“PAGI, Bu.” Suara bariton membuat Anna mendongak.
Vlad.
Menatap lurus ke mata Anna dengan wajah sedatar papan.
Spontan Anna melirik ke jam tangannya.
“Sudah lewat batas toleransi keterlambatan, Vlad.” Anna menulis nama Vlad di log book dengan keterangan terlambat lengkap dengan berapa menit keterlambatannya itu.
Santai, Vlad duduk di kursi di samping Anna.
“Saya masuk jam kedua aja kalau begitu.” Dia mengambil pulpen yang tadi Anna gunakan untuk menulis lalu membuka halaman terakhir log book piket. Anna membiarkan saja Vlad berulah. Makhluk seperti Vlad memang penguji kesabaran yang nyata.
Anna melihat Vlad menulis—menggambar?—di halaman terakhir itu. Entah akan jadi apa hasil tangannya. Tapi Anna serius menekuri ujung mata pulpen yang bergerak di kertas membentuk pola. Dia sampai bertopang dagu.
Savannah Gayatri.
Itu yang Vlad tulis ala graffiti. Bagian dalam tulisannya masih kosong ketika Vlad menunjukkan hasilnya pada Anna sambil melihat ke arah Anna. Anna hanya tersenyum.
“Bagus,” ujar Anna tapi Vlad melanjutkan kesibukannya, mengabaikan pujian Anna. “Kamu suka menggambar?”
“Suka aja. Daripada nggak ada yang dikerjain.” Anna memberikan lagi buku itu. Mengarahkan posisi ke hadapan Vlad, tanda dia menyuruh Vlad melanjutkan kreasinya.
“Kalau gitu kenapa tadi terlambat? Kalau nggak telat kan bisa belajar. Ada deh yang dikerjain.” Tatapan Anna berpindah dari gerakan tangan Vlad ke wajah. Dia sedang menebar jala. Berusaha memancing Vlad terus mengoceh.
“Ya ini ada juga yang dikerjain kan.” Vlad mengentakkan pulpennya dua kali di bidang kertas yang dia gambar.
“Iya sih. Tapi tadi kenapa terlambat?” tanya Anna berusaha berhati-hati.
“Baru bangun.”
“Kenapa baru bangun?” Dia menjaga suaranya di tone bertanya karena tidak tahu apa-apa.
“Baru tidur pas mau subuh.”
“Nggak sholat dong.”
“Diwakilkan sama jamaah masjid aja.”
Anna terkekeh mendengar jawaban seperti itu.
“Semalam nggak bisa tidur?” tanya Anna lagi.
Vlad mengangguk satu kali tapi tetap serius menghias graffiti. Anna sungguh-sungguh takjub dengan hasil kreasi Vlad. Hanya sebuah pulpen hitam dan sejak di huruf ketiga Anna sudah melihat keindahan karya Vlad.
“Kenapa?”
“Sudah biasa begitu.”
“Oohh… pantas nama kamu banyak di situ.” Anna menunjuk buku di tangan Vlad dengan dagunya. Seandainya buku itu tidak dipakai Vlad menggambar, tentu Anna akan membalik kertas beberapa kali untuk menunjukkan nama Vlad berceceran di mana-mana.
“Kenapa nggak bisa tidur?”
“Sudah biasa.”
“Kenapa biasa nggak bisa tidur?”
Vlad mengedikkan bahunya.
“Mungkin kamu kebanyakan tidur siang. Coba dikurangi tidur siangnya. Biar ritme tubuh kamu normal. Pelan-pelan aja. Sedikit-sedikit. Nanti tidur malamnya maju sendiri deh. Kalau tidurnya maju, otomatis bangunnya maju juga.” Anna melirik ke samping, memastikan Vlad mendengar ocehannya. “Kalau malam nggak tidur kamu ngapain?” Penjelasan tentang tidur tidak perlu diperpanjang. Akan mengesalkan bagi Vlad. Dan Vlad yang kesal belum tentu mau membuka mulut.
“Begadang.”
Anna terkekeh. “Ya masa iya berdagang.”
“Saya mau berdagang.”
“Lalu kenapa nggak jualan?”
“Nggak boleh sama Papa.”
“Lalu? Apa urusannya sama Papa?”
