SEBUAH sentuhan ringan terasa di bahunya. Vlad berusaha membuka mata. Ketika matanya mulai membayang, yang pertama dia lihat dan dia sadari adalah keberadaan Anna yang lelap di pangkuannya. Sebelah tangannya memeluk pinggang gurunya, sementara sebelah tangannya yang lain tenggelam di antara helai rambut Anna. Tersentak, Vlad bergegas membuka mata, tapi tangannya tak ingin dia pindahkan.
Butuh beberapa saat baginya untuk sadar kenapa tidur lelapnya terganggu. Erlan duduk berlutut dengan sebelah kaki sambil menatapnya intens.
“Jam berapa?” tanyanya sambil berusaha melirik jam di tangannya. “Kok lu sudah di sini?” lanjutnya ketika menyadari Erlan datang terlalu cepat.
“Lu suka sama Bu Anna?” bisik Erlan tanpa basa-basi mengabaikan pertanyaan Vlad.
Pertanyaan itu dijawab dengan kedikan bahu. “Sh. Jangan berisik.”
“Itu bahu ngedik artinya apa?”
“Nggak tau.”
“Nggak tau arti kedikan itu, apa nggak tau perasaan lu sendiri?”
“ Vlad masih ragu tapi Erlan ngelihatnya jelas banget. Dia baru bangun tidur, belum sempat ngatur muka. Kapan mau ngaku, Vlad? Jujur sama diri sendiri.
AKU terbangun nyaris tidak mengenali di mana aku berada. Ah, ini hanya ruang tengah rumahku saja. Semua lampu mati. Tersisa lampu teras dan nyala redup di kamar. Dingin terasa memeluk tubuhku yang tersingkap selimut. Membuatku menyelusup lebih dalam ke bawah selimut. Aku sendirian di sini. Mataku terbuka lebar di kegelapan ruang. Menembus dinding berlapis kaca dan tirai menuju kehitaman malam. Tapi gelap di sini semakin terasa segelap di luar. Sepotong bagian bulan terlihat dari lubang angin, itu pun berlapis awan yang semakin tak mampu menembus hitamnya malam. Sepi sesenyap ini, aku ingin berpikir. Tapi aku malas berpikir. Atau takut? Aku malas berpikir karena isi kepalaku menakutiku. Aku ingin merasai, tapi hatiku pun semakin menegaskan ketakutanku. Kukosongkan pikiran dan hati, tapi ternyata kelebat bayangnya tetap hadir. Bergantian. Saling menyakiti, dan menyakitiku juga. Hanya seperti itu dan gelap malam semakin menuju puncaknya. Lalu hitam itu menghilan
SEMUA diam membiarkan perempuan itu bersama air mata dan duka yang meleleh beriringan dengan lerai air di pipinya. Mereka memang hanya tahu sedikit tentang kehidupan temannya yang sedang berjuang mempertahankan nyawa dalam belitan selang dan kabel di dalam. Yang sedikit itu tidak bisa mereka tambah. Mereka hanya bisa mengira-ngira saja. Melihat perempuan itu, tiba-tiba Anna merasa hatinya tersengat. Wajahnya yang cantik dengan make up berantakan seakan menjelaskan teriakan batinnya. Anna tahu apa yang dia lakukan untuk bertahan hidup. Itu bukan pilihan yang menyenangkan. Itu bukan sedih. Dia sudah patah. Tak sanggup melihat duka pada sosok di depannya, tanpa dia sadari, kakinya bergerak mundur beberapa langkah, lalu dia membalik badannya. Pergi berlari meninggalkan ruangan yang sesak penuh lara. Vlad melihat Anna melangkah mundur dengan gerakan kaku. Ketika Anna berbalik lalu berlari, dia ikut berlari. Tak memanggil, hanya mengikuti saja ke mana Anna pergi.
