Share

8, Gerombolan Siberat

ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.

Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.

“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.

“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.

“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia bilang mau pakai seragam abu-abu.” Itu suara Bima si ketua kelas.

“Ah, percuma ganti warna seragam kalau kelakuan nggak berubah.”

“Ih, Ibu kalau ngomong nge-jleb banget loh.” Ganti suara gadis yang terdengar. Itu Ratih si bendahara kelas.

“Mungkin dia malu, Bu, pakai seragam biru. Apalagi kalu sampai lima tahun.” Masih suara gadis. Itu Nita si bukan siapa-siapa di kelas. Dalam artian, tidak ada jabatan dia pegang di kelas. Tapi dia pengurus OSIS tahun lalu.

“Zaman dulu iya, seragam biru bikin yang cowok malu karena celana pendek, sekarang sudah sama-sama celana panjang.” Anna mulai bersuara setelah kepalanya menoleh ke sana ke mari mengikuti arah suara. “Yang berbulu nggak perlu malu, yang semulus kaki meja juga santai aja.” Kelas kembali riuh dengan bahak. Anna mulai bersuara setelah kepalanya terpental-pental ke sana ke mari mengikuti arah suara.

“Ih, kenapa sih pada begitu sama Bang Vlad. Dia serius mau lulus kok nggak ada yang percaya?” Suara lembut mencicit terdengar jelas nada kecewa di dalamnya. Itu Tiara yang—

“Ecieee… Dek Tiara belain Bang Vlad kesayangan loh…”

“Biar gimana kan dia lebih senior.”

“Eh, Tiara, lu aja yang panggil dia bang. Gue mah ogah. Lagian memang Vlad mau dituakan? Memang dia berniat jadi leluhur di sekolah ini?”

“Vlad, Tiara tuh nunggu lu tembak.”

“Apaan sih?” Muka Tiara mendadak memerah. Tapi ucapan penyangkalannya tentu tidak bisa menyembunyikan fakta, bahwa gadis itu ada hati pada Vlad.

“Ti, panggil mas coba deh. Lebih mesra loh dari abang.”

Kelas semakin riuh. Anna mengambil penggaris lalu memukul papan tulis. Setelah beberapa kali ketukan, kelas kembali kepadanya.

“Sudah. Urusan Vlad mau pakai seragam apa biar jadi urusannya. Dia kalau ada maunya dia kejar sendiri kok. Siapa yang bisa paksa seorang Vladimir? Termasuk urusan Tiara.” Vlad berdiri dengan tangan bersedekap sambil menatapku. Lalu perlahan dia duduk.

“Rencana perpisahan gimana? Mau di sekolah apa di luar? Indoor apa outdoor?”

OUTDOOR…”

“Weitsz… sabar, Boss. Saya nggak akan nentang kalian. Nggak usah pakai urat jawabnya.” Anna memundurkan bahunya sebagai gesture terkejut. Membuat yang lain terkekeh dengan antusiasme mereka sendiri. “Mau ke mana?”

“Itu dia, Bu. Belum ada ide.”

“Lha tadi bahas apa?”

“Dana.”

“Kenapa? Biasanya kan kalian patungan.”

“Bang Vlad usul nyari dana sendiri biar lebih berasa gregetnya, Bu.” Dari penyebutan nama, semua langsung tahu siapa yang menjawab itu.

“Gimana?”

“Ya kita bisa cari sumbangan.” Kali ini Vlad bersuara.

“Ke orangtua?” Anna berdecak. “Nggak usah ngomong. Sepanjang hayat kalian kan kalian mengandalkan beasiswa mampap. Apalagi urusan perpisahan.”

“Makanya kali ini kita mau cari dana sendiri.” Vlad berbicara dengan tekanan.

“Gimana caranya?”

“Ya itu yang lagi diomongin.”

“Cari sumbangan?” tanya Anna.

“Suruh aja Vlad minta ke bokapnya. Beres dah semua,” usul Fajri.

“Gue mau cari dana biar nggak perlu minta ke bokap.” Vlad menatap Fajri sangat tajam. “Dan gue mau lu semua juga nggak usah minta ke bokap.”

Anna tersenyum.

“Ajak kelas lain. Kalian kan lima kelas. Yang lain setuju nggak. Kalau saya sih setuju aja. Saya yakin kalian bisa.” Anna tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. “Iya nggak, Vlad?” tanyanya sambil menatap Vlad.

Vlad hanya mengangguk satu kali.

