Share

4. Terlambat

“PAGI, Bu.” Suara bariton membuat Anna mendongak.

Vlad.

Menatap lurus ke mata Anna dengan wajah sedatar papan.

Spontan Anna melirik ke jam tangannya.

“Sudah lewat batas toleransi keterlambatan, Vlad.” Anna menulis nama Vlad di log book dengan keterangan terlambat lengkap dengan berapa menit keterlambatannya itu.

Santai, Vlad duduk di kursi di samping Anna.

“Saya masuk jam kedua aja kalau begitu.” Dia mengambil pulpen yang tadi Anna gunakan untuk menulis lalu membuka halaman terakhir log book piket. Anna membiarkan saja Vlad berulah. Makhluk seperti Vlad memang penguji kesabaran yang nyata.

Anna melihat Vlad menulis—menggambar?—di halaman terakhir itu. Entah akan jadi apa hasil tangannya. Tapi Anna serius menekuri ujung mata pulpen yang bergerak di kertas membentuk pola. Dia sampai bertopang dagu.

Savannah Gayatri.

Itu yang Vlad tulis ala graffiti. Bagian dalam tulisannya masih kosong ketika Vlad menunjukkan hasilnya pada Anna sambil melihat ke arah Anna. Anna hanya tersenyum.

“Bagus,” ujar Anna tapi Vlad melanjutkan kesibukannya, mengabaikan pujian Anna. “Kamu suka menggambar?”

“Suka aja. Daripada nggak ada yang dikerjain.” Anna memberikan lagi buku itu. Mengarahkan posisi ke hadapan Vlad, tanda dia menyuruh Vlad melanjutkan kreasinya.

“Kalau gitu kenapa tadi terlambat? Kalau nggak telat kan bisa belajar. Ada deh yang dikerjain.” Tatapan Anna berpindah dari gerakan tangan Vlad ke wajah. Dia sedang menebar jala. Berusaha memancing Vlad terus mengoceh.

“Ya ini ada juga yang dikerjain kan.” Vlad mengentakkan pulpennya dua kali di bidang kertas yang dia gambar.

“Iya sih. Tapi tadi kenapa terlambat?” tanya Anna berusaha berhati-hati.

“Baru bangun.”

“Kenapa baru bangun?” Dia menjaga suaranya di tone bertanya karena tidak tahu apa-apa.

“Baru tidur pas mau subuh.”

“Nggak sholat dong.”

“Diwakilkan sama jamaah masjid aja.”

Anna terkekeh mendengar jawaban seperti itu.

“Semalam nggak bisa tidur?” tanya Anna lagi.

Vlad mengangguk satu kali tapi tetap serius menghias graffiti. Anna sungguh-sungguh takjub dengan hasil kreasi Vlad. Hanya sebuah pulpen hitam dan sejak di huruf ketiga Anna sudah melihat keindahan karya Vlad.

“Kenapa?”

“Sudah biasa begitu.”

“Oohh… pantas nama kamu banyak di situ.” Anna menunjuk buku di tangan Vlad dengan dagunya. Seandainya buku itu tidak dipakai Vlad menggambar, tentu Anna akan membalik kertas beberapa kali untuk menunjukkan nama Vlad berceceran di mana-mana.

“Kenapa nggak bisa tidur?”

“Sudah biasa.”

“Kenapa biasa nggak bisa tidur?”

Vlad mengedikkan bahunya.

“Mungkin kamu kebanyakan tidur siang. Coba dikurangi tidur siangnya. Biar ritme tubuh kamu normal. Pelan-pelan aja. Sedikit-sedikit. Nanti tidur malamnya maju sendiri deh. Kalau tidurnya maju, otomatis bangunnya maju juga.” Anna melirik ke samping, memastikan Vlad mendengar ocehannya. “Kalau malam nggak tidur kamu ngapain?” Penjelasan tentang tidur tidak perlu diperpanjang. Akan mengesalkan bagi Vlad. Dan Vlad yang kesal belum tentu mau membuka mulut.

“Begadang.”

Anna terkekeh. “Ya masa iya berdagang.”

“Saya mau berdagang.”

“Lalu kenapa nggak jualan?”

“Nggak boleh sama Papa.”

“Lalu? Apa urusannya sama Papa?”

“Nggak ada yang kasih modal.”

“Memang harus pakai modal?”

Vlad menghela napas sambil membanting pulpennya. Sisa tiga huruf terakhir belum dia hias.

“Gimana mau jualan kalau nggak ada modal? Jual diri?” Nada suaranya meninggi.

“Kalau nggak punya modal, ya jual aja dagangan orang. Reseller.”

