KAMI sampai di rumah setelah Bhaga singgah membeli kudapan malam. Dia selalu begitu ketika pulang. Seperti memanjakan lidahnya dengan berbagai macam makanan. Kubiarkan dia membeli penganan yang dia suka semantara aku hanya menunggu di mobil. Sementara mennggu, aku menonton ulang video Discovery Channel yang Vlad bagikan. Ketiadaan Bhaga membuatku bisa bebas menginterprestasikan isi video itu dengan ekspresi wajah. Dua singa jantan itu bertarung sampai berdarah-darah. Dan caption-nya… aku hanya bisa menarik napas lelah saja.
Dia memang hanya bisa berharap.
***
Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar tapi mata ini tetap tak tertutup. Ucapan ibunya terus terdengar berulang.
Tolak dia, but please, be careful of his heart. Dia tidak setegar yang terlihat
Kalimat itu terasa lebih pas dengan Vlad yang bersama denganku di flatnya. Bukan Vlad yang tiba-tiba datang ke kelas lalu mem
Uhuk! Bhaga gercep kalau urusan itu ye. Rate 16+, Emak nggak mau eksplisit. Seperti kata Zia, “Kentang amat sih, Mbak Tau-tau udahan gitu”. Padahal novel dia Mengejar Ustadz Ganteng ya begitu juga. Ya begitu deh kalau cewek mesum berkumpul
MALAM itu, menunggu hari baru Vlad merasa sangat bergairah. Dia menunggu bisa berkeliling lagi. Ini lebih menyenangkan daripada belajar di kelas. Anna membuatnya belajar banyak. Banyak sekali. Termasuk kata-kata penyemangatnya. Anna seperti motivator yang selalu memberikan kepercayaan diri pada Vlad. Savannah Gayatri. Dia sebagai motivator atau keberadaannya yang menjadi motivator? Semakin lama Vlad merasa Annalah yang menjadi motifnya terus bergerak. Dan dia pun sadar, kemarin begitu menyenangkan karena ada Anna di sana. Selalu duduk di sampingnya, mengoceh menjelaskan banyak hal. Anna begitu mudah menyuruh Vlad melakukan apa pun. Apa pun. Vlad sampai tidak mengenali dirinya sendiri ketika dia berdiri di musholla sebagai imam buat Anna dan teman-temannya yang lain. Dia bisa. Tapi selama ini tidak ada yang memercayainya. Semua beranggapan Vlad hanya anak pintar yang malas sekolah. Tapi Anna? Sudah beberapa kali Anna berkata ba
BHAGA, jangan pergi, aku takut. Aku terus merapal mantra itu. Begitu ketakutan jika harus sendiri menghadapi Vlad. Aku takut hatiku meluluh. Biar bagaimana pun, kebersamaan kami dulu di sekolah membekas lama di memoriku. Sepanjang aku menyusun skripsi, wajahnya selalu terbayang sampai bisa kujelaskan detail di laporan tertulis. Dan kebersamaan itu ternyata membuat tujuan jalan hidupnya ke arahku. Bhaga, jangan pergi, aku takut. Bus berhenti di halte sebuah mal. Banyak yang turun di sana, tanpa perintah otak aku ikut turun. Di dalam mal aku hanya berjalan berputar tanpa tujuan. Aku merasa otakku begitu penuh mencari jalan agar Bhaga mau pindah. Apa harus aku yang pindah ke sana? Aku terus berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengatasi keterbatasan sarana di sana. Baiklah, aku bisa bertahan. Bersama nyamuk dan air sadah yang kehitaman. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak bisa? Tapi… Ya Tuhan, aku sudah mengorbankan
KELOMPOK kedua dan behasil. Anna sudah melaporkan pada Bu Ros dan meminta Bu Ros menyiapkan guru atau murid yang lebih senior melobi orang. Biar bagaimana pun, anak-anak ini tidak bisa langsung dilepas dengan hanya satu kali pendampingan. Bu Ros menyanggupi bahkan dia pun bersedia turun tangan langsung. Tak terasa kesibukan itu sudah dua minggu berjalan. Pagi itu sebelum jam pertama dimulai, Vlad sudah melewati gerbang. Hal yang sekarang sudah jamak terjadi. Anna yang menunggu di meja piket memanggil Vlad dengan melambaikan proposal yang sudah dia siapkan. “Vlad, kita jalan. Teman saya kasih channel ke sini.” Anna menunjukkan proposal di tangannya. “Kita coba lobi gedung pertemuannya di Puncak, sama kalau bisa busnya sekalian.” Anna menjelaskan cepat. “Let’s go.” Seringai lebar langsung tercetak di wajah Vlad. Dan Anna spontan mengikut ke tempat motor Vlad diparkir. “Motor saya aja ya, Vlad.” “Apa?” Vlad langsung meno
