KERTAS itu kembali kepada Vlad setelah berkeliling ke seluruh kelas. Melihat list itu, Vlad tersenyum miring.
“Tunggu sebentar ya.” Dia menaikturunkan alisnya lalu langsung pergi.
Di meja piket sudah ada Anna yang sedang menikmati hujan.
“Bu,” Vlad menyerahkan kertas berisi nama teman-temannya. Anna mengambil lalu membaca cepat. Hanya list nama nyaris seluruh teman sekelas Vlad.
Mendongak, Anna bertanya, “Ini apa?” Dahinya berkerut dalam.
“Pegang aja, Bu. Nanti Ibu akan butuh.”
“Hah?” Kerutan di dahi makin jelas.
Vlad langsung menganggukkan kepala satu kali, sopan, berpamit pergi. Anna terdiam lalu bergantian melihat list dan punggung Vlad yang menjauh.
Kelas Vlad harus melewati bagian tanpa atap, harus menerobos hujan. Hujan seperti saat ini, membuat guru malas berbasah-basah jika tidak terlalu penting. Itu yang terjadi pada Anna sekarang. Dia terjebak di meja piket tanpa payung.
Seme
Tantangan nulis alur maju mundur adalah menghubungkan tiap bab yang beda scene dengan bab sebelum dan sesudahnya. Soal Vlad temenin Anna belanja ke pasar feelnya diceritain lebih dalam di part flashback. Demi menjaga hubungan antar bab yang beda setting waktunya, beberapa kali saya semacam nunggu-nungguan. Nunggu part biar sejajar saya bikin part tambahan. Part tambahan ini sebenarnya nggak perlu ada. Jadi, well, iyes, itu manjang-manjangin bab. Tapi don’t worry lah, meski nggak terlalu dibutuhkan tapi tetap nyambung kok sama cerita. Karena ternyata ada ikatan antar bab itulah makanya saya nggak bisa juga ubah tulisan jadi full alur maju. Mau nggak mau tetap alur maju mundur. Tapi maju mundurnya tjantiq kannn…? Iyain aja sih. Kalau nggak saya ngambek nih. Kalau Vlad ngambek Anna turutin, saya kalau ngambek siapa dong yang turutin? Ck.
“KITA ke tempat kamu aja, Vlad. Aku masak di sana.” Keputusan yang cepat kuambil dalam emosi yang memuncak. “Pulang, Pak.” Suara Vlad memberi perintah pada supir. “Baik.” Sepanjang jalan aku diam. Kesalku masih bergumpal di puncak kepala. Bayangan makan siang bersama Bhaga hilang. Aku memang tidak pernah berhaap Bhaga membantuku di dapur—dia hanya akan mengganggu saja—tapi… ah, libur hanya sebentar, sepertinya lebih banyak dia habiskan dengan teman-temannya. Di rumah dia hanya tidur dan meniduri. Sampai di depan gedung, Vlad langsung mengarahkan aku ke fresh market di lantai dasar. Sementara belanjaanku diurus supirnya. “Kamu mau makan apa lagi sih? Kok mampir ke sini lagi?” ujarku ketika melewati pintu masuk yang dia bukakan untukku. Aku masih menggerutu efek jengkel pada Bhaga. “Dapur aku nyaris kosong. Kamu harus belanja lebih lengkap kalau masak di sana.” Dia menjawab santai sambil mengambil keranjang. “Kamu butuh apa?” Di
