MALAM itu Vlad tiba-tiba muncul di depan rumah Anna. Wajahnya masih semuram tadi siang. Bahkan ketika Anna mengurus mereka di UKS seperti perintah Bu Ros, Vlad hanya diam menunduk sementara yang lain asyik berceloteh tentang pengalaman mereka siang itu.
“Ada apa, Vlad?” tanya Anna ketika Vlad diam saja di depan pagar. “Ayo masuk dulu.” Vlad yang tetap diam membuat Anna menarik tangannya.
Vlad tetap diam meski sudah duduk di kursi ruang tamu tempat dia biasa duduk.
“Vlad.”
Masih diam.
“Vladimir.”
“Maaf.”
“For?”
“Tadi saya ngajak anak-anak bolos.”
“Kenapa? Kenapa kamu ngajarin teman-teman kamu berulah?”
“Saya bosan, Bu.”
“Nggak bisa bosan sendirian aja?”
Vlad diam.
“Kalian beruntung ada musibah pohon tumbang.” Anna berpikir dengan tatapan menerawang. “Kalau nggak, bolos kalian ori bikin masalah. Sampai warga melapor karena terganggu.” Tatapannya beralih ke Vlad.
“Ap
Vlad remaja mulai keluar sweet-nya nih. Uhuy… Btw, scene ini sebenarnya mendadak muncul ketika scene masa kini belum bisa diselesaikan. Anna nggak segampang itu juga luluh lah. Dia cewek baik-baik kok. Lalu ide ini muncul. Thx God di awal saya sebar banyak nama teman-temannya Vlad. Ternyata yang terpakai dari tim Gerombolan Siberat. Scene yang tadinya cuma sempalan ternyata ke depan ambil porsi sendiri untuk plot utuh. Saya merasa beruntung banget. Sebenarnya saya sering begitu loh. Tiba-tiba dapat ide yang bikin cerita makin hidup. Saya makin merasa terberkati dengan hobi menulis ini. Tapi ide blink-blink itu biasanya muncul ketika feel-nya sudah dapat banget. Makasih masih tetap baca Vlad ya.
TERKANTUK-kantuk aku memaksakan diri menunggu Bhaga. Vlad benar, Bhaga memang mengesalkan, tapi bukan berarti aku harus pergi seperti tadi kan? Aku memang kesal, merasa sia-sia berbelanja, bahkan sampai jengkel ditinggal di depan pasar, tapi seharusnya ketika Bhaga berkata bahwa dia di rumah temannya cukup aku pulang, membatalkan rencana memasak, lalu tidur seharian. Di sisi itu Vlad memang benar, tapi apa kalimatnya yang lain juga benar? Apa aku bahagia? Selama ini aku merasa pernikahanku baik-baik saja. Aku tidak pernah mempersalahkan siapa pun termasuk tidak pernah memprotes kesenangan-kesenangan Bhaga. Sampai saat ini pun, saat hanya pesan teks singkat yang kuterima sebagai info dia akan pulang malam, aku tidak protes. Bhaga sudah biasa seperti itu. Sejak sebelum kami menikah aku sudah tahu. Kenapa tadi aku tidak memasak di sini saja.? Melakukan rencana awal. Aku memasak di rumah lalu mengirimkan hasilnya ke Vlad. Bahkan mungkin Bhaga tak
MEREKA berjalan bersisian sepanjang menuju ruang tunggu ICU. Ketika mereka berdua muncul, yang lain hanya menoleh lalu kembali ke kediamannya masing-masing. Semua diam, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Anna menjadi satu-satunya wanita dikumpulan Gerombolan Siberat. Sampai saat ini, dia belum tahu apa-apa kecuali bahwa Bowo over dosis. Dia hanya bisa menebak, over dosis obat terlarang. Latar belakang keluarganya yang tadi dia tanyakan pun belum terjawab. Malam makin jauh dari tengahnya. Lelah mulai sulit dihilangkan dari wajah-wajah lesu dan tegang itu. “Kalian dari tadi belum pulang kan?” Suara Anna meretakkan dinding kesunyian yang mengurung mereka sejak tadi. Semua diam. Tak perlu menjawab. Biar pakaian yang mereka pakai yang menjawab. “Gimana kalau kalian pulang dulu? Istirahat yang benar. Nanti gantian jaga di sini. Semua harus jaga badan. Jangan sampai jagain orang sakit malah yang jagain ikut sakit.” Semua diam. “Biar di sini nggak terlalu