“Nggak ada yang kasih modal.”
“Memang harus pakai modal?”
Vlad menghela napas sambil membanting pulpennya. Sisa tiga huruf terakhir belum dia hias.
“Gimana mau jualan kalau nggak ada modal? Jual diri?” Nada suaranya meninggi.
“Kalau nggak punya modal, ya jual aja dagangan orang. Reseller.”
Vlad terdiam.
“Lanjutin ngehiasnya. Tanggung tuh.” Anna menunjuk dengan dagu. “Kenapa sih kamu mau jualan?” tanyanya lagi ketika Vlad mulai menghias lagi.
“Biar punya duit sendiri, nggak usah minta Papa.”
“Kan enak tinggal minta.”
“Nggak enak. Nggak bebas.”
Cukup.
Jika dia terus bertanya, Vlad justru akan menutup diri. Sudah cukup banyak yang Vlad buka padanya.
“Kamu tau nggak kalau ada komunitas produsen?”
Vlad menggeleng.
“Coba searching deh. Kamu gabung di sana. Kamu tinggal pilih barang yang mau kamu jual. Cari produsennya. Bakal ketemu banyak. Ya kamu pilah pilih sendiri mau kerjasama dengan siapa.”
“Lalu?”
“Ya sudah, kamu jadi reseller aja. Kalau bisa cari yang bisa dropship biar pembeli irit ongkir kamu irit kerjaan.”
“Kalau mau main partai banyak?”
“Biasanya butuh penjamin. Nah, kayaknya kamu bisa deh jual nama Papa kamu. Yang pasti dari awal kamu harus amanah biar track record kamu bersih. Apalagi kalau sampai pakai nama orangtua.”
“Gimana caranya pakai nama Papa?”
“Kasih aja nope Papa, suruh dia cross check. Selama Papa kamu ngakuin kamu anaknya, ya beres.”
Vlad diam.
“Tapi, Vlad, jangan pernah mikir bawa kabur barang orang kerena Papa kamu akan ganti kerugian orang itu ya. Ingat, kamu sedang membangun bisnis kamu sendiri. Kalau nama kamu tercoreng, selamanya kamu susah berbisnis. Bukan begitu cara balas dendam ke Papa. Balas dendam terbaik adalah dengan prestasi.”
“Kok Ibu tau saya dendam sama Papa?” Alisnya sampai berkerut. Anna tersenyum mendengar pertanyaan khas ababil itu. Atau anak kecil? Ababil saja.
Teng teng…
“Sudah, masuk sana.” Anna mengambil buku yang tertindih lengan Vlad. “Ibu ambil ya grafittinya.” Anna tersenyum dan langsung merobek lembar terakhir itu. Vlad menatap dengan mata berbinar. Lalu berbalik pergi menuju kelasnya.
Ah, hanya anak kurang perhatian.
***
Di kelas, Vlad masuk setelah guru pertama keluar. Dia langsung membanting bokongnya di kursi lalu menelungkupkan wajahnya di meja beralas lengan. Guru jam kedua belum masuk.
“Kamu kesiangan lagi, Bang Vlad?” Suara lembut Tiara bertanya sambil membalik tubuh. Dia duduk di depan Vlad. Vlad tidak menjawab meski hanya anggukan. “Mana buku kamu? Nanti aku salinin materi tadi.” Vlad tetap diam. Diam yang membuat Tiara bergerak mengambil tas Vlad lalu membukanya dan mencari sendiri buku yang dia maksud.
“Enak ya jadi orang pintar. Cuma baca catatan aja bisa jawab soal. Aku, sudah dijelaskan pun masih nggak ngerti juga.” Tiara mengoceh sambil merapikan kembali tas Vlad. “Ajarin aku kek, Bang.”
“Malas.”
“Anggap aja belajar sih, Bang. Kamu sekalian baca sekalian ngajarin aku.”
“Gue, Tiara. Gue. Gatel kuping gue dengar aku-aku. And one more thing, Vlad aja. Nggak usah pakai abang. Lu kata gue abang bakso?”