ANNA memang tidak menarik telinga Vlad sepanjang jalan. Tapi kali ini Anna benar-benar marah. Vlad tahu itu. Dia diam saja sepanjang berjalan di samping Anna. Menunduk menghitung langkah sampai ke sekolah. Di sini dia semakin merasa ada yang aneh dengan dirinya. “Bu…” Vlad berusaha menyamai langkah Anna. “Apa?” bentak Anna. “Ibu marah beneran?” “Pakai nanya lagi! Nggak ngelihat saya bawa siapa jemput kalian?” Anna mengeluarkan kertas berisi list yang Vlad berikan tadi lalu melambaikan di depan wajah Vlad. “Ini maksudnya apa?” Vlad terdiam, berjalan tetap menunduk. “Saya sudah curiga kamu bikin ulah. Tau-tau ada warga datang ke meja piket ngasih info ada anak dari sini bergerombol bikin rusuh.” “Kenapa, Bu?” Pak Kepsek mendengar Anna berteriak. Mereka sudah melewati gerbang sekolah. “Ini, Pak. Ini biang keroknya. Dia tadi kasih saya list nama.” Anna menunjukkan kertas itu. “Saya nggak mikir dia
SEMOGA isi kepala ibunya tidak berlari ke mana-mana. Aku merutuki kebodohanku. Kenapa bisa sampai aku berakhir di sini. Memasak, makan, bahkan disuapi. Lalu tertidur, lelap pula dan memakai pakaiannya. “Maaf, Bu. Saya ketiduran.” Dia sudah berjalan ke arahku, lalu duduk di sampingku. Aku memastikan pakaian yang aku kenakan tertutup rapi. Ya Tuhan, apa yang ada di kepalanya melihat aku memakai pakaian Vlad di saat matahari seterik hari ini? “Jangan turutin maunya Vlad. Dia sering caper.” Aku mendengus. Kulirik, Vlad tidak bergerak dari kursinya. Melihat dia sediam itu, bayangan dia berdiri di depan tiang bendera kembali hadir. Apa tadi dia membelaku juga? Seperti dulu dia menutupi malu guru-gurunya. “Anna, Bunda terbelah, Sayang.” Dia mengelus bahuku. “Bunda mau anak bunda dapat yang dia mau. Tapi kamu…” “Ya, Bu, saya mengerti. Saya yang salah.” Kali ini kuambil alih tanggung jawab. Seperti dulu dia berani mengakui kesalahannya
MALAM itu Vlad tiba-tiba muncul di depan rumah Anna. Wajahnya masih semuram tadi siang. Bahkan ketika Anna mengurus mereka di UKS seperti perintah Bu Ros, Vlad hanya diam menunduk sementara yang lain asyik berceloteh tentang pengalaman mereka siang itu. “Ada apa, Vlad?” tanya Anna ketika Vlad diam saja di depan pagar. “Ayo masuk dulu.” Vlad yang tetap diam membuat Anna menarik tangannya. Vlad tetap diam meski sudah duduk di kursi ruang tamu tempat dia biasa duduk. “Vlad.” Masih diam. “Vladimir.” “Maaf.” “For?” “Tadi saya ngajak anak-anak bolos.” “Kenapa? Kenapa kamu ngajarin teman-teman kamu berulah?” “Saya bosan, Bu.” “Nggak bisa bosan sendirian aja?” Vlad diam. “Kalian beruntung ada musibah pohon tumbang.” Anna berpikir dengan tatapan menerawang. “Kalau nggak, bolos kalian ori bikin masalah. Sampai warga melapor karena terganggu.” Tatapannya beralih ke Vlad. “Ap
TERKANTUK-kantuk aku memaksakan diri menunggu Bhaga. Vlad benar, Bhaga memang mengesalkan, tapi bukan berarti aku harus pergi seperti tadi kan? Aku memang kesal, merasa sia-sia berbelanja, bahkan sampai jengkel ditinggal di depan pasar, tapi seharusnya ketika Bhaga berkata bahwa dia di rumah temannya cukup aku pulang, membatalkan rencana memasak, lalu tidur seharian. Di sisi itu Vlad memang benar, tapi apa kalimatnya yang lain juga benar? Apa aku bahagia? Selama ini aku merasa pernikahanku baik-baik saja. Aku tidak pernah mempersalahkan siapa pun termasuk tidak pernah memprotes kesenangan-kesenangan Bhaga. Sampai saat ini pun, saat hanya pesan teks singkat yang kuterima sebagai info dia akan pulang malam, aku tidak protes. Bhaga sudah biasa seperti itu. Sejak sebelum kami menikah aku sudah tahu. Kenapa tadi aku tidak memasak di sini saja.? Melakukan rencana awal. Aku memasak di rumah lalu mengirimkan hasilnya ke Vlad. Bahkan mungkin Bhaga tak