“IBU sih nggak minta apa-apa sama kamu, Ga. Nggak minta HP baru. Ibu buat apaan HP semahal itu. Cuma, kalau kamu sibuk terus sama teman, kapan sibuknya sama Anna? Lalu kapan Ibu dikasih cucu?” “Eh aku juga sibuk urusan itu kok, Bu. Cuma memang belum dikasih aja. Iya kan, Na?” Bleh! Mendengar kalimat itu, aku langsung memutar mata dalam hati. Tapi paling tidak Ibu tidak langsung menyalahkan menantunya. “Kalian itu tinggal jauh-jauhan, ketemu cuma sekali-sekali aja,” lanjut Ibu lagi. Sepertinya aku harus menyiapkan mental seperti banyak menantu lain jika mendapat serangan seperti ini. “Ah, yang tinggal jauh-jauhan juga banyak yang anaknya bererot, Bu.” Bhaga cepat menanggapi. “Nggak ngaruh itu mah.” Bhaga memang bermain aman, tapi alarmku sudah telanjur berdenging. “Iya. Itu benar. Yang tinggal serumah terus juga banyak yang nggak dikasih. Belum dikasih.” “Nah, itu Ibu ngerti.” Aku diam saja sepanjang ibu dan anak itu be
SEBUAH sentuhan ringan terasa di bahunya. Vlad berusaha membuka mata. Ketika matanya mulai membayang, yang pertama dia lihat dan dia sadari adalah keberadaan Anna yang lelap di pangkuannya. Sebelah tangannya memeluk pinggang gurunya, sementara sebelah tangannya yang lain tenggelam di antara helai rambut Anna. Tersentak, Vlad bergegas membuka mata, tapi tangannya tak ingin dia pindahkan. Butuh beberapa saat baginya untuk sadar kenapa tidur lelapnya terganggu. Erlan duduk berlutut dengan sebelah kaki sambil menatapnya intens. “Jam berapa?” tanyanya sambil berusaha melirik jam di tangannya. “Kok lu sudah di sini?” lanjutnya ketika menyadari Erlan datang terlalu cepat. “Lu suka sama Bu Anna?” bisik Erlan tanpa basa-basi mengabaikan pertanyaan Vlad. Pertanyaan itu dijawab dengan kedikan bahu. “Sh. Jangan berisik.” “Itu bahu ngedik artinya apa?” “Nggak tau.” “Nggak tau arti kedikan itu, apa nggak tau perasaan lu sendiri?” “
AKU terbangun nyaris tidak mengenali di mana aku berada. Ah, ini hanya ruang tengah rumahku saja. Semua lampu mati. Tersisa lampu teras dan nyala redup di kamar. Dingin terasa memeluk tubuhku yang tersingkap selimut. Membuatku menyelusup lebih dalam ke bawah selimut. Aku sendirian di sini. Mataku terbuka lebar di kegelapan ruang. Menembus dinding berlapis kaca dan tirai menuju kehitaman malam. Tapi gelap di sini semakin terasa segelap di luar. Sepotong bagian bulan terlihat dari lubang angin, itu pun berlapis awan yang semakin tak mampu menembus hitamnya malam. Sepi sesenyap ini, aku ingin berpikir. Tapi aku malas berpikir. Atau takut? Aku malas berpikir karena isi kepalaku menakutiku. Aku ingin merasai, tapi hatiku pun semakin menegaskan ketakutanku. Kukosongkan pikiran dan hati, tapi ternyata kelebat bayangnya tetap hadir. Bergantian. Saling menyakiti, dan menyakitiku juga. Hanya seperti itu dan gelap malam semakin menuju puncaknya. Lalu hitam itu menghilan