Vlad terdiam.

“Lanjutin ngehiasnya. Tanggung tuh.” Anna menunjuk dengan dagu. “Kenapa sih kamu mau jualan?” tanyanya lagi ketika Vlad mulai menghias lagi.

“Biar punya duit sendiri, nggak usah minta Papa.”

“Kan enak tinggal minta.”

“Nggak enak. Nggak bebas.”

Cukup.

Jika dia terus bertanya, Vlad justru akan menutup diri. Sudah cukup banyak yang Vlad buka padanya.

“Kamu tau nggak kalau ada komunitas produsen?”

Vlad menggeleng.

“Coba searching deh. Kamu gabung di sana. Kamu tinggal pilih barang yang mau kamu jual. Cari produsennya. Bakal ketemu banyak. Ya kamu pilah pilih sendiri mau kerjasama dengan siapa.”

“Lalu?”

“Ya sudah, kamu jadi reseller aja. Kalau bisa cari yang bisa dropship biar pembeli irit ongkir kamu irit kerjaan.”

“Kalau mau main partai banyak?”

“Biasanya butuh penjamin. Nah, kayaknya kamu bisa deh jual nama Papa kamu. Yang pasti dari awal kamu harus amanah biar track record kamu bersih. Apalagi kalau sampai pakai nama orangtua.”

“Gimana caranya pakai nama Papa?”

“Kasih aja nope Papa, suruh dia cross check. Selama Papa kamu ngakuin kamu anaknya, ya beres.”

Vlad diam.

“Tapi, Vlad, jangan pernah mikir bawa kabur barang orang kerena Papa kamu akan ganti kerugian orang itu ya. Ingat, kamu sedang membangun bisnis kamu sendiri. Kalau nama kamu tercoreng, selamanya kamu susah berbisnis. Bukan begitu cara balas dendam ke Papa. Balas dendam terbaik adalah dengan prestasi.”

“Kok Ibu tau saya dendam sama Papa?” Alisnya sampai berkerut. Anna tersenyum mendengar pertanyaan khas ababil itu. Atau anak kecil? Ababil saja.

Teng teng…

“Sudah, masuk sana.” Anna mengambil buku yang tertindih lengan Vlad. “Ibu ambil ya grafittinya.” Anna tersenyum dan langsung merobek lembar terakhir itu. Vlad menatap dengan mata berbinar. Lalu berbalik pergi menuju kelasnya.

Ah, hanya anak kurang perhatian.

***

Di kelas, Vlad masuk setelah guru pertama keluar. Dia langsung membanting bokongnya di kursi lalu menelungkupkan wajahnya di meja beralas lengan. Guru jam kedua belum masuk.

“Kamu kesiangan lagi, Bang Vlad?” Suara lembut Tiara bertanya sambil membalik tubuh. Dia duduk di depan Vlad. Vlad tidak menjawab meski hanya anggukan. “Mana buku kamu? Nanti aku salinin materi tadi.” Vlad tetap diam. Diam yang membuat Tiara bergerak mengambil tas Vlad lalu membukanya dan mencari sendiri buku yang dia maksud.

“Enak ya jadi orang pintar. Cuma baca catatan aja bisa jawab soal. Aku, sudah dijelaskan pun masih nggak ngerti juga.” Tiara mengoceh sambil merapikan kembali tas Vlad. “Ajarin aku kek, Bang.”

“Malas.”

“Anggap aja belajar sih, Bang. Kamu sekalian baca sekalian ngajarin aku.”

“Gue, Tiara. Gue. Gatel kuping gue dengar aku-aku. And one more thing, Vlad aja. Nggak usah pakai abang. Lu kata gue abang bakso?”

Tiara baru akan membuka mulut ketika guru masuk melewati panel pintu. Membuat dia bergegas kembali ke kursinya sambil memegang buku catatan Vlad. Nyaris semua isi buku itu adalah tulisan tangannya. Jam pertama adalah jam Vlad termalas mendengar ‘ocehan’ guru. Pun dia ada di sana, dia hanya akan menguap, menelungkupkan wajah, atau memandang kosong ke depan. Apa pun selain mendengar penjelasan guru. Tapi begitulah, seperti itu saja bisa membuat Vlad mengerti materi. Tidak bisa dibayangkan jika Vlad belajar serius.

Kali ini Vlad tidak berniat membuat ulah. Dia memang mendengar penjelasan guru sambil lalu. Tapi tidak ada kelakuannya yang memancing emosi guru. Pun wajahnya terpasang datar. Terlalu tenang untuk ukuran Vlad.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status