kemudian langsung berkata akan merebutmu dari suamimu.

“Tapi bagus kalian nggak punya anak. Aku memang bersedia jadi bapak sambung anak kalian, tapi…” Dia mengedikkan bahu. “Aku tahu rasanya jadi anak korban perceraian.”

“Oke, Vlad. Cukup.” Dia semakin berani, aku yang semakin kacau harus segera menghentikan kegilaan ini. “Aku nggak tau gimana caranya kamu bisa tau semua tentang aku termasuk rumah ini termasuk soal anak.” Dia seperti ingin memutus kalimat panjang itu. Terburu aku berkata, “Tapi cukup. Tolong pergi dan jangan ganggu aku. Jangan ganggu kami. Pernikahan kami baik-baik saja.”

Vlad mendengus.

“Nggak usah bohong, Savannah. Kalau kalian baik-baik saja, Bhaga akan pulang setiap cuti ke sini, nggak akan dia ambil lembur ketika cuti. Kalian nggak butuh uang sampai sebegitunya.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status