“KAMU mau aku urus biar Bhaga dipindahin ke head office aja?” tanyanya tiba-tiba ketika aku asyik melamun lagi.
“Hah?”
“Kamu tuh sekarang ngelamun terus ya. Ck.” Dia berdecak kesal.
“Kamu ada hubungan apa sama kantornya Bhaga?”
“Where there’s a will, there’s a way. Nggak ada hubungan, tapi nanti aku bisa cari orang yang bisa atur.” Ada kesungguhan dan ketulusan di wajah itu. “Kamu kan yang ajarin itu?”
Haruskah kujawab jujur? Bisikan ibu sambungnya kembali terdengar. Aku ingin berteriak kepadanya, ajari aku bagaimana caranya agar tidak menyakiti anakmu?
“Savannah, kamu ngelamun lagi.”
“Aku kenal Bhaga, Vlad. Kalau dia nggak mau, ya nggak mau. Dia terpaksa pindah ke tempat yang dia nggak mau, ya dia bakal keluar, cari kerja yang lain.”
“Umur dia nggak bisa sebegitunya lagi.”
“Nggak tau lah. Aku pusing, Vlad.” Aku memegang dahiku dengan sebelah tangan yang bersandar di meja.
“Kamu ke sini
Intinya, jangan berlebihan. Terlalu ngebebasin juga nggak baik. Dan urusan gaji, cewek menang banyak euy. Belum urusan yang lain. Gimana istri dimanja. Kerjaan rumah bukan tugas istri loh. Istri cuma ngebantuin aja. Makanya saya betah jadi cewek. #eh
PROPOSAL sudah tersebar ke mana-mana. Tugas Anna bertambah, mengajari mereka cara follow up dan berbagi tugas, termasuk piket menelepon. Dia membuat semacam kartu berisi data setiap tujuan proposal. Kartu itu berisi data kapan proposal diserahkan, siapa yang menerima, siapa contact person-nya, dan data-data lain termasuk kapan mereka harus menindaklanjuti proposal itu. Anna juga membuat kotak dari kardus sepatu bekas dengan penanda tanggal. Setiap kali mereka sudah menindaklanjuti—siapa pun orangnya—dia harus mencatat hasilnya di kartu selengkap mungkin termasuk kapan mereka bisa menelepon lagi. Lalu kartu itu diletakkan di kotak sepatu pada penanda tanggal yang sama. Setiap hari, petugas piket akan mengambil kartu-kartu di bagian paling depan di tanggal yang sama dengan hari itu, kemudian menelepon lalu melakukan seperti arahan Anna. Dengan cara itu, tidak ada proposal dan janji yang terlewati. Siang itu Vlad sedang memeriksa kartu yang sudah seles
MALAM berlalu begitu saja. Pagi datang tanpa rasa. Hanya rutinitas yang biasa, terasa menjemukan saat Bhaga yang jarang di rumah lalu waktu habis di rumah saja. “Bhaga, antar ke pasar yuk,” pintaku setelah bosan di rumah saja. “Pasar apaan?” “Ya pasar. Pasar tradisional.” Aku ingin memasakkan yang istimewa untuknya. Sejak dia datang, aku hanya memasak yang simpel-simpel saja malah kadang kami mengorder makanan. Memasak untuk Bhaga tentu bisa mengisi kekosongan waktu. “Oke.” Tak lama kami sudah berboncengan. Di depan pasar, Bhaga menghentikan motor. “Kamu mau parkir di mana? Kok berhenti di sini?” tanyaku sambil memberikan helm padanya. “Nggak usah parkir lah. Aku langsung pulang aja.” Santai, dia menggantung helm itu. “Loh kok? Katanya mau antar aku ke pasar.” “Ya ini sudah aku antar kan? Kalau sudah, ya telepon aja, nanti aku jemput lagi.” “Ih, Bhaga, gimana sih? Ayo temenin belanja.” Suaraku meninggi d
KERTAS itu kembali kepada Vlad setelah berkeliling ke seluruh kelas. Melihat list itu, Vlad tersenyum miring. “Tunggu sebentar ya.” Dia menaikturunkan alisnya lalu langsung pergi. Di meja piket sudah ada Anna yang sedang menikmati hujan. “Bu,” Vlad menyerahkan kertas berisi nama teman-temannya. Anna mengambil lalu membaca cepat. Hanya list nama nyaris seluruh teman sekelas Vlad. Mendongak, Anna bertanya, “Ini apa?” Dahinya berkerut dalam. “Pegang aja, Bu. Nanti Ibu akan butuh.” “Hah?” Kerutan di dahi makin jelas. Vlad langsung menganggukkan kepala satu kali, sopan, berpamit pergi. Anna terdiam lalu bergantian melihat list dan punggung Vlad yang menjauh. Kelas Vlad harus melewati bagian tanpa atap, harus menerobos hujan. Hujan seperti saat ini, membuat guru malas berbasah-basah jika tidak terlalu penting. Itu yang terjadi pada Anna sekarang. Dia terjebak di meja piket tanpa payung. Seme