SEMUA diam membiarkan perempuan itu bersama air mata dan duka yang meleleh beriringan dengan lerai air di pipinya. Mereka memang hanya tahu sedikit tentang kehidupan temannya yang sedang berjuang mempertahankan nyawa dalam belitan selang dan kabel di dalam. Yang sedikit itu tidak bisa mereka tambah. Mereka hanya bisa mengira-ngira saja. Melihat perempuan itu, tiba-tiba Anna merasa hatinya tersengat. Wajahnya yang cantik dengan make up berantakan seakan menjelaskan teriakan batinnya. Anna tahu apa yang dia lakukan untuk bertahan hidup. Itu bukan pilihan yang menyenangkan. Itu bukan sedih. Dia sudah patah. Tak sanggup melihat duka pada sosok di depannya, tanpa dia sadari, kakinya bergerak mundur beberapa langkah, lalu dia membalik badannya. Pergi berlari meninggalkan ruangan yang sesak penuh lara. Vlad melihat Anna melangkah mundur dengan gerakan kaku. Ketika Anna berbalik lalu berlari, dia ikut berlari. Tak memanggil, hanya mengikuti saja ke mana Anna pergi.
“AHH…” Tanpa sadar kucengkeram tangan yang memegangku. Membuat Vlad semakin bersiaga dan memegangku—memelukku—lebih erat lagi. Sebuah pecahan semen sebesar kepalan tangan itu yang kuinjak yang membuatku limbung nyaris terjengkang. Ketika aku berusaha menstabilkan tubuh, aku merasakan tarikan urat di betis yang menyengat membuatku tersentak lalu aku mengaduh dan meringis. Aku tidak bisa menggerakkan tungkai tanpa membuat tarikan itu makin terasa. Aku seutuhnya berpegangan pada Vlad, bergantung di lengan dan bahunya. “Kamu kenapa?” tanyanya cemas. “Sa… kit…” Aku berusaha berjalan, tapi bergerak saja aku kepayahan. Vlad terus memegangku, membiarkan aku utuh bersandar di tubuhnya. Tapi aku berusaha berjalan menuju sisi pengemudi mobil. Vlad seperti mengetahui maksudku, aku merasakan kakiku tak menginjak tanah ketika dia mengangkatku di pinggang menuju mobilnya yang entah kapan sudah ada di dekat kami. Aku pasrah ketika dia membantu mendudukkan aku
ANNA benar-benar ambruk. Seakan semua tenaganya tersedot di dimensi lain yang kemarin dia masuki. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan ibu Bowo. Jika mata perempuan itu tidak sesakit itu, mungkin dia bisa lebih kuat. Tapi ibu Bowo begitu terluka. Entah luka apa. Apa luka yang dia timbulkan pada anaknya. Atau lukanya sendiri. Tapi Anna melihat banyak luka di sana. Pagi itu Vlad datang hendak menjemput Anna ke sekolah. Tapi Anna yang menyambutnya dengan wajah lusuh dan kuyu membuatnya langsung terdiam. “Saya nggak bisa ke sekolah, Vlad.” “Ibu sakit beneran?” Anna hanya mengangguk. “Nanti kamu cari teman buat ke Bowo ya.” Vlad mengangguk satu kali. “Iya, Bu.” “Kapan kamu ke rumah sakit?” “Pulang sekolah.” “Ya sudah. Saya nggak janji bisa temani ya. Jadi kamu cari yang lain aja. Jangan sendiri. Repot banget kalau jaga orang sakit sendiri.” “Iya, Bu. Ibu istirahat dulu aja.” Dia berpamit. “Ibu sudah