Share

5, Tumpeng mini

“CUKUP, Vlad!” Aku mendesis dengan kelancangannya. “Aku nggak suka kamu ngurusin rumah tangga aku sampai sejauh itu.” Tidak akan ada manusia normal mau jika urusan rumah tangganya ditelisik seperti itu. Dia terlalu lancang.

“Aku nggak maksud ke sana. Aku cuma memantau kamu aja.”

Dia mengucapkan itu tanpa nada bersalah sama sekali. Membuat darahku mendadak menyembur dari seluruh lubang di tubuh akibat tekanan yang terlalu kuat.

 “Aku nggak perlu dijagain, dipantau, diawasi, atau apa pun itu.” Dia membuka mulut bermaksud membalas ucapanku, tapi langsung kupotong saja, “Lebih baik kamu pergi sekarang. Kamu nggak ada urusan lagi di sini.”

Dia hanya mengedikkan bahu lalu menepuk kedua pangkal pahanya kemudian berdiri.

“Oke, aku pergi sekarang.” Dia melongok ke luar lalu melambai ke arah orang yang tadi mengendarai motorku dari sekolah. Orang yang dia panggil datang lalu menyerahkan sebuah kantung plastik.

“Jangan lupa makan siang.” Tanpa melihat isinya, dia menyerahkan kantung plastik itu kepadaku. “Jangan cari penyakit. Kamu dari dulu kenapa sih susah amat disuruh makan aja.” Dia memaksaku menerima isi tangannya. Baiklah, yang penting dia segera pulang.

Ketika isi tangan berpindah, dia langsung pergi, orang tadi membukakan pintu belakang untuknya lalu dia bergegas ke sisi pengemudi ketika Vlad menurunkan kaca. Tak lama, mobil menderu dan Vlad berucap:

“Makan ya. Habiskan.” Lalu mobil melaju meninggalkan aku dengan sejuta perasaan dan kegaduhan di hati.

Aku masuk dan langsung membanting bokong ke kursi tamu. Mengembuskan napas kasar, kulihat kursi tenpat tadi dia duduk seakan wujudnya masih ada. Teringat kantung pemberiannya, kulirik kantung di pangkuanku. Kubuka, dan isinya membuatku ingin tertawa dan tersenyum sekaligus.

Tumpeng mini.

Entah apa yang harus aku rasa, aku hanya bisa mengembuskan napas lagi. Kubawa tumpeng mini itu ke meja makan. Masih di dalam kemasan mika aku hanya melihat isinya dengan pandangan kosong sampai dering ponsel mengganggu lamunanku.

Dahiku berkeryit melihat nomor yang belum tersimpan di phonebook. Kubiarkan berdering sambil mencoba menerka, ini nomor pasca bayar. Meski malas, kuterima saja.

“Dimakan, Anna. Jangan dilihatin aja. Nggak bakal kenyang kalau cuma dilihatin aja.” Kalimat panjang tanpa jeda itu yang menjadi salam pembuka. Tak perlu bersalam. Tapi ucapannya membuatku terhenyak, spontan aku menatap sekeliling ruangan sampai ke langit-langit.

Apa dia memasang CCTV di sini?

“Nanti aku telepon lagi, aku minta bukti nasinya sudah habis. Save my number.

Sambungan langsung terputus.

Halah.

Apa susahnya kubuang isi mika lalu kufoto isinya yang sudah kosong. Kesal, kudorong mika ke tengah meja. Aku ingin kembali melamun, tapi lagi-lagi dering ponsel menggangguku.

Bhaga.

Kenapa jantungku mendadak berdetak keras? Setelah sejenak menenangkan debar jantung, sambil menatap layar ponsel, kugeser icon hijau.

“Ya.” Itu salam pembukaku.

“Anna, aku ada training mendadak ke Singapur. Pas banget sama jadwal cuti. Aku nggak bisa pulang dulu ya,” katanya tanpa basa-basi lain.

“Apa training-nya full dua minggu?”

“Nggak juga sih.”

“Lalu? Ada kegiatan lain lagi?”

“Nggak juga sih. Ya sudah, nanti habis training aku ke sana dulu deh. Memang ada hal penting ya aku harus pulang?”

“Nggak juga sih. Cuma ada undangan Hendra aja. Kalau pun nggak bisa datang pas hari H, kita datang aja ke rumahnya.”

“Oh iya… Astaga, aku lupa soal itu. Oke deh, nanti aku mampir ke Jakarta.”

“Oke.”

Dan sambungan terputus.

Mampir?

Aku menghitung dari satu sampai sepuluh. Yang ketika aku masih merasa melayang, kuulang lagi hitungan itu sambil mengatur napas. Ketika napasku sudah melemah, kusadari kedua tanganku mencengkeram rambut terlalu keras di pelipis.