Tiara baru akan membuka mulut ketika guru masuk melewati panel pintu. Membuat dia bergegas kembali ke kursinya sambil memegang buku catatan Vlad. Nyaris semua isi buku itu adalah tulisan tangannya. Jam pertama adalah jam Vlad termalas mendengar ‘ocehan’ guru. Pun dia ada di sana, dia hanya akan menguap, menelungkupkan wajah, atau memandang kosong ke depan. Apa pun selain mendengar penjelasan guru. Tapi begitulah, seperti itu saja bisa membuat Vlad mengerti materi. Tidak bisa dibayangkan jika Vlad belajar serius.
Kali ini Vlad tidak berniat membuat ulah. Dia memang mendengar penjelasan guru sambil lalu. Tapi tidak ada kelakuannya yang memancing emosi guru. Pun wajahnya terpasang datar. Terlalu tenang untuk ukuran Vlad.
***
“CUKUP, Vlad!” Aku mendesis dengan kelancangannya. “Aku nggak suka kamu ngurusin rumah tangga aku sampai sejauh itu.” Tidak akan ada manusia normal mau jika urusan rumah tangganya ditelisik seperti itu. Dia terlalu lancang.“Aku nggak maksud ke sana. Aku cuma memantau kamu aja.”Dia mengucapkan itu tanpa nada bersalah sama sekali. Membuat darahku mendadak menyembur dari seluruh lubang di tubuh akibat tekanan yang terlalu kuat.“Aku nggak perlu dijagain, dipantau, diawasi, atau apa pun itu.” Dia membuka mulut bermaksud membalas ucapanku, tapi langsung kupotong saja, “Lebih baik kamu pergi sekarang. Kamu nggak ada urusan lagi di sini.”Dia hanya mengedikkan bahu lalu menepuk kedua pangkal pahanya kemudian berdiri.“Oke, aku pergi sekarang.” Dia melongok ke luar lalu melambai ke arah orang yang tadi mengendarai motorku dari sekolah. Orang yang dia panggil datang lalu menyera
“ADA pertanyaan?” Anna melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada sisa waktu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Sedikit lama di Vlad yang ternyata asyik dengan dunianya sendiri. Anna malas memancing keributan, dia membiarkan saja Vlad dengan maunya. Salah seorang murid mengacungkan tangan, bertanya. Perhatiannya teralihkan pada si murid. Waktu sisa terpakai untuk menjawab pertanyaan itu.Bel berbunyi. Ini jam terakhir, seisi kelas langsung gaduh terburu bersiap pulang. Usai doa singkat dan salam berpamit, kelas bubar. Santai, Anna merapikan isi meja. Setelah selesai, dia melihat di kelas masih ada makhluk lain.“Nggak pulang, Vlad?” Vlad masih asyik duduk bersandar dengan kepala tersanggah dua lengannya.“Kenapa mau jadi guru?” tanya Vlad tiba-tiba.“Mau jadi model, muka nggak cantik, mau jadi tentara, tingginya kurang. Mau jadi bos, nggak ada yang mau jadi anak buahnya.” Anna menjawab asal.
KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.Vlad brengsek!Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.Aku kembali menarik napas, lelah.Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirk
ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia b
LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku
MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?
VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y
KEHIDUPAN di sekolah ini berjalan seperti biasa. Rencana Vlad seperti sudah menguap yang bahkan murid lain pun seperti sudah bosan merundungnya. Mungkin juga karena sejak awal ide itu tidak pernah dianggap serius. Hanya dianggap kehaluan yang hakiki dari murid unik yang selama ini dikenal suka membangkang.Pembahasan soal itu di ruang guru pun tenggelam. Terganti bahasan lain yang dianggap lebih penting di semester genap. Untuk kelas tiga, itu berarti persiapan ujian nasional. Anak seperti Vlad mungkin tidak bermasalah dengan nilai ujian. Tapi melihat kelakuan Vlad yang tidak berubah, guru hanya bisa menarik napas panjang.Tuntutan umum adalah semua anak harus lulus. Apalagi di sekolah swasta seperti ini. Apalagi sekolah ini tergolong sekolah prestisius. Tidak selalu juara tapi namanya wara-wiri di bagian atas daftar. Ada anak yang tidak lulus berarti noda. Ketidaklulusan Vlad tahun lalu adalah hasil rapat panjang dan maraton nyaris semua guru yang terkait dengan kurik