MAKSUD hati hanya sebentar di dalam tapi teryata mereka harus menemani dulu ibu Bowo menangis berterima kasih. Dia juga menanyakan tentang kebenaran info dari Vlad bahwa ada celah untuk Bowo sembuh. Anna menjanjikan padanya untuk mencari info lebih jelas dan itu membuat si ibu lagi-lagi menangis berterima kasih. Setelah lebih satu jam akhirnya mereka berpamit dan ibu Bowo berjanji sebentar lagi akan pulang beristirahat di rumah lalu kembali lagi pukul enam pagi.
Sudah nyaris pukul sepuluh ketika Anna dan Vlad berjalan menuju parkir motor.
“Bu.”
“Ya?’
“Are you okay?”
“Maksudnya?”
“Kemarin sakit, sekarang sampai jam segini belum pulang.”
Anna terkekeh.
“Berita gembira itu mood booster banget. Apalagi ibu Bowo mau kalau anaknya direhab.”
“Ibu ada channel ke sana?”
“Ya nggak ada lah. Memang saya kayak kamu, anak penggede. Kamu ada nggak?”
Vlad menggeleng. “Saya aja baru tau
Huhuyyy… akhirnya Vlad ngaku juga. Ah, andai dia tau, jatuh cinta pada Anna akan sesakit ini, dia akan menyesal. Atau bersyukur? Mengenal Anna membuat dia mengenal dirinya sendiri. Yah, balik ke sana lagi… Menyesal atau bersyukur.
KUTUTUP mulutku yang telah memaki dengan sebelah tangan sementara sebelah lagi terus memegang ponsel. Napasku menderu dan aku terus melihat video itu. kuputar ulang lagi dan lagi. Di akhir video, jika kutegaskan pendengaranku, terdengar suara desah menghela napas. My God, Vlad, please stop. Jangan hancurkan dirimu seperti ini. Tapi aku sendiri tidak berhenti melihat video itu. Kenangan malam berhujan, bermotor memeluknya dari belakang, membuatku semakin sakit. Dia melapisi tubuhku dengan dua hoodie mengingat aku baru sembuh. Hoodie itu memang utuh kuyup, tapi itu cara dia menjagaku. Anak seperti Vlad. Yang egois, tidak pernah mau mengalah, bisa sedemikian lembut mengurusku. Aku yakin, video yang aku lihat berulang-ulang mengacu ke kenangan malam itu. Aku yakin, malam itu adalah malam dia jatuh cinta padaku. Dan aku tidak pernah berpikir lain selain rasa segan murid pada gurunya. Aku sebebal itu. Kesa
JALAN memang tidak berujung, tapi hujan dan Anna yang erat memeluknya membuat Vlad semakin ingin jika tujuannya ada di ujung jalan. Tapi Anna baru sembuh. Dan dia sejak pagi beraktivitas tanpa henti. Vlad tidak mau Anna kembali sakit. Mengingat itu, Vlad menggerutu sambil mengambil jalur tercepat. Hujan tersisa rinainya yang semakin lemah. Tapi mereka kadung kuyup ulah hujan yang sengaja mereka terabas. Sampai di depan rumah Anna, Vlad mengeluarkan tas Anna dari backpack di dadanya. Lalu dia bermaksud membantu Anna melepas dua lapis hoodie yang Anna pakai. “Saya cuci dulu aja, Vlad.” “Nggak usah, ada yang cuci di rumah. Sini lepas aja.” Dia memaksa Anna melepas hoodie kuyup itu. “Basah kayak gini, nanti Ibu masuk netes-netes malah kepleset.” Vlad tentu langsung membantu Anna yang kesulitan melepas barang basah dari tubuhnya. Dia menarik hoodie ke belakang ketika Anna berusaha meloloskan lengannya. Lapis kedua pun begitu. Vl
“KENAPA dulu kamu nggak percaya, Anna?” Aku tak tahu harus menjawab apa. Haruskah aku jujur mengatakan apa adanya? Jujur sampai begitu detail yang bisa menyakitinya lebih lagi. “Kamu murid aku, Vlad. Aku nggak pernah mikir sejauh itu.” “Kenapa memang kalau aku murid? Banyak cerita guru menikahi muridnya.” “Iya. Guru cowok dengan murid cewek. Kita dulu terbalik.” Aku menjawab singkat. Itu faktanya. “Lalu kenapa?” “Umur, Vlad.” Dia terkekeh lalu terbatuk. “Kamu cuma tiga tahun lebih tua dari aku. Aku bukan Emmanuel Macron yang selisih lima belas tahun lalu ngambil istri orang. Waktu itu kamu masih gadis.” “Tetap aku nggak mikir sejauh itu. Memang kedekatan kita aku anggap spesial, bukan cuma kedekatan guru dan murid. Tapi aku pikir kita teman.” Dia terkekeh sinis. Terdengar menyakitkan di telinga. “Cuma teman, Rite?” Aku diam tak mau menjawab. Aku sadar ucapanku itu menyakiti Vlad