“AHH…” Tanpa sadar kucengkeram tangan yang memegangku. Membuat Vlad semakin bersiaga dan memegangku—memelukku—lebih erat lagi. Sebuah pecahan semen sebesar kepalan tangan itu yang kuinjak yang membuatku limbung nyaris terjengkang. Ketika aku berusaha menstabilkan tubuh, aku merasakan tarikan urat di betis yang menyengat membuatku tersentak lalu aku mengaduh dan meringis. Aku tidak bisa menggerakkan tungkai tanpa membuat tarikan itu makin terasa. Aku seutuhnya berpegangan pada Vlad, bergantung di lengan dan bahunya. “Kamu kenapa?” tanyanya cemas. “Sa… kit…” Aku berusaha berjalan, tapi bergerak saja aku kepayahan. Vlad terus memegangku, membiarkan aku utuh bersandar di tubuhnya. Tapi aku berusaha berjalan menuju sisi pengemudi mobil. Vlad seperti mengetahui maksudku, aku merasakan kakiku tak menginjak tanah ketika dia mengangkatku di pinggang menuju mobilnya yang entah kapan sudah ada di dekat kami. Aku pasrah ketika dia membantu mendudukkan aku
ANNA benar-benar ambruk. Seakan semua tenaganya tersedot di dimensi lain yang kemarin dia masuki. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan ibu Bowo. Jika mata perempuan itu tidak sesakit itu, mungkin dia bisa lebih kuat. Tapi ibu Bowo begitu terluka. Entah luka apa. Apa luka yang dia timbulkan pada anaknya. Atau lukanya sendiri. Tapi Anna melihat banyak luka di sana. Pagi itu Vlad datang hendak menjemput Anna ke sekolah. Tapi Anna yang menyambutnya dengan wajah lusuh dan kuyu membuatnya langsung terdiam. “Saya nggak bisa ke sekolah, Vlad.” “Ibu sakit beneran?” Anna hanya mengangguk. “Nanti kamu cari teman buat ke Bowo ya.” Vlad mengangguk satu kali. “Iya, Bu.” “Kapan kamu ke rumah sakit?” “Pulang sekolah.” “Ya sudah. Saya nggak janji bisa temani ya. Jadi kamu cari yang lain aja. Jangan sendiri. Repot banget kalau jaga orang sakit sendiri.” “Iya, Bu. Ibu istirahat dulu aja.” Dia berpamit. “Ibu sudah
HARUSKAH aku menyesal? Menganggap ucapannya dulu hanya ucapan remaja labil yang tidak bisa mengendalikan hormon testosteronnya. Sepanjang kebersamaan kami, dia selalu kuanggap muridku, anak didikku. Jadi, meski umur kami hanya selisih tiga tahun, aku tak pernah memandang dia sebagai lelaki. Aku selalu menganggap dia bocah yang perlu bimbingan lebih. Kuabaikan fisiknya yang mulai tumbuh sempurna sebagai lelaki. Kulupakan dua tahun ketertinggalannya karena semua kuanggap kenakalan remaja yang wajar saja. Remaja yang sedang tumbuh mencari jati diri, Kutemani dia mencari jati dirinya, dan ternyata dia mengartikan lain kebersamaan kami. Apa aku pernah memberinya sinyal lain selain hubungan guru dan murid? Ya Tuhan… dia muridku! Apa dia tidak berpikir untuk memeriksakan kejiwaannya? Mungkin dia menderita oodiepus complex? Karena aku yakin aku tidak tertarik pada daun muda. Brondong tidak ada dalam kamusku. Aku menyukai lelaki mapan yang matang seperti Bhaga yang l
TERBURU mereka memakai baju steril lengkap dengan penutup kepala yang seorang perawat berikan ketika mereka berdiri menunggu gelisah di depan sebuah pintu yang lain. Lalu pintu di depannya bergerak tanpa derit membuat mereka berjengit terkejut. “Keluarga anak Wibowo Laksono?” tanyanya masih dengan masker terpasang. “Saya, Dok.” Ibu Bowo menjawab cepat. “Saya ibunya.” Dokter itu menarik turun masker sehingga meeka berdua bisa melihat utuh wajahnya termasuk seulas senyum di bibir. “Selamat, Bu. Anak Ibu sudah melewati fase kritis.” Mendengar itu, ibu Bowo terkesiap lalu langsung menangis. “Tanda vitalnya sudah stabil dan membaik.” Mereka sudah tidak mendengar penjelasan yang lain. Tidak perlu. Toh mereka tidak akan mengerti. Bagi mereka cukup kabar Bowo membaik [titik] Dan ketika mereka diizinkan masuk, itu seperti anugrah yang lain selain kabar baik itu. Di dalam, mereka hanya melihat Bowo yang berwajah pucat. Tapi matan
JAM sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekitar rumah semakin sepi tapi aku masih duduk merenung di kursi tamu. Menatap kosong ke bingkai seukuran poster berisi foto pernikahan kami. Foto yang juga Vlad pandangi ketika pertama kali dia hadir. Apa yang dia rasa ketika melihat foto itu? Aku merasa ada missing link. Kenapa Vlad masih bertahan dengan perasaannya jika dia sudah tahu dari awal tentang pernikahan aku dengan Bhaga? Kenapa dia tidak berpindah hati saja secepat mungkin sebelum dia mengacak-acak hidupku seperti ini dan menyakiti dirinya sendiri? Apa benar dia mengacak-acak? Kalau benar, berarti ada yang salah denganku atau dengan pernikahan ini. Jika pernikahan ini baik-baik saja dan aku kuat bertahan memegang komitmen pernikahan dengan Bhaga, tidak akan ada yang mampu masuk menjebol pertahanan pernikahan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar ini yang sangat mengganggu. Membuatku merasa sangat bersalah. Tidak seharusnya aku ber
MAKSUD hati hanya sebentar di dalam tapi teryata mereka harus menemani dulu ibu Bowo menangis berterima kasih. Dia juga menanyakan tentang kebenaran info dari Vlad bahwa ada celah untuk Bowo sembuh. Anna menjanjikan padanya untuk mencari info lebih jelas dan itu membuat si ibu lagi-lagi menangis berterima kasih. Setelah lebih satu jam akhirnya mereka berpamit dan ibu Bowo berjanji sebentar lagi akan pulang beristirahat di rumah lalu kembali lagi pukul enam pagi. Sudah nyaris pukul sepuluh ketika Anna dan Vlad berjalan menuju parkir motor. “Bu.” “Ya?’ “Are you okay?” “Maksudnya?” “Kemarin sakit, sekarang sampai jam segini belum pulang.” Anna terkekeh. “Berita gembira itu mood booster banget. Apalagi ibu Bowo mau kalau anaknya direhab.” “Ibu ada channel ke sana?” “Ya nggak ada lah. Memang saya kayak kamu, anak penggede. Kamu ada nggak?” Vlad menggeleng. “Saya aja baru tau