***

Atas provokasi Vlad mereka membentuk tim inti yang terdiri dari perwakilan tiap kelas. Tapi tim ini benar-benar spesial. Vlad memilih anak-anak dengan kriteria khusus. Yang terkenal dengan kenakalannya. Lalu dia menamakan tim ini sebagai Gerombolan Siberat. Baru terbentuk saja banyak guru yang ketar ketir dengan sepak terjangnya. Dari namanya saja sudah memunculkan bayangan kerusuhan. Dan mengumpulkan anak-anak nakal, fyuhhh… entah apa yang akan terjadi. Guru-guru sampai mengadakan meeting informal membahas ini. Berhubung Vlad ketua gerombolan terpaksa Bu Ros sebagai wali kelas yang maju pertama kali mencari tahu. Itu keputusan sidang guru.

“Bu,” panggil Anna ketika sisa mereka berdua di ruang guru.

“Ya?”

“Setau saya, Vlad mau cari dana sendiri untuk perpisahan. Biar gratis.”

“Tadi kenapa kamu nggak ngomong.”

“Ya ampun, Bu… siapa sih saya? Guru magang, belum sebulan pula.”

“Ya nggak gitu, Na. Kalau kamu memang tau ya ngomong aja.”

“Saya mau ngomong ke Ibu dulu. Biar gimana Ibu kan walasnya Vlad, tutor saya juga.” Anna tidak mau lancang mendahului pembimbingnya.

Bu Ros tersenyum.

“Apa yang kamu tau?”

“Vlad nggak mau ambil pengurus kelas, karena mereka sibuk. Dan dia butuh tim yang urat malunya sudah putus.”

“Hah?” Bu Ros sampai mendelik maksimal. “Mau ngapain mereka?”

“Saya belum tau, Bu. Tapi ya tau sendiri Vlad gimana.”

“Kamu bisa cari tau?”

“Saya usahakan, Bu. Nggak bisa janji, tapi saya akan lapor setiap ada info baru.”

“Hhmm…”

“Paling nggak, kita kasih kesempatan mereka dulu, Bu. Jangan belum apa-apa kita sudah nge-judge mereka akan ngerusuh.”

“Saya sih oke aja kasih kesempatan, tapi apa dulu yang mau mereka kerjakan? Masa kita izinin kalau mereka mau ngebegal?”

“Ya nggak segitunya lah, Bu.”

“Eh, jangan salah. Mereka kasih nama grup aja sudah begitu. Isinya memang anak-anak yang butuh perhatian khusus.”

“Saya akan tanya Vlad. Kalau ada hal-hal mencurigakan saya akan langsung lapor Ibu.”

“Oke. Saya serahkan urusan ini ke kamu ya. Oke?”

“Oke, Bu.”                      

***

Vlad masih Vlad yang sama. Yang sering terlambat sampai ketinggalan jam pelajaran pertama dan sering bolos di tengah hari. Yang sering menguap untuk menunjukkan kebosanannya pada materi. Yang bahkan sering menelungkupkan kepalanya ke meja. Tapi yang membuat guru tidak berkutik adalah ketika Vlad disuruh maju dan mengerjakan soal, nyaris seluruh soal dia bisa kerjakan. Jika tidak bisa, Vlad akan menerima saja hukumannya. Entah berdiri di pojok kelas atau apa pun itu. Guru seperti kehabisan akal menghukum anak ini.

Anna masih mencari waktu berbicara santai dengan Vlad. Sampai akhirnya waktu itu datang. Anna melihat Vlad di warung agak jauh dari sekolah. Melihat Vlad, Anna langsung duduk di depannya hingga membuat Vlad sedikit berjengit.

“Bolos?”

“Yah, ketauan deh.” Vlad berpura-pura menunjukkan wajah menyesal. “Kok baru datang? Dari mana?”

“Dari kampus.”

Vlad hanya memajukan bibirnya membentuk huruf o.

“Kamu sudah tanya bendahara belum berapa dana yang dibutuhin?”

“Belum.”

“Tanya dulu dong. Kan angka itu yang kamu mau cari.” Anna mengambil segelas air mineral di depannya. “Besar loh itu.”

“Tau dari mana besar?”

“Outdoor dan nginap. Kamu harus sewa villa. Apa kamu mau pakai villa kamu sendiri?”

“Nggak bakal.”               

“Tanya dulu bendahara butuh dana berapa.”

“Oke.”

“Lalu kamu mau ngapain buat cari dana?”

“Jualan.”

“Jualan apa?”

“Narkoba.”

Lagi-lagi Anna tersedak sampai menyemburkan isi muluttnya ke depan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status