Mampir?

Dan sepertinya dia lebih bersemangat pergi ke acara pernikahan temannya daripada pulang dan menjumpaiku di rumahnya.

Mampir?

Ponsel berdering lagi. Menyentak deringnya membuatku semakin kesal. Nomor yang sama yang belum kusimpan. Kuabaikan. Dia berdering lagi tapi tetap terabaikan. Tak lama pesan teks masuk.

+62811-xxx-xxxx : Kalau kamu nggak angkat, aku balik ke sana sekarang juga.

AAARRRGGGHHH….!!!

Ada apa dengan pria-pria ini? Keduanya membuatku cepat mati.

Ponsel berdering lagi. Nomor itu lagi. Aku benar-benar mengembuskan napas kesal sebelum menggeser icon hijau.

“Apa?”

“Savannah.” Dia berkata bersamaan dengan aku membentak. “Sudah dimakan?”

“Belum.”

Dia menarik napas panjang.

“Kamu mau makan apa? Aku kirimin sekarang. Kamu belum makan siang. Sekarang jam berapa? Jangan cari penyakit, Savannah.”

“Aku mau makan kamu!”

“Aku ke sana sekarang.”        

“Awas kalau berani ke sini lagi.”

“Katanya mau makan aku. Makan nggak bisa di-d******d, Savannah.”

Kumatikan saja sambungan itu. Tapi tak lama pesan text lain muncul.

+62811-xxx-xxxx : Nanti aku telepon lagi, make sure kamu sudah makan.

Bleh!

Ingin kulempar ponsel itu sampai hancur, tapi apa daya, aku masih sayang uang.

Tapi ternyata jengkel dan marah membuat lapar. Perutku berteriak minta diisi tak lama setelah aku memaki ponsel. Tanpa rasa gengsi, kuambil dan kuhabiskan isi mika. Setelah habis, aku ke kamar dan membanting tubuhku ke ranjang.

Aku merasa sangat-sangat lelah. Dan tanpa bisa dicegah, pertanyaan yang sama muncul berulang di benakku.

Apa benar penikahan aku dan Bhaga bermasalah?

***

Vlad sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia menelepon memastikan aku sudah makan. Dia bahkan memaksakan bukti berupa foto mika yang kosong. Aku sedang berkencan dengan bantal dan ranjang, kubentak saja dia. Lalu kuputus sambungan. Sebelum pesannya masuk, ponsel kumatikan total. Lalu aku berusaha tidur. Kelelahan yang sangat sepanjang minggu mengisi rapor membuatku bisa tidur. Dan ketika terbangun yang kurasa adalah kehampaan yang sangat.

Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Tanpa sadar tanganku bergerak di samping.

Kosong.

Sisi itu lebih sering kosong daripada berpenghuni. Aku kembali mengembus napas kasar.

Pernikahan kami baru tiga tahun, belum ada buah dari pernikahan itu. Selama ini kami santai. Atau berusaha santai? Tapi aku sungguh-sungguh tidak ingin terbebani dengan ‘kewajiban’ sosial memiliki anak ketika sudah menikah. Kututup telinga jika ada suara-suara menanyakan soal itu. Bahkan kecemasan orangtuaku pun terabaikan. Mereka menghitung umur di saat pemilik umur itu masih terlalu menikmati hidup tanpa tanggung jawab sebagai ibu.

Aku selalu merasa hidupku baik-baik saja bahkan mendekati sempurna. Abaikan kehidupan sederhana yang aku jalani. Masih banyak yang lebih sederhana dari kami. Rumah kecil di perumahan sederhana. Motor yang aku beli sebelum menikah, dan hatchback yang masih mencicil. Tak ada jeratan lifestyle karena teman-temanku sesama guru pun hidup dengan ritme yang nyaris sama.

Semua terasa cukup.

Bahkan ritme kerja Bhaga pun tidak menggangguku. Dia bekerja di perusahaan pertambangan di Kalimantan. Sebagai orang lapangan, dia hanya bisa pulang sekali tiap tiga bulan. Dan aku merasa itu baik-baik saja. Bahkan ketika beberapa kali Bhaga tidak pulang karena alasan pekerjaan, aku bisa santai menerima kabar itu. Beberapa kali aku yang ke sana ketika bertepatan dengan libur sekolah.

Mungkin jika tadi aku bisa berpikir jernih, aku akan menawarkan diri pergi ke Singapur menemaninya sekalian berlibur. Tapi, ah, ada hal yang membuatku bodoh sejak siang tadi.

Hal ataukah seseorang?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status