“KAMU mau aku urus biar Bhaga dipindahin ke head office aja?” tanyanya tiba-tiba ketika aku asyik melamun lagi. “Hah?” “Kamu tuh sekarang ngelamun terus ya. Ck.” Dia berdecak kesal. “Kamu ada hubungan apa sama kantornya Bhaga?” “Where there’s a will, there’s a way. Nggak ada hubungan, tapi nanti aku bisa cari orang yang bisa atur.” Ada kesungguhan dan ketulusan di wajah itu. “Kamu kan yang ajarin itu?” Haruskah kujawab jujur? Bisikan ibu sambungnya kembali terdengar. Aku ingin berteriak kepadanya, ajari aku bagaimana caranya agar tidak menyakiti anakmu? “Savannah, kamu ngelamun lagi.” “Aku kenal Bhaga, Vlad. Kalau dia nggak mau, ya nggak mau. Dia terpaksa pindah ke tempat yang dia nggak mau, ya dia bakal keluar, cari kerja yang lain.” “Umur dia nggak bisa sebegitunya lagi.” “Nggak tau lah. Aku pusing, Vlad.” Aku memegang dahiku dengan sebelah tangan yang bersandar di meja. “Kamu ke sini
PROPOSAL sudah tersebar ke mana-mana. Tugas Anna bertambah, mengajari mereka cara follow up dan berbagi tugas, termasuk piket menelepon. Dia membuat semacam kartu berisi data setiap tujuan proposal. Kartu itu berisi data kapan proposal diserahkan, siapa yang menerima, siapa contact person-nya, dan data-data lain termasuk kapan mereka harus menindaklanjuti proposal itu. Anna juga membuat kotak dari kardus sepatu bekas dengan penanda tanggal. Setiap kali mereka sudah menindaklanjuti—siapa pun orangnya—dia harus mencatat hasilnya di kartu selengkap mungkin termasuk kapan mereka bisa menelepon lagi. Lalu kartu itu diletakkan di kotak sepatu pada penanda tanggal yang sama. Setiap hari, petugas piket akan mengambil kartu-kartu di bagian paling depan di tanggal yang sama dengan hari itu, kemudian menelepon lalu melakukan seperti arahan Anna. Dengan cara itu, tidak ada proposal dan janji yang terlewati. Siang itu Vlad sedang memeriksa kartu yang sudah seles
MALAM berlalu begitu saja. Pagi datang tanpa rasa. Hanya rutinitas yang biasa, terasa menjemukan saat Bhaga yang jarang di rumah lalu waktu habis di rumah saja. “Bhaga, antar ke pasar yuk,” pintaku setelah bosan di rumah saja. “Pasar apaan?” “Ya pasar. Pasar tradisional.” Aku ingin memasakkan yang istimewa untuknya. Sejak dia datang, aku hanya memasak yang simpel-simpel saja malah kadang kami mengorder makanan. Memasak untuk Bhaga tentu bisa mengisi kekosongan waktu. “Oke.” Tak lama kami sudah berboncengan. Di depan pasar, Bhaga menghentikan motor. “Kamu mau parkir di mana? Kok berhenti di sini?” tanyaku sambil memberikan helm padanya. “Nggak usah parkir lah. Aku langsung pulang aja.” Santai, dia menggantung helm itu. “Loh kok? Katanya mau antar aku ke pasar.” “Ya ini sudah aku antar kan? Kalau sudah, ya telepon aja, nanti aku jemput lagi.” “Ih, Bhaga, gimana sih? Ayo temenin belanja.” Suaraku meninggi d
KERTAS itu kembali kepada Vlad setelah berkeliling ke seluruh kelas. Melihat list itu, Vlad tersenyum miring. “Tunggu sebentar ya.” Dia menaikturunkan alisnya lalu langsung pergi. Di meja piket sudah ada Anna yang sedang menikmati hujan. “Bu,” Vlad menyerahkan kertas berisi nama teman-temannya. Anna mengambil lalu membaca cepat. Hanya list nama nyaris seluruh teman sekelas Vlad. Mendongak, Anna bertanya, “Ini apa?” Dahinya berkerut dalam. “Pegang aja, Bu. Nanti Ibu akan butuh.” “Hah?” Kerutan di dahi makin jelas. Vlad langsung menganggukkan kepala satu kali, sopan, berpamit pergi. Anna terdiam lalu bergantian melihat list dan punggung Vlad yang menjauh. Kelas Vlad harus melewati bagian tanpa atap, harus menerobos hujan. Hujan seperti saat ini, membuat guru malas berbasah-basah jika tidak terlalu penting. Itu yang terjadi pada Anna sekarang. Dia terjebak di meja piket tanpa payung. Seme
“KITA ke tempat kamu aja, Vlad. Aku masak di sana.” Keputusan yang cepat kuambil dalam emosi yang memuncak. “Pulang, Pak.” Suara Vlad memberi perintah pada supir. “Baik.” Sepanjang jalan aku diam. Kesalku masih bergumpal di puncak kepala. Bayangan makan siang bersama Bhaga hilang. Aku memang tidak pernah berhaap Bhaga membantuku di dapur—dia hanya akan mengganggu saja—tapi… ah, libur hanya sebentar, sepertinya lebih banyak dia habiskan dengan teman-temannya. Di rumah dia hanya tidur dan meniduri. Sampai di depan gedung, Vlad langsung mengarahkan aku ke fresh market di lantai dasar. Sementara belanjaanku diurus supirnya. “Kamu mau makan apa lagi sih? Kok mampir ke sini lagi?” ujarku ketika melewati pintu masuk yang dia bukakan untukku. Aku masih menggerutu efek jengkel pada Bhaga. “Dapur aku nyaris kosong. Kamu harus belanja lebih lengkap kalau masak di sana.” Dia menjawab santai sambil mengambil keranjang. “Kamu butuh apa?” Di