“KITA ke tempat kamu aja, Vlad. Aku masak di sana.” Keputusan yang cepat kuambil dalam emosi yang memuncak. “Pulang, Pak.” Suara Vlad memberi perintah pada supir. “Baik.” Sepanjang jalan aku diam. Kesalku masih bergumpal di puncak kepala. Bayangan makan siang bersama Bhaga hilang. Aku memang tidak pernah berhaap Bhaga membantuku di dapur—dia hanya akan mengganggu saja—tapi… ah, libur hanya sebentar, sepertinya lebih banyak dia habiskan dengan teman-temannya. Di rumah dia hanya tidur dan meniduri. Sampai di depan gedung, Vlad langsung mengarahkan aku ke fresh market di lantai dasar. Sementara belanjaanku diurus supirnya. “Kamu mau makan apa lagi sih? Kok mampir ke sini lagi?” ujarku ketika melewati pintu masuk yang dia bukakan untukku. Aku masih menggerutu efek jengkel pada Bhaga. “Dapur aku nyaris kosong. Kamu harus belanja lebih lengkap kalau masak di sana.” Dia menjawab santai sambil mengambil keranjang. “Kamu butuh apa?” Di
ANNA memang tidak menarik telinga Vlad sepanjang jalan. Tapi kali ini Anna benar-benar marah. Vlad tahu itu. Dia diam saja sepanjang berjalan di samping Anna. Menunduk menghitung langkah sampai ke sekolah. Di sini dia semakin merasa ada yang aneh dengan dirinya. “Bu…” Vlad berusaha menyamai langkah Anna. “Apa?” bentak Anna. “Ibu marah beneran?” “Pakai nanya lagi! Nggak ngelihat saya bawa siapa jemput kalian?” Anna mengeluarkan kertas berisi list yang Vlad berikan tadi lalu melambaikan di depan wajah Vlad. “Ini maksudnya apa?” Vlad terdiam, berjalan tetap menunduk. “Saya sudah curiga kamu bikin ulah. Tau-tau ada warga datang ke meja piket ngasih info ada anak dari sini bergerombol bikin rusuh.” “Kenapa, Bu?” Pak Kepsek mendengar Anna berteriak. Mereka sudah melewati gerbang sekolah. “Ini, Pak. Ini biang keroknya. Dia tadi kasih saya list nama.” Anna menunjukkan kertas itu. “Saya nggak mikir dia
SEMOGA isi kepala ibunya tidak berlari ke mana-mana. Aku merutuki kebodohanku. Kenapa bisa sampai aku berakhir di sini. Memasak, makan, bahkan disuapi. Lalu tertidur, lelap pula dan memakai pakaiannya. “Maaf, Bu. Saya ketiduran.” Dia sudah berjalan ke arahku, lalu duduk di sampingku. Aku memastikan pakaian yang aku kenakan tertutup rapi. Ya Tuhan, apa yang ada di kepalanya melihat aku memakai pakaian Vlad di saat matahari seterik hari ini? “Jangan turutin maunya Vlad. Dia sering caper.” Aku mendengus. Kulirik, Vlad tidak bergerak dari kursinya. Melihat dia sediam itu, bayangan dia berdiri di depan tiang bendera kembali hadir. Apa tadi dia membelaku juga? Seperti dulu dia menutupi malu guru-gurunya. “Anna, Bunda terbelah, Sayang.” Dia mengelus bahuku. “Bunda mau anak bunda dapat yang dia mau. Tapi kamu…” “Ya, Bu, saya mengerti. Saya yang salah.” Kali ini kuambil alih tanggung jawab. Seperti dulu dia berani mengakui kesalahannya
MALAM itu Vlad tiba-tiba muncul di depan rumah Anna. Wajahnya masih semuram tadi siang. Bahkan ketika Anna mengurus mereka di UKS seperti perintah Bu Ros, Vlad hanya diam menunduk sementara yang lain asyik berceloteh tentang pengalaman mereka siang itu. “Ada apa, Vlad?” tanya Anna ketika Vlad diam saja di depan pagar. “Ayo masuk dulu.” Vlad yang tetap diam membuat Anna menarik tangannya. Vlad tetap diam meski sudah duduk di kursi ruang tamu tempat dia biasa duduk. “Vlad.” Masih diam. “Vladimir.” “Maaf.” “For?” “Tadi saya ngajak anak-anak bolos.” “Kenapa? Kenapa kamu ngajarin teman-teman kamu berulah?” “Saya bosan, Bu.” “Nggak bisa bosan sendirian aja?” Vlad diam. “Kalian beruntung ada musibah pohon tumbang.” Anna berpikir dengan tatapan menerawang. “Kalau nggak, bolos kalian ori bikin masalah. Sampai warga melapor karena terganggu.” Tatapannya beralih ke Vlad. “Ap
TERKANTUK-kantuk aku memaksakan diri menunggu Bhaga. Vlad benar, Bhaga memang mengesalkan, tapi bukan berarti aku harus pergi seperti tadi kan? Aku memang kesal, merasa sia-sia berbelanja, bahkan sampai jengkel ditinggal di depan pasar, tapi seharusnya ketika Bhaga berkata bahwa dia di rumah temannya cukup aku pulang, membatalkan rencana memasak, lalu tidur seharian. Di sisi itu Vlad memang benar, tapi apa kalimatnya yang lain juga benar? Apa aku bahagia? Selama ini aku merasa pernikahanku baik-baik saja. Aku tidak pernah mempersalahkan siapa pun termasuk tidak pernah memprotes kesenangan-kesenangan Bhaga. Sampai saat ini pun, saat hanya pesan teks singkat yang kuterima sebagai info dia akan pulang malam, aku tidak protes. Bhaga sudah biasa seperti itu. Sejak sebelum kami menikah aku sudah tahu. Kenapa tadi aku tidak memasak di sini saja.? Melakukan rencana awal. Aku memasak di rumah lalu mengirimkan hasilnya ke Vlad. Bahkan mungkin Bhaga tak