SEJAK itu Vlad memang nyaris tidak pernah terlambat lagi. Dia pun begitu tenang, hampir tidak membuat ulah. Tapi dia terlalu banyak diam dan melamun di kelas. Nilai pelajarannya kembali hancur padahal ujian nasional makin mendekat. Tapi tidak ada yang bisa guru lakukan selain menasehatinya untuk memperbaiki nilai. Vlad begitu tenang, begitu penurut. Terlebih ketika Bowo sudah kembali sekolah. Dia mundur dari tim perayu Bowo rehab. Baginya, rehab sekarang atau bersekolah dulu adalah pilihan yang sulit. Hatinya pun sekarang mengalami masa sulit. Dia berusaha menjauh dari Anna. Tak pernah lagi duduk menunggu jam mata pelajaran berikutnya di meja piket. Lagi-lagi Anna mendapat tugas tambahan mencari tahu tentang keanehan Vlad. Tapi kesempatan berbincang dengan Vlad nyaris tak ada kecuali dia memanggil Vlad. Dan Anna tidak mau seperti itu. Seminggu ini dia menunggu kesempatan yang tidak kunjung datang. Sharing Your Happiness bisa dianggap telah selesai. Seluruh da
BELAINYA… begitu lembut. Aku merasa dia tidak menyentuh kulitku. Jarinya hanya mengambang bergerak di atas punggung tanganku. Jika ada getar yang kurasa, mungkin itu dari medan magnet tubuhnya saja. Medan magnet yang mengalirkan listrik statis yang membuatku bergidik. Ingin melepaskan diri dari sengatan listrik itu tapi sekaligus terpaku pada sensasi rasa yang dia timbulkan. Sampai suara batuk lemah terdengar darinya dan aku tersadar dari gerak menghipnotis jarinya di area kecil kulitku. Perlahan kugerakkan tanganku. Mengerti kode gerakan itu, Vlad yang memang tidak menggenggam membuka lebih lebar tangannya. Melepaskan tanganku. “Kamu sering ke sini?” tanyaku ketika dia masih tetap tak bergerak dari posisi telentang dengan tangan terentang ke tengah ranjang. “Nggak juga. Sesekali aja.” “Kamu memang bagusnya ke tempat kayak gini. Kalau nggak ke pantai. Bagus buat paru-paru kamu.” “Ya tinggal ke villa Opa aja. Ada Pak Burhan, tapi aku lebih suka
ANNA merasakan mobil bergerak agak kasar. Gerakan yang membuatnya tersadar dari tidur lelapnya. Kenapa ranjangnya bergerak-gerak? Gempa? Mengingat itu matanya yang tadi berat terbuka mendadak terbuka lebar. Musik yang lembut dan embusan penyejuk ruangan ditambah pemandangan gelap yang ternyata bergerak masih membutuhkan waktu beberapa detik untuknya sadar. Tidurnya memang sangat lelap. “Sudah bangun, Bu?” Bowo menoleh untuk memastikan. “Sudah mau sampai kok.” Anna duduk dan menggeliatkan tubuh berusaha menyadari posisi. “Astaga!” Dia sudah sadar. “Maaf ya, Vlad, saya beneran sibuk banget sebulan ini. Kurang tidur, jadi kalau ada kesempatan tidur pasti langsung pelor deh.” Sungguh, dia sangat tidak enak hati. “Nggak apa-apa.” Anna memang tidak bisa melihat senyum di bibir Vlad, tapi ya… Vlad tersenyum. “Ibu kamu sudah sampai mana, Wo?” tanya Anna. “Sudah di TKP, Bu,” jawabnya singkat. “Eh, pelan-pelan, Vlad.” Bowo tiba-tiba menu
“KITA mau ke mana ini, Vlad?” tanyaku ketika Vlad tidak mengarahkan kemudi ke arah rumahku. Vlad menjawab dengan kedikan bahu. “Kok gitu?” “Nanggung banget. Sudah jam segini. Mending sekalian pulang siang. Sore sekalian juga nggak apa-apa.” “Astaga, Vlad! Kebiasaan banget deh kamu tuh.” Vlad terkekeh. “Ke Pak Burhan yuk,” ajaknya tanpa merasa bersalah. “Nggak mau. Aku ngantuk ah.” “Aku siapin tempat tidur lagi di belakang oke?” “Nggak mau.” Aku langsung teringat tumpukan bed cover empuk dan boneka sapi. “Sh*t!” Dia memaki tanpa meminta maaf lagi seperti dulu. “Reseh memang tuh bonyok. Coba mereka nggak ada. Enakan di sana kan.” “Kamu kenapa sampai mereka seperti itu?” Aku kembali ke topik semula. “Nggak bakalan orangtua sampai pasang muka cemas seperti itu kalau kamu baik-baik aja. Sudahlah nggak sama baby sitter, nggak bawa HP pula. Beneran kabur itu sih namanya.” Dia menghela
DI awal hari, lepas shalat subuh—Anna lagi-lagi berhasil membuat Vlad ikut shalat—Vlad memilih menikmati mi instan cup di pinggir jalan. Anna memilih menikmati teh manis panas dan gorengan. Uap panas dari gelas menghangatkan wajahnya. Harum teh melati membuatnya sangat santai. Dia melihat Vlad memasukkan potongan bakwan ke dalam cup. “Ih, baunya menggoda amat tu mi,” ujar Anna ketika Vlad membuka penutup cup. Bau kuah mi menggoda Anna yang ketika ditawarkan menolak. Santai, Vlad mengaduk-aduk mi. Dia bahkan mendekatkan cup ke wajah Anna. Membuat Anna terkekeh sambil menghidu uap mi. Tapi suapan pertama Vlad berikan untuk Anna. Ketika Anna benar memakan isi garpunya, tersenyum, Vlad langsung memesankan yang baru untuk Anna. “Makanya kalau orang makan mi mending pesan aja juga. Cuma malaikat yang diciptakan nggak punya nafsu yang bisa tahan godaan mi.” Akhirnya mereka menganggap makan kali ini sebagai makan pagi. Mereka duduk di balai-balai membelakangi