MEREKA berjalan bersisian sepanjang menuju ruang tunggu ICU. Ketika mereka berdua muncul, yang lain hanya menoleh lalu kembali ke kediamannya masing-masing. Semua diam, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Anna menjadi satu-satunya wanita dikumpulan Gerombolan Siberat. Sampai saat ini, dia belum tahu apa-apa kecuali bahwa Bowo over dosis. Dia hanya bisa menebak, over dosis obat terlarang. Latar belakang keluarganya yang tadi dia tanyakan pun belum terjawab. Malam makin jauh dari tengahnya. Lelah mulai sulit dihilangkan dari wajah-wajah lesu dan tegang itu. “Kalian dari tadi belum pulang kan?” Suara Anna meretakkan dinding kesunyian yang mengurung mereka sejak tadi. Semua diam. Tak perlu menjawab. Biar pakaian yang mereka pakai yang menjawab. “Gimana kalau kalian pulang dulu? Istirahat yang benar. Nanti gantian jaga di sini. Semua harus jaga badan. Jangan sampai jagain orang sakit malah yang jagain ikut sakit.” Semua diam. “Biar di sini nggak terlalu
“IBU sih nggak minta apa-apa sama kamu, Ga. Nggak minta HP baru. Ibu buat apaan HP semahal itu. Cuma, kalau kamu sibuk terus sama teman, kapan sibuknya sama Anna? Lalu kapan Ibu dikasih cucu?” “Eh aku juga sibuk urusan itu kok, Bu. Cuma memang belum dikasih aja. Iya kan, Na?” Bleh! Mendengar kalimat itu, aku langsung memutar mata dalam hati. Tapi paling tidak Ibu tidak langsung menyalahkan menantunya. “Kalian itu tinggal jauh-jauhan, ketemu cuma sekali-sekali aja,” lanjut Ibu lagi. Sepertinya aku harus menyiapkan mental seperti banyak menantu lain jika mendapat serangan seperti ini. “Ah, yang tinggal jauh-jauhan juga banyak yang anaknya bererot, Bu.” Bhaga cepat menanggapi. “Nggak ngaruh itu mah.” Bhaga memang bermain aman, tapi alarmku sudah telanjur berdenging. “Iya. Itu benar. Yang tinggal serumah terus juga banyak yang nggak dikasih. Belum dikasih.” “Nah, itu Ibu ngerti.” Aku diam saja sepanjang ibu dan anak itu be
SEBUAH sentuhan ringan terasa di bahunya. Vlad berusaha membuka mata. Ketika matanya mulai membayang, yang pertama dia lihat dan dia sadari adalah keberadaan Anna yang lelap di pangkuannya. Sebelah tangannya memeluk pinggang gurunya, sementara sebelah tangannya yang lain tenggelam di antara helai rambut Anna. Tersentak, Vlad bergegas membuka mata, tapi tangannya tak ingin dia pindahkan. Butuh beberapa saat baginya untuk sadar kenapa tidur lelapnya terganggu. Erlan duduk berlutut dengan sebelah kaki sambil menatapnya intens. “Jam berapa?” tanyanya sambil berusaha melirik jam di tangannya. “Kok lu sudah di sini?” lanjutnya ketika menyadari Erlan datang terlalu cepat. “Lu suka sama Bu Anna?” bisik Erlan tanpa basa-basi mengabaikan pertanyaan Vlad. Pertanyaan itu dijawab dengan kedikan bahu. “Sh. Jangan berisik.” “Itu bahu ngedik artinya apa?” “Nggak tau.” “Nggak tau arti kedikan itu, apa nggak tau perasaan lu sendiri?” “